Awas, jangan pulak kau bilang di bawah ini gambar monyet. Ini Lucy, salah satu cinta pertamaku. Lho berarti lebih dari satu. Mungkin, karena kami memang pernah bercinta-cintaan dulu ketika kali pertama turun dari pepohonan, setapak demi setapak memasuki padang rumput yang semakin luas saja. Buah-buahan semakin sedikit, bahkan daun-daunan pun. Lucy tewas sementara sedang menggendong anak kami. Mungkin ia terjebak di tengah-tengah perang suku sebagai kerusakan kolateral. Mungkin ia tidak sempat menyingkir menyelamatkan diri. Entah apa 'ku namakan anak kami, Johnnie atau Charlie, yang juga mati dalam naas itu.
Aku tidak terima jika kau menyebutnya monyet, tapi kalau kunyuk biarlah, karena itu aku. Meski bentuknya sangat sederhana, berhias gincu bagai semburat jingga kemerahan di ufuk timur ketika matahari menyeruak dari balik malam. Bagaimanapun aku kedinginan, karena ini di IASTH Lantai 2 dan 'ku rasa aku belum pernah menggoblog di sini, apalagi sambil mengawas ujian begini. Sekitar tiga belas tahun lalu aku pernah begini, mengawas kursus konsultan HKI seperti kunyuk bersama Mang Untus dan kolor ijo. Aku tidak suka masa-masa itu. Sesederhana 'tu.
Sudah cukup dengan itu semua, seperti memakan kotoran kuku kaki sendiri. Sampai bapak-bapak di sampingku berjengit kejijikan. Aku belum pernah berhasil menahan tawa jika mengingatnya, setelah lebih dari tiga puluh tahun. 'Ku rasa di mana pun aku pernah mengingatnya. Namun apa dayaku jika sampai tersengat begini, karena cinta adalah segalanya. Belum pernah 'ku rasakan dalam hidupku yang seperti ini, meski tak hendak 'ku rasakan pula sesuai pengetahuan yang ada padaku. Jika kita mengetuk pintu surga, maka cinta yang 'kan membukakannya. Keluar dari biasanya.
Bisaku hanya mencurahkan padamu, memancrutkan ke dalammu. Meski di pojokan sini, meski hanya sekejap menyengat, sengatan itu tidak hendak juga pergi sampai di akhir waktu. Kena'apa Matt menghempas-hempas begini, tidak seperti Caterina. Apa karena ia berpikir ini semacam jazz, dimerah-merahkannya sampai aku kehabisan kata-kata. Rabu 'nyalemba disusul koperasi, seperti tenangnya alam pedesaan disusul hiruk-pikuk kehidupan keraton meski pada lahirnya sunyi sepi sendiri semenjak ditinggal pergi. Aku tidak suka sampai di akhir waktunya Matt.
Tentu saja, seperti halnya segala sesuatu, ini pun semata ketololan seperti keringat yang tak berhenti mengucur dari belakang kepala setelah diberi minum air cenderung panas. Bahkan Lucy pun dibuat bergaya seperti aktris holiwud begitu, atau berpose macam gadis sampul begitu. Berjuta kata mutiara serasa ingin menghambur dari cocot ikan si buruk rupa, mungkin sang pengamat bintang. Apa yang akan kau baca dari ini semua, Bang Jep. Apa sudah siap kau menyelami kelamnya rasia malam, ungkapan yang sangat 'ku suka. Bila kata ganti dapat digunakan sebagai akhiran untuk menunjukkan kepemilikan, mengapa tak boleh jadi awalan.
Melodi tak terantai ini sudah 'ku kenal entah sejak kapan, meski terasa sedap-sedapnya ketika kelas 3 SMP. Betapa tidak sedap jika sampai merona kemerah-merahan bahkan ketika tidak diapa-apakan. Seakan dapat menyelami kedalaman hati bermuram durja dalam tatapannya yang selalu sendu. Nyatanya aku tidak pernah merasakannya dan tidak akan pernah 'ku biarkan diriku merasakan di punggung bumi ini. Sampai berpikir bagaimana jadinya jika tidak berpenyedap masakan, apakah berminyak-minyak seperti diberi kemiri banyak-banyak, sampai pahitnya.
Belum lagi 'ku periksa, adakah yang berani menggambarkan betapa Pak Djoko Sang Guru Pinandita itu tambun berdagu berganda-ganda. Ada alasan mengapa bentuk beliau tidak seperti Django tak terantai, dengan "D" tidak dibunyikan. Tentu saja, karena jangankan menembak dengan pistol dan senapang, menulis buku saja tidak pernah beliau. Pun begitu beliau mematung sampai sebesar tiga kali ukuran manusia normal atau ukurannya sendiri. Akankah tiba waktunya aku berhenti mengitiki ketiak sendiri dan mulai mengetik naskah buku-buku dan artikel-artikel elmiyah.
Lucy S. Diamonds, nama panjangnya Lucy in the Sky with Diamonds |
Sudah cukup dengan itu semua, seperti memakan kotoran kuku kaki sendiri. Sampai bapak-bapak di sampingku berjengit kejijikan. Aku belum pernah berhasil menahan tawa jika mengingatnya, setelah lebih dari tiga puluh tahun. 'Ku rasa di mana pun aku pernah mengingatnya. Namun apa dayaku jika sampai tersengat begini, karena cinta adalah segalanya. Belum pernah 'ku rasakan dalam hidupku yang seperti ini, meski tak hendak 'ku rasakan pula sesuai pengetahuan yang ada padaku. Jika kita mengetuk pintu surga, maka cinta yang 'kan membukakannya. Keluar dari biasanya.
Bisaku hanya mencurahkan padamu, memancrutkan ke dalammu. Meski di pojokan sini, meski hanya sekejap menyengat, sengatan itu tidak hendak juga pergi sampai di akhir waktu. Kena'apa Matt menghempas-hempas begini, tidak seperti Caterina. Apa karena ia berpikir ini semacam jazz, dimerah-merahkannya sampai aku kehabisan kata-kata. Rabu 'nyalemba disusul koperasi, seperti tenangnya alam pedesaan disusul hiruk-pikuk kehidupan keraton meski pada lahirnya sunyi sepi sendiri semenjak ditinggal pergi. Aku tidak suka sampai di akhir waktunya Matt.
Tentu saja, seperti halnya segala sesuatu, ini pun semata ketololan seperti keringat yang tak berhenti mengucur dari belakang kepala setelah diberi minum air cenderung panas. Bahkan Lucy pun dibuat bergaya seperti aktris holiwud begitu, atau berpose macam gadis sampul begitu. Berjuta kata mutiara serasa ingin menghambur dari cocot ikan si buruk rupa, mungkin sang pengamat bintang. Apa yang akan kau baca dari ini semua, Bang Jep. Apa sudah siap kau menyelami kelamnya rasia malam, ungkapan yang sangat 'ku suka. Bila kata ganti dapat digunakan sebagai akhiran untuk menunjukkan kepemilikan, mengapa tak boleh jadi awalan.
Melodi tak terantai ini sudah 'ku kenal entah sejak kapan, meski terasa sedap-sedapnya ketika kelas 3 SMP. Betapa tidak sedap jika sampai merona kemerah-merahan bahkan ketika tidak diapa-apakan. Seakan dapat menyelami kedalaman hati bermuram durja dalam tatapannya yang selalu sendu. Nyatanya aku tidak pernah merasakannya dan tidak akan pernah 'ku biarkan diriku merasakan di punggung bumi ini. Sampai berpikir bagaimana jadinya jika tidak berpenyedap masakan, apakah berminyak-minyak seperti diberi kemiri banyak-banyak, sampai pahitnya.
Belum lagi 'ku periksa, adakah yang berani menggambarkan betapa Pak Djoko Sang Guru Pinandita itu tambun berdagu berganda-ganda. Ada alasan mengapa bentuk beliau tidak seperti Django tak terantai, dengan "D" tidak dibunyikan. Tentu saja, karena jangankan menembak dengan pistol dan senapang, menulis buku saja tidak pernah beliau. Pun begitu beliau mematung sampai sebesar tiga kali ukuran manusia normal atau ukurannya sendiri. Akankah tiba waktunya aku berhenti mengitiki ketiak sendiri dan mulai mengetik naskah buku-buku dan artikel-artikel elmiyah.
No comments:
Post a Comment