Meski rikipliknya kurang satu, tetap ingin 'ku memaki. Untung Art mengingatkanku, hidup ini sekadar impian. Seperti puasa Syawal yang kurang dua hari gara-gara lis tepong-tepong; aku tidak yakin apa harus dikursifkan. Bagaimana jika tanda baca tidak memiliki makna apa-apa kecuali sekadar untuk keindahan. Aku tidak akan mengatakan sepatah kata pun mengenainya. Biar 'ku rasakan sendiri saja. Jumat pagi bermendung merupakan suatu penanda waktu, sedang aku tidak suka menandai waktu. Ahoi, soto mie memang dari dulu ya begitu saja rasanya.
Lebih baik aku beranjangsana ke Shangri-la, meski aku pernah makan baik di Sarasan maupun Handrawina. Tempat-tempat makan dengan nama-nama sok-sok'an, biar kesannya tempat makan bangsawan. Aku sudah tahu bahwa aku tidak pernah suka berpura-pura jika itu bukan untuk berolok-olok. Bersenda-gurau di salju memangnya aku Andriawan Pratikto, meski sempat teringat pula suatu malam bersalju basah diserbu rombongan turis dari Eropa timur. Sebentar, apa habis itu penghuninya pulang ke Bali sampai-sampai menghabiskan sedikit waktu di kamar Ayu.
Aku lupa tepatnya bagaimana lantas pindah ke Sint Antoniuslaan setelah menghabiskan sekitar setengah tahun di Laathofpad. Nama-nama yang tidak meninggalkan kenangan manis padaku sampai 'ku damba-damba. Tidak ada. Tidak juga Barepan. Sedihnya, tidak juga Jalan Radio. Sudah lama aku tidak benar-benar tinggal di sana, sejak 1991. Sempat melarikan diri sekitar 2002-2003, namun kembali menggelandang di Barel. Tidak ada satupun yang dapat 'ku sebut rumah. Maka ketika diserang biru musim dingin, 'ku bertanya-tanya, sakit rumah yang mana. Kos-kosan?!
Uah, sepoi musim panas memang tidak pernah gagal membuatku merasa di rumah. Rumah yang mana. Rumah ulat berwarna kuning kusam dengan kusen-kusen coklat tua. Depan kebun durian, belakang masih kebun entah apa, gelap-gelap jika malam. Beranda berubin merah menghadap timur. Dari balik dedaunan pepohonan durian mengintip purnama raya terbit, mengilhamkan sebuah lagu. Menjemur baju di kebun belakang malam-malam jangan sampai menyanyi pringas-pringis moto plirak-plirik penghuni bangunan tua, nanti bisa memekik ketakutan lari masuk rumah.
Hari itu, 28 September 2000, meski sekarang bukan hari itu. Bisaku masih mainan MS Word. 'Ku tulis puisi dalam bahasa Inggris sebagai ungkapan kesakitan hatiku, sendirian di LKHT yang sekarang jadi Sekretariat Iluni. Udara berpendingin ruangan, gelap kecuali cahaya lampu dari luar. Sampai hari ini aku terperangkap di situ. Bilakah tiba waktunya, jika ada pasti tiba. Seperti ketika suatu pagi pulang ke rumah kambing, kosong, Metro TV dengan siaran awal-awalnya. Entah seporsi ketoprak, setelah itu tidur sampai siang atau sore, lalu Sunsilk extra mild chamomile white tea.
Seperti halnya ada waktu-waktu untuk hidung tersumbat, ada pula waktu untuk angin sepoi-sepoi dan aku. Ya, seingatku awal musim dingin 2009 itu juga begitu. Makanan berkurang rasanya, tidak seenak biasa. Masih terasa, namun biasanya lebih enak. Waktu-waktu berlalu bagai mimpi. Tak hendak 'ku ingat-ingat pula lontong kikil kecuali ada kucainya. Jika surimi garnalen terus terkenang karena memang enak. Kibbeling bersaus di Molenwijk itu juga lumayan enak meski menyakiti lambung. Yang di Buitenveldert dan Oostelijke Handelskade juga enak. Masalahnya mahal.
'Ku lihat-lihat lagi gambar-gambar makanan khas Indonesia dan Jawa yang sering 'ku beli dulu, alamak, sungguh menyedihkan bentuknya. Sebenarnya sih, terlepas dari bentuknya, rasanya berterima 'lah. Namun mahalnya itu tidak ketulungan. Apalagi Zumpit setelah di Sepurderek, masakan tahu entah-entah, fuyunghai vegan, mie tumis dua kotak, setengah juta lebih! Suatu kemampusan, 'ku beri bertanda seru memang disengaja untuk menekankan betapa jengkelnya. Namun tetap harus diakui, yang dia kata fuyunghai sebenarnya omelet Eropa yang superieur.
Lebih baik aku beranjangsana ke Shangri-la, meski aku pernah makan baik di Sarasan maupun Handrawina. Tempat-tempat makan dengan nama-nama sok-sok'an, biar kesannya tempat makan bangsawan. Aku sudah tahu bahwa aku tidak pernah suka berpura-pura jika itu bukan untuk berolok-olok. Bersenda-gurau di salju memangnya aku Andriawan Pratikto, meski sempat teringat pula suatu malam bersalju basah diserbu rombongan turis dari Eropa timur. Sebentar, apa habis itu penghuninya pulang ke Bali sampai-sampai menghabiskan sedikit waktu di kamar Ayu.
Aku lupa tepatnya bagaimana lantas pindah ke Sint Antoniuslaan setelah menghabiskan sekitar setengah tahun di Laathofpad. Nama-nama yang tidak meninggalkan kenangan manis padaku sampai 'ku damba-damba. Tidak ada. Tidak juga Barepan. Sedihnya, tidak juga Jalan Radio. Sudah lama aku tidak benar-benar tinggal di sana, sejak 1991. Sempat melarikan diri sekitar 2002-2003, namun kembali menggelandang di Barel. Tidak ada satupun yang dapat 'ku sebut rumah. Maka ketika diserang biru musim dingin, 'ku bertanya-tanya, sakit rumah yang mana. Kos-kosan?!
Uah, sepoi musim panas memang tidak pernah gagal membuatku merasa di rumah. Rumah yang mana. Rumah ulat berwarna kuning kusam dengan kusen-kusen coklat tua. Depan kebun durian, belakang masih kebun entah apa, gelap-gelap jika malam. Beranda berubin merah menghadap timur. Dari balik dedaunan pepohonan durian mengintip purnama raya terbit, mengilhamkan sebuah lagu. Menjemur baju di kebun belakang malam-malam jangan sampai menyanyi pringas-pringis moto plirak-plirik penghuni bangunan tua, nanti bisa memekik ketakutan lari masuk rumah.
Hari itu, 28 September 2000, meski sekarang bukan hari itu. Bisaku masih mainan MS Word. 'Ku tulis puisi dalam bahasa Inggris sebagai ungkapan kesakitan hatiku, sendirian di LKHT yang sekarang jadi Sekretariat Iluni. Udara berpendingin ruangan, gelap kecuali cahaya lampu dari luar. Sampai hari ini aku terperangkap di situ. Bilakah tiba waktunya, jika ada pasti tiba. Seperti ketika suatu pagi pulang ke rumah kambing, kosong, Metro TV dengan siaran awal-awalnya. Entah seporsi ketoprak, setelah itu tidur sampai siang atau sore, lalu Sunsilk extra mild chamomile white tea.
Seperti halnya ada waktu-waktu untuk hidung tersumbat, ada pula waktu untuk angin sepoi-sepoi dan aku. Ya, seingatku awal musim dingin 2009 itu juga begitu. Makanan berkurang rasanya, tidak seenak biasa. Masih terasa, namun biasanya lebih enak. Waktu-waktu berlalu bagai mimpi. Tak hendak 'ku ingat-ingat pula lontong kikil kecuali ada kucainya. Jika surimi garnalen terus terkenang karena memang enak. Kibbeling bersaus di Molenwijk itu juga lumayan enak meski menyakiti lambung. Yang di Buitenveldert dan Oostelijke Handelskade juga enak. Masalahnya mahal.
'Ku lihat-lihat lagi gambar-gambar makanan khas Indonesia dan Jawa yang sering 'ku beli dulu, alamak, sungguh menyedihkan bentuknya. Sebenarnya sih, terlepas dari bentuknya, rasanya berterima 'lah. Namun mahalnya itu tidak ketulungan. Apalagi Zumpit setelah di Sepurderek, masakan tahu entah-entah, fuyunghai vegan, mie tumis dua kotak, setengah juta lebih! Suatu kemampusan, 'ku beri bertanda seru memang disengaja untuk menekankan betapa jengkelnya. Namun tetap harus diakui, yang dia kata fuyunghai sebenarnya omelet Eropa yang superieur.