Dari awal sekali aku selalu tahu jika entri-entri ini tidak berdaya, setidak-berdaya agenda Kopassus yang 'ku miliki sejak kelas tiga SMA. Aku Kopassus itu menggelikan, karena yang akhirnya Kopassus adalah teman segrahaku Brigjen TNI Achiruddin Darodjat. Beliau bahkan kini menjabat Wadanjen. Dua lainnya adalah Brigjen TNI Edwin Adrian Sumantha dan Kolonel Inf. Willy Brodus Yos Rohadi. Aku sendiri adalah seorang kopral taruna purnawirawan. Pangkat ini, kopral, 'ku sukai sejak lama, yakni, ketika 'ku menyadari diri ini tak lain Kopral Bono yang aksinya very good.
Maka 'ku mulai hari dengan pertanyaan terpenting: sudahkah aku sholat subuh. Meski matahari sudah tinggi, tidak juga aku beranjak sarapan karena Cantik masih bobo. Maka 'ku bersih-rapikan kamar kambing sampai Cantik bangun dan begitu saja kami ke Margo. Tidak ada lagi yang 'ku sukai dari tempat ini, jika pun pernah 'ku sukai. Kenangannya, Pawon Nyonya dan Cafe Oh la la adalah ketika aku muda hampir dua puluh tahun lalu. Tiga tahun lagi, tempat itu memang akan berulang-tahun yang kedua puluh, sekadar menegaskan betapa sudah banyak waktu yang tersia-sia...
Kenangan apapun sudah pasti tidak berdaya. Bahkan suatu hari nanti 'kan datang hari-hari di mana tenaga mental untuk mengenang pun sudah tidak ada. Khayalan mengenai kebahagiaan hidup sejahtera di khatulistiwa bisa jadi juga sekadar khayalan, terlebih jika mengingat kantor Patar yang aduhai kunonya. Pojokanku kini di kantor Mas Wirto juga tidak kalah kunonya, jadi tak apalah. Masa lalu memang harus dibiarkan berlalu. Masa depan hanya bagi yang masih punya cukup tenaga untuk mengkhayalkannya, jika sekadar menjalankan kewajiban aduhai beratnya.
Apa yang dapat diceritakan dari sepiring nasi liwet yang hanya ditambah teh manis panas jadi seratus ribuan, dingin pula. Apa pula gulungan kalifornia dan okonomiyaki berteman dua cangkir teh madu lemon dan sebotol kecil air yang ada manis-manisnya hampir dua ratus ribu. Bisalah disebut dua skup cokelat dan mint, dua skup pralin berkerim dan pistasio, sedang carik tak-bertulang sudah tidak ada. Belum lagi pergi pulang yang lebih dari seratus ribu. Begitulah nyepi jika tidak amati geni, lelungan, dan lelanguan. Biar kapok. Biar tahu rasa. Aduh inilah pemain kawakan super.
Semua ini bunyi-bunyian dari masa kecil, di hari-hari menghabiskan masa kecil bersama Cantik yang terus bertambah cantik dari hari ke hari. Bunyi-bunyian yang tidak pernah berhenti cantik seperti mie ayam baik ful acis maupun donoloyo yang diberi bersambal rodamin-b dan bertaburkan banyak-banyak irisan daun bawang. Aku sudah seperti orang tua yang ditinggal anak-anaknya, karena sejak dulu pun begitu. Ingatkah pada malam-malam di Gang Pepaya ketika terbangun tengah malam, bertahan di lantai dua, mungkin 'nonton bola selain mereka tidak ada apa-apanya.
Aku tidak ingat terbangun malam-malam di kos Babe Tafran atau bahkan di Radar AURI sekalipun. Apakah ketika itu 'ku masih muda, karena masih sanggup tidur terlentang. Terbangun malam-malam itu betapapun sejak di Qoryatussalam. Jika itu terjadi di Belanda, mungkin akibatnya setangkap roti lapis khas 'ku sendiri dan semug teh-teh sok cerdik khas Belanda. Terkenang olehku suatu malam terbangun lantas ke starbek memesan indomie goreng telur kornet dan secangkir kecil teh panas diberi beragar-agar, akibatnya kembung bukan buatan sampai sulit bernapas...
Ketuaan adalah sesuatu yang pasti datang, dan apapun yang datang, sambutlah dengan senyum merekah. Terlebih jika ditingkahi irama keroncong sebegini cantik, mengingatkanku pada suatu malam di Hotel Shangri-la. Ini seperti memandangi rak-rak toko buku dengan beberapa judul buku, hanya beberapa eksemplar saja tiap judulnya. Demikian pula alat-alat tulis atau yang sering disebut sebagai fancy, sedangkan kasir dan penjaga toko adalah benar-benar manusia hidup dengan keluarga masing-masing. Hidup berdua saja begini bersama Istriku menjalani hari-hari tua.
Maka 'ku mulai hari dengan pertanyaan terpenting: sudahkah aku sholat subuh. Meski matahari sudah tinggi, tidak juga aku beranjak sarapan karena Cantik masih bobo. Maka 'ku bersih-rapikan kamar kambing sampai Cantik bangun dan begitu saja kami ke Margo. Tidak ada lagi yang 'ku sukai dari tempat ini, jika pun pernah 'ku sukai. Kenangannya, Pawon Nyonya dan Cafe Oh la la adalah ketika aku muda hampir dua puluh tahun lalu. Tiga tahun lagi, tempat itu memang akan berulang-tahun yang kedua puluh, sekadar menegaskan betapa sudah banyak waktu yang tersia-sia...
Kenangan apapun sudah pasti tidak berdaya. Bahkan suatu hari nanti 'kan datang hari-hari di mana tenaga mental untuk mengenang pun sudah tidak ada. Khayalan mengenai kebahagiaan hidup sejahtera di khatulistiwa bisa jadi juga sekadar khayalan, terlebih jika mengingat kantor Patar yang aduhai kunonya. Pojokanku kini di kantor Mas Wirto juga tidak kalah kunonya, jadi tak apalah. Masa lalu memang harus dibiarkan berlalu. Masa depan hanya bagi yang masih punya cukup tenaga untuk mengkhayalkannya, jika sekadar menjalankan kewajiban aduhai beratnya.
Apa yang dapat diceritakan dari sepiring nasi liwet yang hanya ditambah teh manis panas jadi seratus ribuan, dingin pula. Apa pula gulungan kalifornia dan okonomiyaki berteman dua cangkir teh madu lemon dan sebotol kecil air yang ada manis-manisnya hampir dua ratus ribu. Bisalah disebut dua skup cokelat dan mint, dua skup pralin berkerim dan pistasio, sedang carik tak-bertulang sudah tidak ada. Belum lagi pergi pulang yang lebih dari seratus ribu. Begitulah nyepi jika tidak amati geni, lelungan, dan lelanguan. Biar kapok. Biar tahu rasa. Aduh inilah pemain kawakan super.
Semua ini bunyi-bunyian dari masa kecil, di hari-hari menghabiskan masa kecil bersama Cantik yang terus bertambah cantik dari hari ke hari. Bunyi-bunyian yang tidak pernah berhenti cantik seperti mie ayam baik ful acis maupun donoloyo yang diberi bersambal rodamin-b dan bertaburkan banyak-banyak irisan daun bawang. Aku sudah seperti orang tua yang ditinggal anak-anaknya, karena sejak dulu pun begitu. Ingatkah pada malam-malam di Gang Pepaya ketika terbangun tengah malam, bertahan di lantai dua, mungkin 'nonton bola selain mereka tidak ada apa-apanya.
Aku tidak ingat terbangun malam-malam di kos Babe Tafran atau bahkan di Radar AURI sekalipun. Apakah ketika itu 'ku masih muda, karena masih sanggup tidur terlentang. Terbangun malam-malam itu betapapun sejak di Qoryatussalam. Jika itu terjadi di Belanda, mungkin akibatnya setangkap roti lapis khas 'ku sendiri dan semug teh-teh sok cerdik khas Belanda. Terkenang olehku suatu malam terbangun lantas ke starbek memesan indomie goreng telur kornet dan secangkir kecil teh panas diberi beragar-agar, akibatnya kembung bukan buatan sampai sulit bernapas...
Ketuaan adalah sesuatu yang pasti datang, dan apapun yang datang, sambutlah dengan senyum merekah. Terlebih jika ditingkahi irama keroncong sebegini cantik, mengingatkanku pada suatu malam di Hotel Shangri-la. Ini seperti memandangi rak-rak toko buku dengan beberapa judul buku, hanya beberapa eksemplar saja tiap judulnya. Demikian pula alat-alat tulis atau yang sering disebut sebagai fancy, sedangkan kasir dan penjaga toko adalah benar-benar manusia hidup dengan keluarga masing-masing. Hidup berdua saja begini bersama Istriku menjalani hari-hari tua.
No comments:
Post a Comment