Memang hanya begini caranya, segera berondongkan apapun yang lewat. Usahakan sekitar tiga baris, karena kurang dari itu mungkin akan macet mitralyurmu. Kalau sudah macet maka sangat mungkin justru kau yang akan diserbu serangan sangkur menusuki tubuhmu. Baru jika sudah tiga baris setidaknya, aturlah rata kanan kiri dan sebagainya itu. Berilah gambaran dan beri judul, meski penyompretnya banyak bekas jerawat begitu. Jago dia menyompret, harus diakui. Bahkan 'ku selesaikan dulu satu alinea sebelum memeriksa pratinjau, apakah masih transparan tidak.
Aku juga tidak ingat bagaimana asalkan kau bahagia bisa berada dalam koleksiku. Aku hanya ingat seorang anak pemalu menyanyikannya dengan lumayan baik, diiringi gitar gurunya. Hanya 'kuingat betul suasana hati satu map ini yang dimulai dengan ajakan Keisya agar aku jadi kekasihnya saja. Di suatu siang yang, seperti biasa, murung tak bermentari di bilangan Uilenstede, di sebuah kamar yang lebih panjang daripada lebarnya. Ketika itu meja sudah lebih dekat ke pintu daripada jendela, seingatku. Meja dekat jendela itu kala musim dingin, masih ada Pak Kaji, sebelum Maret.
Memang betul, jangankan bertahan satu cinta, bertahan hidup itu dilakukan setiap hari bahkan detiknya. Dari ketika hari-hari masih pendek, terbangun jam tujuh pagi pun langit masih gelap, sampai senjakala yang panjang antara setengah sebelas sampai setengah duabelas malam. Rencana-rencana bodoh ketika baru pindah ke bilangan NDSM, sampai beli troli belanja segala, tirai bilik mandi segala. Menjual kulkas Hadi pada Bang Halim untuk membeli yang baru, mengantarnya dengan mobil sewaan ke bilangan Nieuw West sedang badan dingin kemasukan.
Dengan semua ingatan ini, Cantik mengajakku meninggalkan ini semua ke... Belanda. Sebungkus Al-Khanjar belum 'ku masukkan kembali ke dalam kotaknya. Apa tidak 'ku keluarkan saja semua dari plastiknya dan 'ku jadikan satu dalam kotak itu, membawaku ke masa mudaku di sekitar Magelang dan Jogja. Asap rokok sudah lama 'ku tinggalkan, 'ku ganti menjadi asap dupa. Sudah hafal 'kan polanya, pengulangannya, jadi mengapa masih tertarik, masih sulit memalingkan perhatian; atau justru karena pola dan pengulangannya itu sampai berakhir segala sesuatunya.
Aha, baru terpikir olehku apa yang sebenarnya tengah terjadi: retroaksi-mania. Ketika semuanya mungkin tepat pada bentuk dan tempatnya kecuali, seperti biasa, cuping telinga. Belati, pistol, dan granat pernah menjadi khayalan. Meski demikian, tidak akan terwujud kecuali memang kepraktisan menghendaki. Apa guna barang-barang itu bagi seorang hina-tak-bercelana sepertiku ini. Apa 'ku pikir aku semacam Andy Scott begitu yang memakai kalung telinga. Hentak-hentaknya irama disko membuat pinggulku mengayun-ayun sendiri bergoyang-goyang; meski sepi sendiri.
Betapa meriahnya demi melihat tiga pucuk dupa terbakar terang-benderang, sedang awan lembayung bertahan cukup lama di ufuk barat tadi; lebih dari setengah jam. Jika memikirkan apapun yang 'ku lakukan, 'ku lakukan untukmu, jadi terkenang paruh kedua 1991, karena awal 1992 itu, ketika aku terkena hepatitis, aku suka senyummu. Aku ingat, ketika menyadari air seniku berwarna coklat seperti air teh, aku justru ingin minum soda dingin manis. Aku sempat menghabiskan beberapa malam di rumah karantina itu. Namun ketika itu 'ku rasa 'ku sudah mulai membaik.
Tentu saja, indomie telur buatan pembantunya Bu Dokter Tien Tien yang seingatku agak terbelakang mental, dengan rambut yang sedikit botak di sana-sini. Telurnya selalu diaduk dengan kuahnya. Namun ketika itu enak-enak saja. Jelasnya, masih jauh lebih enak daripada buatan Pak Sachid yang lebih banyak kubis cacahnya daripada mie apalagi telur. Terlebih setelah aku dan Bang Benny Oktora harus menghabiskan kerang rebus masing-masing sepanci setiap makan malam. Aku bahkan masih ingat Dokter Tien Tien membelikan kami bakso, tentunya makan dengan lahap.
Aku juga tidak ingat bagaimana asalkan kau bahagia bisa berada dalam koleksiku. Aku hanya ingat seorang anak pemalu menyanyikannya dengan lumayan baik, diiringi gitar gurunya. Hanya 'kuingat betul suasana hati satu map ini yang dimulai dengan ajakan Keisya agar aku jadi kekasihnya saja. Di suatu siang yang, seperti biasa, murung tak bermentari di bilangan Uilenstede, di sebuah kamar yang lebih panjang daripada lebarnya. Ketika itu meja sudah lebih dekat ke pintu daripada jendela, seingatku. Meja dekat jendela itu kala musim dingin, masih ada Pak Kaji, sebelum Maret.
Memang betul, jangankan bertahan satu cinta, bertahan hidup itu dilakukan setiap hari bahkan detiknya. Dari ketika hari-hari masih pendek, terbangun jam tujuh pagi pun langit masih gelap, sampai senjakala yang panjang antara setengah sebelas sampai setengah duabelas malam. Rencana-rencana bodoh ketika baru pindah ke bilangan NDSM, sampai beli troli belanja segala, tirai bilik mandi segala. Menjual kulkas Hadi pada Bang Halim untuk membeli yang baru, mengantarnya dengan mobil sewaan ke bilangan Nieuw West sedang badan dingin kemasukan.
Dengan semua ingatan ini, Cantik mengajakku meninggalkan ini semua ke... Belanda. Sebungkus Al-Khanjar belum 'ku masukkan kembali ke dalam kotaknya. Apa tidak 'ku keluarkan saja semua dari plastiknya dan 'ku jadikan satu dalam kotak itu, membawaku ke masa mudaku di sekitar Magelang dan Jogja. Asap rokok sudah lama 'ku tinggalkan, 'ku ganti menjadi asap dupa. Sudah hafal 'kan polanya, pengulangannya, jadi mengapa masih tertarik, masih sulit memalingkan perhatian; atau justru karena pola dan pengulangannya itu sampai berakhir segala sesuatunya.
Aha, baru terpikir olehku apa yang sebenarnya tengah terjadi: retroaksi-mania. Ketika semuanya mungkin tepat pada bentuk dan tempatnya kecuali, seperti biasa, cuping telinga. Belati, pistol, dan granat pernah menjadi khayalan. Meski demikian, tidak akan terwujud kecuali memang kepraktisan menghendaki. Apa guna barang-barang itu bagi seorang hina-tak-bercelana sepertiku ini. Apa 'ku pikir aku semacam Andy Scott begitu yang memakai kalung telinga. Hentak-hentaknya irama disko membuat pinggulku mengayun-ayun sendiri bergoyang-goyang; meski sepi sendiri.
Betapa meriahnya demi melihat tiga pucuk dupa terbakar terang-benderang, sedang awan lembayung bertahan cukup lama di ufuk barat tadi; lebih dari setengah jam. Jika memikirkan apapun yang 'ku lakukan, 'ku lakukan untukmu, jadi terkenang paruh kedua 1991, karena awal 1992 itu, ketika aku terkena hepatitis, aku suka senyummu. Aku ingat, ketika menyadari air seniku berwarna coklat seperti air teh, aku justru ingin minum soda dingin manis. Aku sempat menghabiskan beberapa malam di rumah karantina itu. Namun ketika itu 'ku rasa 'ku sudah mulai membaik.
Tentu saja, indomie telur buatan pembantunya Bu Dokter Tien Tien yang seingatku agak terbelakang mental, dengan rambut yang sedikit botak di sana-sini. Telurnya selalu diaduk dengan kuahnya. Namun ketika itu enak-enak saja. Jelasnya, masih jauh lebih enak daripada buatan Pak Sachid yang lebih banyak kubis cacahnya daripada mie apalagi telur. Terlebih setelah aku dan Bang Benny Oktora harus menghabiskan kerang rebus masing-masing sepanci setiap makan malam. Aku bahkan masih ingat Dokter Tien Tien membelikan kami bakso, tentunya makan dengan lahap.
No comments:
Post a Comment