Tadi padahal ketika bermotor aku terpikir suatu judul yang heroik, yang tentu saja sekarang 'kulupa. Sekarang bahkan aku langsung mengitiki tanpa menyiapkan pemegang-tempat seperti biasa 'kulakukan sudah entah mungkin setengah tahun lebih ini, atau lebih dari itu. Akhirnya aku terpaksa merelakan entri ini berjudul biasa-biasa saja; sangat tidak imajinatif. Hanya saja gambaran di bawah ini, jika tidak karena antena analog di sudut kanan bawah, tentu sudah menjadi gambaran yang biasa-biasa saja; sangat tidak imajinatif. Uah, mengapa 'kuusir gadis kecil ini.
Ini cerita mengenaimu sendiri, setelah kau menasihatiku: "Merasa baik-baik saja sudah cukup baik". Tentu saja, karena setelahnya kau melempar kedua belah lenganmu ke udara ketika peluru-peluru senapan serbu dan senapan mesin menerjang punggungmu. Kau bertambah gemuk ketika menjadi bombardir/navigator di VA-196, dan di situ pun kau mati lagi di-napalm; seperti Karen E. Walden. Kalimat-kalimat majemuk ini, yang tidak setara dan belingsatan ini, menandakan otak yang begitu juga tingkah-polahnya. Lebih tolol mana: Balki membantu di Gedung Putih.
Memain-mainkan dood yang sulit embosyurnya, aku jadi terpikir, akankah saksofon atau klarinet lebih sulit lagi darinya. Bilah plastik dood memang terasa kaku dan tidak alami. Mungkin bilah bambu lebih mudah dikendalikan, atau itu persangkaanku saja. Lebih baik 'kukomentari serbat sereh ini, meski meditasi membawa syaraf-syarafku rileks mengendur. Mungkin aku kembali saja ke 25 D8. Meski seringnya agak berdebu namun itulah aku. Serba seadanya, serba lapang, agar dapat berpikir tenang. Kepala dan dadaku ini gelegaknya laut selatan. Aku tidak bisa apa.
Sumpal-kupingku seperti yang biasa 'kupakai dari sekitar sepuluhan tahun lalu. Harganya pun masih sama, lima puluh ribuan. Ia biasa menyumpal kupingku sepanjang jalan dari Qoryatussalam sampai Radio Dalam dan balik lagi. Aku sampai lupa bagaimana dulu. Mungkin kurang-lebih seperti sekarang juga. Berangkat pagi pulang malam. Aku masih ingat betapa sesampai dalem Yado seperti masuk angin berat, nggempeleng. Pulangnya dalam keadaan kemasukan pula, mampir di bubur ayam Cirebon pertigaan Ramanda. Uah, mengitiki begini, tak seperti kaji-ulang, memang nyaman.
Perpaduan antara nasi Padang dan gorengan oncom dua, tahu satu, bakwan satu memang tepat mengena. Nasi Padang tentu saja masih sisa banyak. Bahkan telur dan tahu yang menjadi lauknya saja belum disentuh. Baru sambal balado merah dan remah-remah bumbu rempah ayam goreng dan banjir-banjir kuah saja sudah nonjok. Oncom goreng diperas dengan tangan saja sudah mengalir minyak goreng. Ini oncom goreng atau kaos kaki basah. Uah, seandainya bunyi-bunyian nyaman ini dan selebihnya yang baik-baik saja ini justru digunakan mengaji-ulang, bahkan, merevisi.
Tak'da yang 'kan mengubah cintaku padamu mengantar dorongan dua alinea terakhir, seperti seorang anak baru masuk sekolah menengah pertama, baru mandi sore, menghadapi buku-buku pelajarannya. Apakah sebelumnya makan dulu, bisa jadi semur lapis atau lodeh kacang tempe lengkap dengan teri goreng telurnya, masakan ibunya yang cantik. Bapaknya yang gagah perkasa mungkin juga baru saja pulang dari dines siang, meski ada hari-hari ia pulang tengah malam demi sekadar pemasukan tambahan. Nah, memang sulit 'kan kata ini dicari padanannya.
Sangat menghargai karena sangat menyayangi, yakni, disayang-sayang, dieman-eman. Itulah maknanya. Petang sampai sebelum jam sembilan malam adalah waktunya programa dua yang sangat berharga. Seingatku, aku sudah tidak segitunya dengan filem kartun pada saat itu. Persegi satu, Valerie, meski aku tak ingat sama sekali ceritanya, dan tentu saja Pengangkut-super. Jikapun kartun maka Bintang-berani, Kucing-kucing-petir, bahkan aku tak sanggup menunggu untuk berjumpa denganmu. Tak ada apapun boleh memisahkan kita: Cinta pertama 'ku belepotan semen.
Ini cerita mengenaimu sendiri, setelah kau menasihatiku: "Merasa baik-baik saja sudah cukup baik". Tentu saja, karena setelahnya kau melempar kedua belah lenganmu ke udara ketika peluru-peluru senapan serbu dan senapan mesin menerjang punggungmu. Kau bertambah gemuk ketika menjadi bombardir/navigator di VA-196, dan di situ pun kau mati lagi di-napalm; seperti Karen E. Walden. Kalimat-kalimat majemuk ini, yang tidak setara dan belingsatan ini, menandakan otak yang begitu juga tingkah-polahnya. Lebih tolol mana: Balki membantu di Gedung Putih.
Memain-mainkan dood yang sulit embosyurnya, aku jadi terpikir, akankah saksofon atau klarinet lebih sulit lagi darinya. Bilah plastik dood memang terasa kaku dan tidak alami. Mungkin bilah bambu lebih mudah dikendalikan, atau itu persangkaanku saja. Lebih baik 'kukomentari serbat sereh ini, meski meditasi membawa syaraf-syarafku rileks mengendur. Mungkin aku kembali saja ke 25 D8. Meski seringnya agak berdebu namun itulah aku. Serba seadanya, serba lapang, agar dapat berpikir tenang. Kepala dan dadaku ini gelegaknya laut selatan. Aku tidak bisa apa.
Sumpal-kupingku seperti yang biasa 'kupakai dari sekitar sepuluhan tahun lalu. Harganya pun masih sama, lima puluh ribuan. Ia biasa menyumpal kupingku sepanjang jalan dari Qoryatussalam sampai Radio Dalam dan balik lagi. Aku sampai lupa bagaimana dulu. Mungkin kurang-lebih seperti sekarang juga. Berangkat pagi pulang malam. Aku masih ingat betapa sesampai dalem Yado seperti masuk angin berat, nggempeleng. Pulangnya dalam keadaan kemasukan pula, mampir di bubur ayam Cirebon pertigaan Ramanda. Uah, mengitiki begini, tak seperti kaji-ulang, memang nyaman.
Perpaduan antara nasi Padang dan gorengan oncom dua, tahu satu, bakwan satu memang tepat mengena. Nasi Padang tentu saja masih sisa banyak. Bahkan telur dan tahu yang menjadi lauknya saja belum disentuh. Baru sambal balado merah dan remah-remah bumbu rempah ayam goreng dan banjir-banjir kuah saja sudah nonjok. Oncom goreng diperas dengan tangan saja sudah mengalir minyak goreng. Ini oncom goreng atau kaos kaki basah. Uah, seandainya bunyi-bunyian nyaman ini dan selebihnya yang baik-baik saja ini justru digunakan mengaji-ulang, bahkan, merevisi.
Tak'da yang 'kan mengubah cintaku padamu mengantar dorongan dua alinea terakhir, seperti seorang anak baru masuk sekolah menengah pertama, baru mandi sore, menghadapi buku-buku pelajarannya. Apakah sebelumnya makan dulu, bisa jadi semur lapis atau lodeh kacang tempe lengkap dengan teri goreng telurnya, masakan ibunya yang cantik. Bapaknya yang gagah perkasa mungkin juga baru saja pulang dari dines siang, meski ada hari-hari ia pulang tengah malam demi sekadar pemasukan tambahan. Nah, memang sulit 'kan kata ini dicari padanannya.
Sangat menghargai karena sangat menyayangi, yakni, disayang-sayang, dieman-eman. Itulah maknanya. Petang sampai sebelum jam sembilan malam adalah waktunya programa dua yang sangat berharga. Seingatku, aku sudah tidak segitunya dengan filem kartun pada saat itu. Persegi satu, Valerie, meski aku tak ingat sama sekali ceritanya, dan tentu saja Pengangkut-super. Jikapun kartun maka Bintang-berani, Kucing-kucing-petir, bahkan aku tak sanggup menunggu untuk berjumpa denganmu. Tak ada apapun boleh memisahkan kita: Cinta pertama 'ku belepotan semen.
No comments:
Post a Comment