Entah mengapa jika mengingat kata-kata di judul itu, aku jadi teringat Rahmat Hidayat. Sepertiku, seperti rata-rata anak SMP jaman itu (1988-1991), celana pendek kami sangat pendek dan ketat. Bahkan Hen Hen yang seperti bapak-bapak pun begitu celananya. Terlebih Agung Helianto, tak ketinggalan Gundo Widyanto. Maka sesuailah jika aku menyukai Chopin, meski dilanjut seorang wanita yang tengah jatuh cinta. Pada titik ini aku menguatkan hati untuk menulis kepada Gerben dan Laurens. Ya, sudah 'kukerjakan, senyampang malam ini makan roti keju telur ceplok.
Rindukah 'ku pada Asatron, tentu tidak. Rindukah 'ku pada Margonda sebelum beralih abad, bisa jadi. Jika mempelajari sejarah, jika abad ini kurang-lebih seperti abad-abad sebelumnya, maka abad ini jelas bukan masaku, bahkan mungkin bukan masa anakku. Mungkin memang begini saja adaku, merindukan Margonda sebelum peralihan abad. Apa benar yang 'kurindukan, suasananya, kemudaanku. Namun segala ketakutan dan kesengsaraan itu, yang 'kusebabkan sendiri, segala ketololanku. Sedihnya, akibatnya menimpa bukan diriku sendiri saja. Ya, luka itu masih basah...
Dari sini entah mengapa 'ku terlempar jauh ke depan, ke 2019 berkendara selepas maghrib dari RSPAD ke Dalem Radio Dalam, lantas ke tepi Cikumpa; yang mana Asus E203MAH-ku raib ditimpa orang. Aku yakin lelakonku bukanlah yang paling tragis, atau setidaknya, bukan satu-satunya yang tragis. Hari-hari itu, kawanku, yang 'kukira takkan pernah berakhir, tidak pernah benar-benar 'kusukai. Namun ia selalu terselip di antara kesayangan-kesayanganku. Di sini aku terlempar kembali ke motel murah di tepi rel kereta api Lamongan itu, pada suatu Ramadhan 1431 H.
Minggu malam Senin ini, aku mengitiki menghadap gudang yang sekarang tidak lagi mendapat sinar matahari pagi. Mengitiki pagi kini memang tidak menyilaukan, tetapi gelap. Melodi gembira seakan menjanjikan hari-hari penuh semangat, bahkan bergairah seakan masih remaja, atau setidaknya dewasa muda. Aku merasa tolol mengharap yang seperti itu sebenarnya. Namun sungguh itu yang 'kubutuhkan sekarang. Aku punya dugaan mengapa tak lagi 'kurasakan yang seperti itu. Namun aku mengharapkan sesuatu yang berbeda. Rasanya sama, penyebabnya beda. Itu harapanku.
Dalam keadaan seperti ini, aku jadi ingat almarhum Ari Setiawan, mungkin termasuk Bang Riauwan. Adakah benar mereka para kobra: kontol brangasan. Dalam keadaan seperti inilah seharusnya aku tidak kehilangan keyakinanku pada cinta. Hanya sekitikan saja dulu aku pernah terpikir bahwa dendam dapat menjadi sumber tenaga yang berkelanjutan. Selebihnya aku percaya cinta, yang ditebarkan ruangan sederhana berbau apak lembab; meski berlampu neon ulir kuno, diterangi lampu teplok. Itulah ketika cinta benar-benar membuncah dan cita-cita seakan nyata...
...atau semacam ruang makan kotor berdebu di mana aku menulis risalahku mengenai peran serikat buruh dan partai buruh dalam menegakkan hukum perburuhan, yang memberiku nilai A... atau bahkan ruang depannya di mana terdapat meja tulis beralas kaca. Di atasnya mesin tik portabel berwarna hijau, di hadapanku rak buku kesayangan. Kecil saja, namun semua bukunya telah 'kubaca. Asbak, rokok satu slof, waskom penuh berisi kopi hitam pahit tidak perlu ada; lengkap bersama semua ketololan yang menyertainya. Ah, Lagi! bak Asatron berbisik lamat.
Selebihnya, kesengsaraan demi kesengsaraan, ketakutan, kemarahan, rasa tidak berdaya yang secara harafiah melungkrahkan tulang-belulang. Bisa jadi ini sudah musim semi. Dari itu semua masih diberi kesempatan berkali-kali merasakan musim semi, jelas bukan karenaku sendiri. Akankah segera 'kutemui akhir musim dingin menjelang musim semi yang riang-gembira, penuh semangat, penuh berkah keselamatan. Sampai batik-batik lengan panjang itu nyaman dipakai, sampai pada saat itulah sedikit rasa tidak nyaman akan jadi sahabat karibku. Rambate ratahayo!
Rindukah 'ku pada Asatron, tentu tidak. Rindukah 'ku pada Margonda sebelum beralih abad, bisa jadi. Jika mempelajari sejarah, jika abad ini kurang-lebih seperti abad-abad sebelumnya, maka abad ini jelas bukan masaku, bahkan mungkin bukan masa anakku. Mungkin memang begini saja adaku, merindukan Margonda sebelum peralihan abad. Apa benar yang 'kurindukan, suasananya, kemudaanku. Namun segala ketakutan dan kesengsaraan itu, yang 'kusebabkan sendiri, segala ketololanku. Sedihnya, akibatnya menimpa bukan diriku sendiri saja. Ya, luka itu masih basah...
Dari sini entah mengapa 'ku terlempar jauh ke depan, ke 2019 berkendara selepas maghrib dari RSPAD ke Dalem Radio Dalam, lantas ke tepi Cikumpa; yang mana Asus E203MAH-ku raib ditimpa orang. Aku yakin lelakonku bukanlah yang paling tragis, atau setidaknya, bukan satu-satunya yang tragis. Hari-hari itu, kawanku, yang 'kukira takkan pernah berakhir, tidak pernah benar-benar 'kusukai. Namun ia selalu terselip di antara kesayangan-kesayanganku. Di sini aku terlempar kembali ke motel murah di tepi rel kereta api Lamongan itu, pada suatu Ramadhan 1431 H.
Minggu malam Senin ini, aku mengitiki menghadap gudang yang sekarang tidak lagi mendapat sinar matahari pagi. Mengitiki pagi kini memang tidak menyilaukan, tetapi gelap. Melodi gembira seakan menjanjikan hari-hari penuh semangat, bahkan bergairah seakan masih remaja, atau setidaknya dewasa muda. Aku merasa tolol mengharap yang seperti itu sebenarnya. Namun sungguh itu yang 'kubutuhkan sekarang. Aku punya dugaan mengapa tak lagi 'kurasakan yang seperti itu. Namun aku mengharapkan sesuatu yang berbeda. Rasanya sama, penyebabnya beda. Itu harapanku.
Dalam keadaan seperti ini, aku jadi ingat almarhum Ari Setiawan, mungkin termasuk Bang Riauwan. Adakah benar mereka para kobra: kontol brangasan. Dalam keadaan seperti inilah seharusnya aku tidak kehilangan keyakinanku pada cinta. Hanya sekitikan saja dulu aku pernah terpikir bahwa dendam dapat menjadi sumber tenaga yang berkelanjutan. Selebihnya aku percaya cinta, yang ditebarkan ruangan sederhana berbau apak lembab; meski berlampu neon ulir kuno, diterangi lampu teplok. Itulah ketika cinta benar-benar membuncah dan cita-cita seakan nyata...
...atau semacam ruang makan kotor berdebu di mana aku menulis risalahku mengenai peran serikat buruh dan partai buruh dalam menegakkan hukum perburuhan, yang memberiku nilai A... atau bahkan ruang depannya di mana terdapat meja tulis beralas kaca. Di atasnya mesin tik portabel berwarna hijau, di hadapanku rak buku kesayangan. Kecil saja, namun semua bukunya telah 'kubaca. Asbak, rokok satu slof, waskom penuh berisi kopi hitam pahit tidak perlu ada; lengkap bersama semua ketololan yang menyertainya. Ah, Lagi! bak Asatron berbisik lamat.
Selebihnya, kesengsaraan demi kesengsaraan, ketakutan, kemarahan, rasa tidak berdaya yang secara harafiah melungkrahkan tulang-belulang. Bisa jadi ini sudah musim semi. Dari itu semua masih diberi kesempatan berkali-kali merasakan musim semi, jelas bukan karenaku sendiri. Akankah segera 'kutemui akhir musim dingin menjelang musim semi yang riang-gembira, penuh semangat, penuh berkah keselamatan. Sampai batik-batik lengan panjang itu nyaman dipakai, sampai pada saat itulah sedikit rasa tidak nyaman akan jadi sahabat karibku. Rambate ratahayo!
Tung Keripit Ujung Titit Kejepit
No comments:
Post a Comment