Mengapa harus memaki. Mengapa tidak mengiba. Mungkinkah aku tidak melihat ke arah jendela. Hei, itu jendelaku sendiri. Mungkinkah aku tidak melihat ke luarnya. Semakin tua, semakin tidak lucu entri-entri di sini. Semakin tidak bermakna, namun ditulis juga. Lantas apa, mau mengasihani diri sendiri. Tidak ada, jelas-jelas tidak ada yang kasihan padamu. Mengapa harus dikasihani, sedangkan Siti Nurhaliza dari bertahun-tahun yang lalu, sedangkan pianonya sudah di lobi kampus. Sedang aku tidak punya rumah. Sedang aku tidak punya kenangan begini.
Apa yang kaudapati ketika menyibak tirai. Kesakitan. Mengapa sakit. Apakah ketuaanmu yang bacin dan lethek menyakitimu. Aduhai, padahal kau harus membiasakan diri. Jangan banyak mulut kalau masih merasa sakit, begitu saja. Ini Hari Palentin. Hari kasih-sayang. Wajar jika di hari ini, di malam ini, orang saling mengasihi-menyayangi. Coba kausayangi rempah-rempah Bengali itu, mungkin akan kaurasakan kasih-sayangmu dibalasnya, lengkap dengan gurih-gurihnya liur dan bau nafasnya. Setua apapun, masih berhak atas kasih-sayang koq. Coba saja jika tidak percaya.
Namun aku menolak percaya. Aku terlalu masa bodoh untuk percaya pada apapun, meski sebelum ini 'kusempatkan menjenguk Togar Tanjung dan Adrianus Eryan. Untung Pak Greg Sallatu mengalihkan perhatianku dengan pertanyaan mengenai kompor dua tungku. Aku mengetiki seorang diri, pernahkah aku lebih seorang-diri lagi dari sekarang ini. Terkenang olehku waktu-waktu berokibi-bedokiki sampai ke Alfamidi di samping Sederhana, sedang, seperti biasa, berpikir yang tidak-tidak, hanya untuk kembali ke kamar kosan Jang Gobay. Lengang. Sepi. Hangat berkeringat.
Lantas kamar hotel di Palembang! Nah, itu malah lebih tematik. Itu juga lengang, sepi, namun mungkin dingin. Masih ingatkah tolol-tololan main sotosop, padahal bukan itu yang dibutuhkan. Biar 'kutulis di sini. Bulanan. Hahaha, tidak berani. Jadi pengalaman ini bukan baru. Sudah selalu 'kurasakan entah sejak kapan. Sudah tentu lebih lama dari kamar hotel lengang lagi sepi nan dingin di Palembang, malah tolol-tololan sotosopan. Nyatanya aku selamat sampai sekarang, semata karena Belas-kasihNya. Tiada lain! Jadi biarlah kenangan melayang ke bawah toren di Cimone...
Seperti yang 'kurasakan sejak bangun tidur pagi ini, bukan kali pertama. Sudah beberapa kali pula bahkan sambil mengetiki, kalau tidak percaya lihat-lihat saja entri-entri yang lalu. Pagi-pagi sudah bergosip dengan Hari Prasetiyo, salah satu adik yang akhirnya menjadi kesayanganku, keesokan paginya setelah malam Palentin yang syahdu, bagi tetangga seberang halaman. Alinea ini kuteruskan setelah sebelumnya menyiapkan secangkir susu kedelai dikotori seciprat kopi a la macchiatto, sedang cangkirnya dibuat di Oslo, Norwegia. Coba kurang keren bagaimana lagi aku hahaha.
Setelah itu masih disambung ngobrol lumayan lama dengan Mentor Riauwan. Betapa aku menyayanginya, terlebih ditingkahi Setelah Bercinta oleh tetangga seberang halaman. Mentor Riauwan memrentahkan membuat sebuah video obituari dalam memperingati seribu hari wafatnya Pak Teddy Rusdy. Selain aku juga Letkol CHB Sandy Maulana Prakasa diprentahkan dari Paradua. Begitu itulah bentuk kasih-sayangku, di hari kasihku-malang-tersayang ini, kepada Mentor Riauwan dan Kawan Sam, tanpa berdekapan bertukar liur, tanpa mengelus-elus belakang kepala.
Sebelum itu sempat juga berbalas pesan instan dengan dr. Inarota Laily, yang menanyakan ihwal kakiku. Namanya selalu mengingatkan pada lagunya Dino Martino. Begitulah pagiku setelah malam hari kasihku-malang-tersayang, ketika tatap-mataku sendu, seakan kasih sebening kaca. Nasib tak pernah 'kuratapi, 'kuterima dengan tawa. Kehidupan 'kuolah bagaikan menggarap sawah, mumpung tahun kerbau logam. Namun logamnya mulia, jadi lembek. Jadi tidak mungkin jadi garu apalagi luku. Mungkin sawah itu semacam investasiku, a la tuan tanah. Begitu.
No comments:
Post a Comment