Pagi ini aku terbangun dengan ingatan bahwa tehku sudah habis, yang rasa jahe-jeruk itu. Begitu saja aku bersyukur kepadaNya yang telah mengaruniakan kesehatan lahir batin padaku yang hina-dina ini. Para anggota paduan suara Ray Conniff 'kuminta untuk menurunkan kekerasan suaranya sampai dua belas saja pada Asus VivoBook-ku, agar syahdu pagi ini. Betapatah tidak syahdu, dengan roti-sabit keju dan roti-wajik keju, masih ditemani dengan teh hijau harum bunga melati.
Setelah sebelumnya mengambil tisu bekas kapsalon untuk menyeka dahak yang terlempar ke lantai ketika bersin tadi, [Alhamdulillah] hatiku kembali dibuai cantiknya Mawar-mawar Kertas. Perihnya seperti hatiku demi melihat tetangga-tetanggaku bertukar liur dalam rangka hari kasih-sayang. Bahkan sampai 'kumundurkan lagi, sampai kembali ke 'Kutemukan Seseorang Untukku Sendiri. Ini bahkan lebih dahsyat lagi gelegaknya. Gelegak kerinduan pada kemudaan yang bahkan bukan milikku sendiri, namun bagaimanapun membentuk diri dan kedirianku.
Uah, kembali lagi Mawar-mawar Kertas, tepat ketika 'kusadari pada segigit terakhir roti-wajik ada noda darah, mungkin dari gusiku. Pengalaman mengenai kemudaan mengajariku untuk tidak terlalu peduli padanya, dan itu tidak sulit untukku yang masa-bodohan ini. Bahkan ketika Bernie Mengandung Bayi Howie, aku tidak mendengki, meski tidak pernah ada yang mau mengandung bayiku. Memang hidupku tak pernah lepas... dari tali kama, apakah itu sutra atau goni sekalipun. Hidupku punya tujuan yang jelas, punya maksud, dan itu sudah sangat memadai.
Tujuan itu tiada lain adalah untuk menghadirkan kembali Kompleks Angkasa Pura Apron Timur K.28, jikapun hanya untuk sekali lagi, jikapun hanya sekejap mata. Semoga Allah suka akan tujuan itu dan memberkahinya, menunjukkan jalan yang lempang, selempang landasan utama, lancar, dan dimudahkan dalam melaluinya. Pada ketika ini, 'kupandangi Bapak dan Ibu dari sekitar lima-belasan tahun lalu. Tidak, aku tidak takut pada berpacunya waktu, karena waktu memang selalu berpacu sejak pertama diciptakanNya, karena waktuku adalah WaktuNya.
Betapatah aku takkan terbuai, menyandarkan kepala botakku pada buah dada yang penuh dan lembut, sedang botak-botakku dielus penuh kasih, seakan ia ciptaan terindah di dunia. Bahkan aku tidak botak, meski sejak bayi rambutku memang selalu dicukur pendek. Bukan, ini bukan buah dada pelacur, meski buah dada pelacur seringnya harum dan ranum juga. Harum-harumnya pun bukan kosmetik murah, yang meski 'kusuka, namun bukan itu. Apalagi parfum mahal yang sengaja disemprotkan pada belahan di antara buah-buah dada, pun tiada bandul kalung atau apapun.
Jiahaha, ternyata tikus buah hati seorang anak yang jadi korban kekerasan seksual, yang, karenanya, tidak pernah beranjak dewasa, dan melampiaskan kesakitannya pada anak-anak lain. Naudzubillah. Amit-amit, ini sih tidak ada buah dadanya. Kalau begini, bahkan buah dada Anna Nicole Smith pun aku ogah. Bukan itu semua. Ini buah dada tak berkepala, tak berwajah, meski dapat kurasakan gembung perut di bawahnya, halus, lembut. Belahannya agak berkeringat titik-titik, karena memang bohlam lima watt pun cukup untuk menambah hangat bilik kecil.
Sepoinya Angin Musim Panas menerpa wajahku, apakah di jalan apron timur atau sepanjang Margonda. Wajahku tetap wajahku yang dulu, meski buah-buah dada tidak pernah berwajah. Seperti apapun bentuknya, buah dada tidak pernah berwajah, tidak bernama. Hanya bocah tolol yang butuh wajah apalagi nama, mendamba "GFE" hahaha. Aku memutuskan untuk tidak tolol, seperti seorang jenderal zombi yang tidak membutuhkan kepala-kepala zombi dalam balatentaranya. "Apapun yang bertengger di atas leher tidak berguna!" raungnya; sedang di atas lehernya ada kepala.
Setelah sebelumnya mengambil tisu bekas kapsalon untuk menyeka dahak yang terlempar ke lantai ketika bersin tadi, [Alhamdulillah] hatiku kembali dibuai cantiknya Mawar-mawar Kertas. Perihnya seperti hatiku demi melihat tetangga-tetanggaku bertukar liur dalam rangka hari kasih-sayang. Bahkan sampai 'kumundurkan lagi, sampai kembali ke 'Kutemukan Seseorang Untukku Sendiri. Ini bahkan lebih dahsyat lagi gelegaknya. Gelegak kerinduan pada kemudaan yang bahkan bukan milikku sendiri, namun bagaimanapun membentuk diri dan kedirianku.
Uah, kembali lagi Mawar-mawar Kertas, tepat ketika 'kusadari pada segigit terakhir roti-wajik ada noda darah, mungkin dari gusiku. Pengalaman mengenai kemudaan mengajariku untuk tidak terlalu peduli padanya, dan itu tidak sulit untukku yang masa-bodohan ini. Bahkan ketika Bernie Mengandung Bayi Howie, aku tidak mendengki, meski tidak pernah ada yang mau mengandung bayiku. Memang hidupku tak pernah lepas... dari tali kama, apakah itu sutra atau goni sekalipun. Hidupku punya tujuan yang jelas, punya maksud, dan itu sudah sangat memadai.
Tujuan itu tiada lain adalah untuk menghadirkan kembali Kompleks Angkasa Pura Apron Timur K.28, jikapun hanya untuk sekali lagi, jikapun hanya sekejap mata. Semoga Allah suka akan tujuan itu dan memberkahinya, menunjukkan jalan yang lempang, selempang landasan utama, lancar, dan dimudahkan dalam melaluinya. Pada ketika ini, 'kupandangi Bapak dan Ibu dari sekitar lima-belasan tahun lalu. Tidak, aku tidak takut pada berpacunya waktu, karena waktu memang selalu berpacu sejak pertama diciptakanNya, karena waktuku adalah WaktuNya.
Betapatah aku takkan terbuai, menyandarkan kepala botakku pada buah dada yang penuh dan lembut, sedang botak-botakku dielus penuh kasih, seakan ia ciptaan terindah di dunia. Bahkan aku tidak botak, meski sejak bayi rambutku memang selalu dicukur pendek. Bukan, ini bukan buah dada pelacur, meski buah dada pelacur seringnya harum dan ranum juga. Harum-harumnya pun bukan kosmetik murah, yang meski 'kusuka, namun bukan itu. Apalagi parfum mahal yang sengaja disemprotkan pada belahan di antara buah-buah dada, pun tiada bandul kalung atau apapun.
Jiahaha, ternyata tikus buah hati seorang anak yang jadi korban kekerasan seksual, yang, karenanya, tidak pernah beranjak dewasa, dan melampiaskan kesakitannya pada anak-anak lain. Naudzubillah. Amit-amit, ini sih tidak ada buah dadanya. Kalau begini, bahkan buah dada Anna Nicole Smith pun aku ogah. Bukan itu semua. Ini buah dada tak berkepala, tak berwajah, meski dapat kurasakan gembung perut di bawahnya, halus, lembut. Belahannya agak berkeringat titik-titik, karena memang bohlam lima watt pun cukup untuk menambah hangat bilik kecil.
Sepoinya Angin Musim Panas menerpa wajahku, apakah di jalan apron timur atau sepanjang Margonda. Wajahku tetap wajahku yang dulu, meski buah-buah dada tidak pernah berwajah. Seperti apapun bentuknya, buah dada tidak pernah berwajah, tidak bernama. Hanya bocah tolol yang butuh wajah apalagi nama, mendamba "GFE" hahaha. Aku memutuskan untuk tidak tolol, seperti seorang jenderal zombi yang tidak membutuhkan kepala-kepala zombi dalam balatentaranya. "Apapun yang bertengger di atas leher tidak berguna!" raungnya; sedang di atas lehernya ada kepala.
No comments:
Post a Comment