Terpaksa harus diganti satu-satu, setelah Untuk Kehidupan yang Baik. Setelah itu baru Karenamu. Ini mengerikan. Bisakah aku langsung melukiskannya begitu saja tanpa harus berkomentar ini mengerikan. Karena memang mengerikan. Kesakitan itu, yang entah kapan sembuhnya. Aku bahkan tidak ingin sekadar membayangkan jawabannya. Ini sudah agak berbeda. Ini adalah tivi besar dan sofabed lipat tempat aku terkadang tidur. Pernah juga di kantor depan ditemani Kolonel Marinir Bambang Widjanarko yang membangun Gereja Katolik Santo Yohanes Penginjil.
Baiklah 'kubiarkan saja, biar makin terasa itu peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Mana yang ingin 'kuresapi, tepat di pinggir Jalan Radar AURI yang terkadang lewat motor dengan klakson meringkik menjengkelkan, atau Gereja Yohanesnya sekali, yang terlihat dari puncak-atap SDN Pulo. Itulah tempat-tempat yang pernah 'kusinggahi sampai mewarnai jiwaku. Masih terasa dinginnya teras dihembus angin musim penghujan awal 2006, bahkan ketika blog ini belum dimulai. Entah dari mana idenya aku merepotkan Doni Brasco sampai membuatnya menanam bambu kuning.
Memang lebih baik begini, daripada yang mengharu-biru. Apa itu di kulkas yang pernah 'kumaikrowev. 'Kurasa memang di situ pertama kali aku kenal maikrowev, yang sekitar dua tahunan kemudian menjadi magnetron; yaitu di ruang makan mungil nan bau anjing. Kepada siapa aku 'kan menggugat jika hidupku begini amat. Lantas kau mau hidup yang seperti apa. Seperti seorang anak lelaki yang menyimak cermat-cermat sambil meletakkan telunjuk di pelipis, seraya menelengkan kepala. Kau bertanya, mengapa hidup tidak bisa seperti itu saja. Jelas tidak mungkin.
Haruskah 'kucatat di sini bahwa mendekati tengah-malam di Amsterdam perutku lapar. Haruskah aku menyiapkan sekerat roti lapis keju kalkun. Nyatanya bukan sekerat, melainkan satu porsi penuh, terdiri dari tiga kerat roti gandum, dua lembar keju Gouda muda, dan dua kalkun lembaran. Ya, kalkun inilah yang mengakibatkannya jadi satu porsi penuh alih-alih sekerat saja. Biar 'kucatat agak rinci begini, biar suatu hari, Insya Allah, terbaca, sedangkan dadaku basah berkeringat. Mungkin belakang kepalaku pun berkeringat jika sedang gondrong. Begitu itulah saja hidup.
Barusan Baton Huda, seorang sersan dari Batalyon Sikatan, menjejalkan sesuap besar roti lapis keju kalkun ke mulutku, sampai-sampai menempel di langit-langit mulut roti gandumnya, sedang aku hanya dapat menggunakan geraham kiriku untuk mengunyah. Kini aku melayang-layang ke Italia. Aduh, bagaimana tidurku dengan perut penuh begini. Nyenyak. Tanpa mimpi. Bangun pagi, segar dan memberondongkan kata pada draf awal Bab Enam. Lalalala yang cantik dari kecilku, cinta pertamaku. 'Kusambung semua begitu, Al Di La, baru 'kupisah judulnya.
Astaga, dilanjut Langit dalam Satu Bait, cintaku terbaru, karena memang baru-baru ini saja. Setelah aku tua, mungkin di tepi Cikumpa atau Mushala HAN. Akan ada waktunya aku ungkep-ungkep lagi di situ. Entah aku yang di sofa, Hari Abu Luna di karpet atau sebaliknya. Atau bahkan lebih hebat lagi. Ruang sendiri sehingga ada semacam kasur lipat nyaman bila sedang butuh kenyamanan. Aduhai. Sebuah sajadah tentu, yang bukan biru berdakron atau tanpa dakron. Entah seperti apa. Bagaimana dengan jendela, mungkin ada. Apa pun, hidup ini aduhai sungguh indah.
Tinggal bagaimana menikmatinya saja sesuai selera. Apakah bergaya Napolitana, atau negeri jauh mana pun, yang penting tetap di ruangan sendiri. Uah, dapat 'kurasakan lamat-lamat apaknya, atau malah harum lembut baunya sekali. Sejuknya hawa apakah karena AC atau kelembaban alami yang nyaman. Semuanya sungguh nyata, ketika dunia sekali lagi menjadi tempat yang nyaman untuk hidup, meski semua juga tahu hanya untuk sementara waktu. Itulah dambaan. Selain itu aku tidak sanggup membayangkan. Lagipula sudah cukup bagiku begitu saja, tidak lainnya.