Mungkin memang sudah pada tempatnya jika Juli, sebagaimana Januari, memiliki enam entri. Juli merupakan awal dari paruh kedua tahun ini, seperti halnya Januari adalah awal dari paruh pertamanya. Alhamdulillah, tahun ini sudah hampir setengah jalan, dengan rutinitas baru! Aku tidak ingat, atau sekadar sedang malas mengingat, tetapi rutinitas yang kutinggalkan memang sudah mengurungku, membuatku menjadi seperti ini. Siapa tahu, rutinitas baru ini menjadi semacam pembalik ke sediakala, ke arah yang lebih baik. Insya Allah Ta’ala.
Sungguh unik suasana sore ini. Ini seperti jam setengah enam sore kalau di kampung, padahal sekarang jam sembilan. Pernahkah aku menulis entri pada waktu seperti ini, aku tidak ingat. Apa yang biasanya kulakukan pada jam-jam segini. Bisa jadi di kelas, selebihnya aku lupa. Entri ini mungkin akan jadi entri kedua yang ilustrasinya gambar yang kuambil sendiri. Akankah seterusnya seperti ini, mengingat ada saja yang ilustrasinya hilang. Bisa jadi. Ini adalah blog kata-kata bukan gambar, bagaimanapun.
Jam begini memang tidak sesuai untuk menulis entri. Biasanya, badan sudah penat apalagi pikiran. Maka sekarang pun tidak lancar, namun kupaksakan juga. Membaca Verstappen aku sudah malas, melamun sangat membahayakan, meski aku bukan pelamun. Ada rasa rindu yang sekuat tenaga kutahan. Sungguh indah sore menunggu maghrib jika bersama dengan orang-orang yang dicintai. Di sini, demikianlah keadaanku. Semoga derita ini menghapus dosa-dosaku. Makanya jangan ditambah, dong. Dalam kasus Hadi empat bulan. Aku berapa lama, tidak tahu.
Ya Allah, berkelebat-kelebat itu berbagai kenangan mengenai sore-sore indah yang telah kulewati. Suatu hari nanti, mungkin gambar ini pun yang akan mengelebat. Mengetik entri, menghadap jendela yang mempertontonkan langit sore yang nyaman, sedangkan kelak bangunan-bangunan ini mungkin sudah jadi. Dua orang perempuan keturunan Afrika melintas di kejauhan. Mereka tidak mempedulikanku. Ya, ini musim panas. Akhir Juli. Lalu masuk Agustus, dan kertas delapan bulan alias disain penelitianku pun selesailah. Insya Allah. Lalu berbagai kursus yang menggairahkan.
Ini entri tidak bagus, tidak mengalir, meski tiba-tiba saja melintas persekitaran Jalan Tambak di waktu-waktu seperti ini. Uah, aku mungkin tidak akan begitu suka. ‘Tuh ‘kan, bahkan di sana saja ada kemungkinan tidak suka. Jangankan itu. Tepat di samping Cantik, di atas kasur nyaman pun masih ada kemungkinan itu tidak suka. Lantas apa bedanya, jarak, waktu tidak menentukan. Kau bisa di manapun, kapanpun, dan tetap merasa suka. Jangan pedulikan apapun yang dirasa, tetap ingat Allah.
Jendela kubuka lebar-lebar hampir satu jam tadi, semoga tidak ada serangga masuk. Apapun rasanya, tempat ini akan menjadi kenangan indah setelah dilalui. Insya Allah, jika sampai waktunya nanti, mungkin aku tidak akan kembali lagi ke sini. Bisa jadi aku akan tinggal bersama Hadi. Setidaknya aku pulang akan bertemu orang, meski seperti itu bentuknya. Insya Allah, aku selalu bisa masuk kamar, namun selalu bisa keluar dan bertemu dengan orang, meski Hadi. Mungkin kami memang sama-sama kesepian.
Aku merasa seperti ada serangga. Semoga itu perasaanku saja. Buat apa gelisah, toh maghrib Insya Allah segera menjelang. Setelah itu, seperti biasa, tinggal menunggu Isya’. Setelah Isya’ tinggal menunggu kantuk. Jangan lupa minum obat, seperti sudah kaulakukan satu setengah tahun lebih. Siapa tahu suatu saat nanti kau akan terbebas dari itu semua, seperti yang selalu kaupinta selama ini. Aku memang terlahir murung, namun tidak berarti aku tidak bisa optimis. Apa lagi yang kupunya selain optimisme?
...yang istimewa itu, ada kaas croissant yang sudah digigit, makan malamku... |
Jam begini memang tidak sesuai untuk menulis entri. Biasanya, badan sudah penat apalagi pikiran. Maka sekarang pun tidak lancar, namun kupaksakan juga. Membaca Verstappen aku sudah malas, melamun sangat membahayakan, meski aku bukan pelamun. Ada rasa rindu yang sekuat tenaga kutahan. Sungguh indah sore menunggu maghrib jika bersama dengan orang-orang yang dicintai. Di sini, demikianlah keadaanku. Semoga derita ini menghapus dosa-dosaku. Makanya jangan ditambah, dong. Dalam kasus Hadi empat bulan. Aku berapa lama, tidak tahu.
Ya Allah, berkelebat-kelebat itu berbagai kenangan mengenai sore-sore indah yang telah kulewati. Suatu hari nanti, mungkin gambar ini pun yang akan mengelebat. Mengetik entri, menghadap jendela yang mempertontonkan langit sore yang nyaman, sedangkan kelak bangunan-bangunan ini mungkin sudah jadi. Dua orang perempuan keturunan Afrika melintas di kejauhan. Mereka tidak mempedulikanku. Ya, ini musim panas. Akhir Juli. Lalu masuk Agustus, dan kertas delapan bulan alias disain penelitianku pun selesailah. Insya Allah. Lalu berbagai kursus yang menggairahkan.
Ini entri tidak bagus, tidak mengalir, meski tiba-tiba saja melintas persekitaran Jalan Tambak di waktu-waktu seperti ini. Uah, aku mungkin tidak akan begitu suka. ‘Tuh ‘kan, bahkan di sana saja ada kemungkinan tidak suka. Jangankan itu. Tepat di samping Cantik, di atas kasur nyaman pun masih ada kemungkinan itu tidak suka. Lantas apa bedanya, jarak, waktu tidak menentukan. Kau bisa di manapun, kapanpun, dan tetap merasa suka. Jangan pedulikan apapun yang dirasa, tetap ingat Allah.
Jendela kubuka lebar-lebar hampir satu jam tadi, semoga tidak ada serangga masuk. Apapun rasanya, tempat ini akan menjadi kenangan indah setelah dilalui. Insya Allah, jika sampai waktunya nanti, mungkin aku tidak akan kembali lagi ke sini. Bisa jadi aku akan tinggal bersama Hadi. Setidaknya aku pulang akan bertemu orang, meski seperti itu bentuknya. Insya Allah, aku selalu bisa masuk kamar, namun selalu bisa keluar dan bertemu dengan orang, meski Hadi. Mungkin kami memang sama-sama kesepian.
Aku merasa seperti ada serangga. Semoga itu perasaanku saja. Buat apa gelisah, toh maghrib Insya Allah segera menjelang. Setelah itu, seperti biasa, tinggal menunggu Isya’. Setelah Isya’ tinggal menunggu kantuk. Jangan lupa minum obat, seperti sudah kaulakukan satu setengah tahun lebih. Siapa tahu suatu saat nanti kau akan terbebas dari itu semua, seperti yang selalu kaupinta selama ini. Aku memang terlahir murung, namun tidak berarti aku tidak bisa optimis. Apa lagi yang kupunya selain optimisme?
No comments:
Post a Comment