Kenapa? Padahal kamu ‘kan cantik, 'Dik? Hahaha iya aku salah orang. Maaf ya, 'Dik. Aku selalu berusaha mengenali kalian semua satu persatu, tapi kalau kelas besar seperti MMI, Hansek dsb. pasti ada aja yang miss. Akhirnya ada alasan beneran 'nulis surat buat Janet. 'Ga beneran diminta, sih. Aku 'aja yang merasa bersalah. Iya, 'Dik, daripada gadsam-gadsaman, muting-mutingan jelas lebih keren. ...dan budak korporat, jangan begitulah, ‘Dri. Ini ‘kan salah satu bidang hukum yang sangat penting.
Akan halnya aku lebih memilih Hexa, semata karena preferensi fisik. Kalau aku punya anak perempuan, besar kemungkinan ia akan hitam manis sepertinya. Sebaliknya, kecil kemungkinan anak perempuanku seperti kamu ‘kan. Ngomong-ngomong, mungkin ke depan wajah hukum Indonesia akan semakin feminin dan feminis, mengingat dari satu angkatan ke angkatan berikutnya jumlah mahasiswa perempuan di FHUI selalu lebih banyak. Dan ini adalah suatu pertanda baik. Sudah sekitar empat milenia peradaban manusia didikte oleh perspektif laki-laki letoy pemalas.
Kuharap Conrad dan Pongtiku sudah tidak bertanya-tanya lagi apa rujukanku untuk ini, tapi yang jelas ada. Membaca tulisan Conrad dan Hexa aku jadi ingat kelakuanku jaman masih gaya-gayaan foucaldian, gramscian, dsb. Sialnya sekarang, lagi 'nulis disertasi, mungkin aku harus mengingat-ingat lagi cara melakukan itu hahaha. Hanya saja, aku bermimpi suatu hari nanti lembaga pendidikan apalagi tinggi selalu menjadi tempat orang, siapapun, mencari terang. Dulu sekali cerdik-cendekia mengembara keluar-masuk kampung memberi terang dengan keterampilan dan kefasihannya.
Sungguh sampai sekarang aku merasa canggung menyebut diriku sendiri dosen. Sampai beberapa tahun sebelumnya aku karyawan seperti Pak Roni atau Pak Mono. Setiap kali berdiri di depan kelas, aku tidak merasa sedang menghadapi mahasiswa, tetapi masa depan hukum Indonesia, yang mana aku sangat berkepentingan. Ya, karena kalianlah pembangun bangsa dan negara, sedangkan tetangga kita yang dekat Kukusan itu paling cuma bangun jembatan. Aku menaruh harapan besar kepada kalian, terlebih setelah aku merasa semakin tidak berdaya.
Begitulah, jika kalian berlebihan membelanjakan pendapatan dari berpraktik hukum korporat sampai selalu merasa kurang, ingin lebih banyak lagi, tidak puas dengan es kepal mailo, mungkin benar kalian budak korporat. Namun kalau kalian menggunakan secukupnya untuk diri sendiri, jika ada sisanya digunakan untuk memberi manfaat bagi yang lain, misal, 'nraktir kaum dhuafa seperti Adri dan Efraim biar taunya ngga cuma Mang Ade Madris, sedang kalian terus mengasah keterampilan hukum korporat, itu artinya kalian praktisi hukum korporat.
Begitu saja bedanya. Aku sendiri berpendapat setiap sarjana hukum hendaknya pernah merasakan lawyering, apakah litigasi atau non-litigasi. Dalam suatu tata-hukum yang sempurna, dalam hidupnya seorang sarjana hukum seharusnya pernah merasakan menjalankan praktik privat, mengemban jabatan publik di bidang hukum serta meneliti dan mengajar. Berhubung sekarang belum memungkinkan, setidaknya pelihara dan usahakanlah wawasan ini, setidaknya tularkan kepada sebanyak mungkin orang. Jika belum di masa kalian, mungkin jaman adik-adik, bahkan anak-anak kalian. Kapanpun itu, peliharalah harapan ini.
Berhubung ini surat untuk Janet, biarkanlah aku menyapamu lagi... eh, Hexa juga ding. Dulu ketika masih umur duapuluhan aku selalu ingin punya anak laki-laki. Sekarang di umur empatpuluhan ini, entah mengapa aku lebih sayang pada anak perempuan. Kudoakan kalian berdua kelak menjadi manusia paripurna, dan itu artinya menjadi seorang ibu. Sejatinya, tidak ada lagi kedudukan lebih mulia yang bisa dicapai manusia kecuali menjadi ibu. Conrad bisa bertakwa pada Tuhan, tapi tidak akan pernah menjadi ibu.
Salam Sayang,
'Lik Bono
Akan halnya aku lebih memilih Hexa, semata karena preferensi fisik. Kalau aku punya anak perempuan, besar kemungkinan ia akan hitam manis sepertinya. Sebaliknya, kecil kemungkinan anak perempuanku seperti kamu ‘kan. Ngomong-ngomong, mungkin ke depan wajah hukum Indonesia akan semakin feminin dan feminis, mengingat dari satu angkatan ke angkatan berikutnya jumlah mahasiswa perempuan di FHUI selalu lebih banyak. Dan ini adalah suatu pertanda baik. Sudah sekitar empat milenia peradaban manusia didikte oleh perspektif laki-laki letoy pemalas.
Kuharap Conrad dan Pongtiku sudah tidak bertanya-tanya lagi apa rujukanku untuk ini, tapi yang jelas ada. Membaca tulisan Conrad dan Hexa aku jadi ingat kelakuanku jaman masih gaya-gayaan foucaldian, gramscian, dsb. Sialnya sekarang, lagi 'nulis disertasi, mungkin aku harus mengingat-ingat lagi cara melakukan itu hahaha. Hanya saja, aku bermimpi suatu hari nanti lembaga pendidikan apalagi tinggi selalu menjadi tempat orang, siapapun, mencari terang. Dulu sekali cerdik-cendekia mengembara keluar-masuk kampung memberi terang dengan keterampilan dan kefasihannya.
Sungguh sampai sekarang aku merasa canggung menyebut diriku sendiri dosen. Sampai beberapa tahun sebelumnya aku karyawan seperti Pak Roni atau Pak Mono. Setiap kali berdiri di depan kelas, aku tidak merasa sedang menghadapi mahasiswa, tetapi masa depan hukum Indonesia, yang mana aku sangat berkepentingan. Ya, karena kalianlah pembangun bangsa dan negara, sedangkan tetangga kita yang dekat Kukusan itu paling cuma bangun jembatan. Aku menaruh harapan besar kepada kalian, terlebih setelah aku merasa semakin tidak berdaya.
Begitulah, jika kalian berlebihan membelanjakan pendapatan dari berpraktik hukum korporat sampai selalu merasa kurang, ingin lebih banyak lagi, tidak puas dengan es kepal mailo, mungkin benar kalian budak korporat. Namun kalau kalian menggunakan secukupnya untuk diri sendiri, jika ada sisanya digunakan untuk memberi manfaat bagi yang lain, misal, 'nraktir kaum dhuafa seperti Adri dan Efraim biar taunya ngga cuma Mang Ade Madris, sedang kalian terus mengasah keterampilan hukum korporat, itu artinya kalian praktisi hukum korporat.
Begitu saja bedanya. Aku sendiri berpendapat setiap sarjana hukum hendaknya pernah merasakan lawyering, apakah litigasi atau non-litigasi. Dalam suatu tata-hukum yang sempurna, dalam hidupnya seorang sarjana hukum seharusnya pernah merasakan menjalankan praktik privat, mengemban jabatan publik di bidang hukum serta meneliti dan mengajar. Berhubung sekarang belum memungkinkan, setidaknya pelihara dan usahakanlah wawasan ini, setidaknya tularkan kepada sebanyak mungkin orang. Jika belum di masa kalian, mungkin jaman adik-adik, bahkan anak-anak kalian. Kapanpun itu, peliharalah harapan ini.
Berhubung ini surat untuk Janet, biarkanlah aku menyapamu lagi... eh, Hexa juga ding. Dulu ketika masih umur duapuluhan aku selalu ingin punya anak laki-laki. Sekarang di umur empatpuluhan ini, entah mengapa aku lebih sayang pada anak perempuan. Kudoakan kalian berdua kelak menjadi manusia paripurna, dan itu artinya menjadi seorang ibu. Sejatinya, tidak ada lagi kedudukan lebih mulia yang bisa dicapai manusia kecuali menjadi ibu. Conrad bisa bertakwa pada Tuhan, tapi tidak akan pernah menjadi ibu.
Salam Sayang,
'Lik Bono
No comments:
Post a Comment