Nah, ini dia. Ini bukan acaranya Bang Mohan Mehra. Ini suatu teknik baru dalam menerbitkan entri. Jika selama ini aku kerap menyalahgunakan retroaksi, kali ini, setelah dibantu Thesaurus, aku mencoba progresi. Ya, karena aku pada dasarnya tidak ingin menyalahi janjiku pada Januari. Jika Juli harus seperti Januari, maka enam-lah ia. Meski tadi ketika turun dari trem nomor 7 ada sedikit godaan, jangan-jangan Juli jadi tujuh. Baru saja aku terpikir mengenai progresi ini. Apa salahnya dicoba.
Mencoba progresi seharusnya ilustrasinya progresif juga, lha ini koq malah Sinatra campur Jobim. Sebelumnya sempat Fausto Papetti, namun terasa terlalu melangutkan jiwa di petang hari kala sang surya nyaris tenggelam begini. Aduh, sepertinya Sinatra campur Jobim ini pun harus segera diganti... jadi Rapsodi Gelandangan! ...atau tanpa ilustrasi sama sekali? Ah, biarkan saja! Setidaknya sampai entri ini selesai. Masalah nanti melanjutkan bekerja atau entah apa, itu urusan belakangan. Sebagai pilot kamikaze, aku tidak boleh banyak berpikir.
Ini seperti pagi-pagi sehabis subuh mendengarkan kisah-kisah mengenai pilot kamikaze, sedangkan jendela dibuka, lantas kaki perlahan-lahan mendingin dan makin dingin. Pagi yang dingin aku sendiri. Dingin-dingin, tambah dingin, semakin dingin... Halah! PYMM apa kabarnya? Aduhai cucok! 'Udah edan hari 'gini Rapsodi Gelandangan bertingkah. Menulis entri hari 'gini juga edan, sebenarnya. Setidaknya tidak dengan Dalam Rahimnya Nirwana. Hebat ini menulis entri tanpa peduli suasana hati. Mungkin karena sedang kemasukan kamikaze. Mungkin karena hari ini kode oranye.
Apakah setelah ini justru menuntaskan 'nonton Flash Gordon yang beberapa tahun lalu pernah Jumat dua rakaat, bisa jadi. Ya, ini sih tidak ada bedanya dengan entah berapa ribu hari-hari panas yang pernah kulalui, yang membuatku kemasukan juga. Akan halnya aku bungkruh, mau bagaimana lagi. Ini cucok dengan beberapa tahun lalu itu juga, di mana terjadi jungkat-jungkit yang sekarang sedang menghadapi kemalangan. Astaga. Mengapa yang terkenang justru memanjat ke lantai empat, sesampainya di sana malah cegukan.
Ah, Ratu Pembunuh memang selalu berhasil membangun suasana. Masalahnya suasana seperti apa yang terbangun olehnya? Apakah sore-sore juga di Radar AURI. Uah, ini juga jadi cucok. Bedanya sekarang aku mengerjakannya untuk diriku sendiri. Masya Allah, tidak pernah kusangka, setelah duabelas tahun terjadi juga ini padaku. Berapa banyak lagi sisanya, betapa kita semua saling bersilangan, namun ujungnya sudah jelas. Sudah pasti! Tanda seru kurasa lebih baik dari tanda tanya. Lebih asertif. [nasib buruk menimpa orang baik...]
Mungkin di sini sudah pernah ada Gadis Berpantat Semok. Tidak perlu juga kutonton di bioskop. Mana tahu, ketika sedang duduk-duduk menghadap Cikumpa ia akan muncul begitu saja seperti James Brown, Ray Charles, siapa lagi. Bedanya kali ini aku sedang memperjuangkan sesuatu. Apa memang. Entah, sedangkan belum pukul sembilan matahari sudah kehilangan keperkasaannya. Demi masa. Demi waktu senja. Masih haruskah aku berusaha mencari kesenangan, sedangkan yang terpasang tinggal lagi Peradaban Lima Dunia Baru yang Berani begini.
Masih ingatkah kau akan Bangkitnya Bangsa-bangsa. Adakah ia masih menarik. Bersedia, siap, yak! Mengapa tidak pergi. Mengapa sepeda menyebabkan sentlap-sentlup. Mengapa jika sadelnya sudah disetel aku harus yakin bahwa ia tidak akan menyodomiku lagi. Aku tidak mau menjadi Presiden Amerika Serikat, apalagi Presiden Republik Indonesia. Itu biar Jokowi saja. Biar dua periode, jika maunya begitu. Aku hanya ingin Sahabat Terbaik dan itu adalah Cantik. [Aku merindukannya itu sudah pasti, meski kutahan-tahan agar jangan sampai terlintas]
Mencoba progresi seharusnya ilustrasinya progresif juga, lha ini koq malah Sinatra campur Jobim. Sebelumnya sempat Fausto Papetti, namun terasa terlalu melangutkan jiwa di petang hari kala sang surya nyaris tenggelam begini. Aduh, sepertinya Sinatra campur Jobim ini pun harus segera diganti... jadi Rapsodi Gelandangan! ...atau tanpa ilustrasi sama sekali? Ah, biarkan saja! Setidaknya sampai entri ini selesai. Masalah nanti melanjutkan bekerja atau entah apa, itu urusan belakangan. Sebagai pilot kamikaze, aku tidak boleh banyak berpikir.
Ini seperti pagi-pagi sehabis subuh mendengarkan kisah-kisah mengenai pilot kamikaze, sedangkan jendela dibuka, lantas kaki perlahan-lahan mendingin dan makin dingin. Pagi yang dingin aku sendiri. Dingin-dingin, tambah dingin, semakin dingin... Halah! PYMM apa kabarnya? Aduhai cucok! 'Udah edan hari 'gini Rapsodi Gelandangan bertingkah. Menulis entri hari 'gini juga edan, sebenarnya. Setidaknya tidak dengan Dalam Rahimnya Nirwana. Hebat ini menulis entri tanpa peduli suasana hati. Mungkin karena sedang kemasukan kamikaze. Mungkin karena hari ini kode oranye.
Apakah setelah ini justru menuntaskan 'nonton Flash Gordon yang beberapa tahun lalu pernah Jumat dua rakaat, bisa jadi. Ya, ini sih tidak ada bedanya dengan entah berapa ribu hari-hari panas yang pernah kulalui, yang membuatku kemasukan juga. Akan halnya aku bungkruh, mau bagaimana lagi. Ini cucok dengan beberapa tahun lalu itu juga, di mana terjadi jungkat-jungkit yang sekarang sedang menghadapi kemalangan. Astaga. Mengapa yang terkenang justru memanjat ke lantai empat, sesampainya di sana malah cegukan.
Ah, Ratu Pembunuh memang selalu berhasil membangun suasana. Masalahnya suasana seperti apa yang terbangun olehnya? Apakah sore-sore juga di Radar AURI. Uah, ini juga jadi cucok. Bedanya sekarang aku mengerjakannya untuk diriku sendiri. Masya Allah, tidak pernah kusangka, setelah duabelas tahun terjadi juga ini padaku. Berapa banyak lagi sisanya, betapa kita semua saling bersilangan, namun ujungnya sudah jelas. Sudah pasti! Tanda seru kurasa lebih baik dari tanda tanya. Lebih asertif. [nasib buruk menimpa orang baik...]
Mungkin di sini sudah pernah ada Gadis Berpantat Semok. Tidak perlu juga kutonton di bioskop. Mana tahu, ketika sedang duduk-duduk menghadap Cikumpa ia akan muncul begitu saja seperti James Brown, Ray Charles, siapa lagi. Bedanya kali ini aku sedang memperjuangkan sesuatu. Apa memang. Entah, sedangkan belum pukul sembilan matahari sudah kehilangan keperkasaannya. Demi masa. Demi waktu senja. Masih haruskah aku berusaha mencari kesenangan, sedangkan yang terpasang tinggal lagi Peradaban Lima Dunia Baru yang Berani begini.
Masih ingatkah kau akan Bangkitnya Bangsa-bangsa. Adakah ia masih menarik. Bersedia, siap, yak! Mengapa tidak pergi. Mengapa sepeda menyebabkan sentlap-sentlup. Mengapa jika sadelnya sudah disetel aku harus yakin bahwa ia tidak akan menyodomiku lagi. Aku tidak mau menjadi Presiden Amerika Serikat, apalagi Presiden Republik Indonesia. Itu biar Jokowi saja. Biar dua periode, jika maunya begitu. Aku hanya ingin Sahabat Terbaik dan itu adalah Cantik. [Aku merindukannya itu sudah pasti, meski kutahan-tahan agar jangan sampai terlintas]