Ini adalah mengenai waktu sekitar sebelum dan sesudah Garuda Pancasila dengan suara lonceng berdentang berkali-kali sebelum kemudian bertut-tut-tut dari masa kecilku. Ini juga mengenai hari ulang tahun Ibuku yang ke-66. Sebelum lebih lanjut, ada baiknya aku mengucap syukur Alhamdulillah atas usiaku yang menjelang 41 tahun ini, Bapak Ibuku yang berusia 66 tahun masih sehat walafiat tiada kurang suatu apa. Semoga, seperti harapan beliau, Ibu masih saget mirsani cucu-cucunya tumbuh besar sampai dewasa. Demikian juga Bapak. Amin.
...karena waktu, Kawan-kawan, tidak pernah benar-benar berlalu. Aku tidak tahu apa yang biasa dilakukan DN Aidit pada waktu sekitar ini. Adakah ia membaca buku, mendengarkan radio atau musik? Lagipula, pada saat itu ia kira-kira seumuranku saat ini dan sudah menjadi menteri. Apakah dia sama modelnya dengan Deputi Badan Ekonomi Kreatif sekarang atau yang lebih okeoce lagi? Kemungkinan besar. Kalau ia membadut saja sepertiku, tidak mungkin ia semuda itu sudah menjadi menteri. Ataukah pada saat itu badut bisa jadi menteri? Hanya Allah yang tahu.
Ini kenapa pula jadi DN Aidit? Ini padahal mengenai waktu yang tidak pernah benar-benar berlalu. Langit masih sama. Kelam, kadang cerah berbintang, kadang dihiasi bulan purnama sekali, kadang berawan mendung kemerahan. Semua selalu saja begini, kecuali asesorisnya. Ya, perhiasan-perhiasannya. Hanya kutahu, sebagai anak kecil ini adalah waktu nyaman menjelang tidur. Bisa jadi Balki Bartokomous atau Angus Witherspoon dengan Shannen Doherty-nya sekali, namun yang penting nyaman. Mungkin belajar sudah selesai, selebihnya menunggu datangnya kantuk.
Lalu dengan PDH Osis tanpa dasi, hampir selalu dengan jaket training. Mungkin sekadar mengerjakan PR, hampir tidak pernah belajar dalam arti mempersiapkan pelajaran besok. Dalam balutan PDH Osis aku selalu menyiapkan hari esok, bukan sekadar pelajaran besok. Biasanya di Perpustakaan, tempat yang sangat kucinta. Pemberi rasa nyaman. Namun biasanya aku sudah di kelas, atau bisa jadi sedang berebut membeli Indomie di Kosinus. Udara malam Magelang pada saat itu memang selalu sejuk-sejuk nyaman. Berjalan di atas konblok, seringkali sendirian.
Lalu dalam pendidikan militer. Bisa jadi dalam balutan PDL atau PDH. Mungkin telah selesai ikut mengecek apakah masih ada noda kotoran di dasar kloset, atau setelahnya bisa jadi menyemir lantai teraso, setelah belajar malam yang biasanya entah-entah. Atau mungkin dalam Ruang Karantina Penyakit Menular atau di luarnya. Uah, ternyata episode ini memang cukup menoreh luka yang dalam padaku. Dapatkah tidak kuingat-ingat lagi? Dapatkah tidak perlu kuceritakan lagi pada siapapun? Bunyi peluit ronda dan derap Tarpaga diiringi Tardanga dan caraka sudah terdengar...
Lalu apa? Bisa jadi kepulan Sampoerna King Size, yang ditingkahi oleh kepulan uap kopi panas. Hitam. Mantap. Bisa jadi bacaan, atau bahkan tulisan. Yang jelas selalu musik, dengan Funai, kemudian Kenwood bahkan Aiwa. Selalu remang-remang, seperti yang selalu kusuka. Ini adalah awal dari malam-malam panjang, seringkali bahkan tanpa terlelap barang sepicing sampai pagi menjelang. Ini adalah kebodohan masa muda. Ini bahkan kengerian! Ini adalah kemudaperkasaan. Bisa jadi pula Pondok Indah Mall dan puntung-puntung panjang, atau tepi kuburan...
Selebihnya, aku tidak pernah benar-benar berubah. Aku berhenti. Aku tetap suka membaca dan menulis. Rokok sudah tidak. Kopi Insya Allah sudah tidak. Malam-malam masih selalu kelam. Kadang cerah berbintang, bahkan dengan bulan purnamanya sekali, atau berawan mendung kemerah-merahan. Begitu jika menatap langit. Tetap saja. Persekitaran, bebauan, bunyi-bunyian memang selalu berubah-ubah. Beberapa nyaman, bahkan meski tinggal kenangan. Beberapa mengilhamkan kengerian, bahkan ketika sekadar terlintas dalam ingatan.
Inilah aku di sisi barat Blok M Plaza, hampir 41 tahun, menengadah menatap langit malam yang tertutup mendung kemerah-merahan. Keponakanku, Satrio Adjie Wibowo, hampir 7 tahun, sedang bermain-main di platform bordes milik warung ayam panggang. Lift barang, katanya. Tidak ada yang membeli, padahal ini malam minggu. Ya Allah, lindungilah, bimbinglah, tolonglah keponakan hamba laki-laki, Satrio Adjie Wibowo. Jadikanlah ia laki-laki yang shalih, yang takut hanya padaMu, dan mencintai kekasihMu sepenuh hati, segenap jiwa. Amin.
...karena waktu, Kawan-kawan, tidak pernah benar-benar berlalu. Aku tidak tahu apa yang biasa dilakukan DN Aidit pada waktu sekitar ini. Adakah ia membaca buku, mendengarkan radio atau musik? Lagipula, pada saat itu ia kira-kira seumuranku saat ini dan sudah menjadi menteri. Apakah dia sama modelnya dengan Deputi Badan Ekonomi Kreatif sekarang atau yang lebih okeoce lagi? Kemungkinan besar. Kalau ia membadut saja sepertiku, tidak mungkin ia semuda itu sudah menjadi menteri. Ataukah pada saat itu badut bisa jadi menteri? Hanya Allah yang tahu.
Ini kenapa pula jadi DN Aidit? Ini padahal mengenai waktu yang tidak pernah benar-benar berlalu. Langit masih sama. Kelam, kadang cerah berbintang, kadang dihiasi bulan purnama sekali, kadang berawan mendung kemerahan. Semua selalu saja begini, kecuali asesorisnya. Ya, perhiasan-perhiasannya. Hanya kutahu, sebagai anak kecil ini adalah waktu nyaman menjelang tidur. Bisa jadi Balki Bartokomous atau Angus Witherspoon dengan Shannen Doherty-nya sekali, namun yang penting nyaman. Mungkin belajar sudah selesai, selebihnya menunggu datangnya kantuk.
Lalu dengan PDH Osis tanpa dasi, hampir selalu dengan jaket training. Mungkin sekadar mengerjakan PR, hampir tidak pernah belajar dalam arti mempersiapkan pelajaran besok. Dalam balutan PDH Osis aku selalu menyiapkan hari esok, bukan sekadar pelajaran besok. Biasanya di Perpustakaan, tempat yang sangat kucinta. Pemberi rasa nyaman. Namun biasanya aku sudah di kelas, atau bisa jadi sedang berebut membeli Indomie di Kosinus. Udara malam Magelang pada saat itu memang selalu sejuk-sejuk nyaman. Berjalan di atas konblok, seringkali sendirian.
Lalu dalam pendidikan militer. Bisa jadi dalam balutan PDL atau PDH. Mungkin telah selesai ikut mengecek apakah masih ada noda kotoran di dasar kloset, atau setelahnya bisa jadi menyemir lantai teraso, setelah belajar malam yang biasanya entah-entah. Atau mungkin dalam Ruang Karantina Penyakit Menular atau di luarnya. Uah, ternyata episode ini memang cukup menoreh luka yang dalam padaku. Dapatkah tidak kuingat-ingat lagi? Dapatkah tidak perlu kuceritakan lagi pada siapapun? Bunyi peluit ronda dan derap Tarpaga diiringi Tardanga dan caraka sudah terdengar...
Lalu apa? Bisa jadi kepulan Sampoerna King Size, yang ditingkahi oleh kepulan uap kopi panas. Hitam. Mantap. Bisa jadi bacaan, atau bahkan tulisan. Yang jelas selalu musik, dengan Funai, kemudian Kenwood bahkan Aiwa. Selalu remang-remang, seperti yang selalu kusuka. Ini adalah awal dari malam-malam panjang, seringkali bahkan tanpa terlelap barang sepicing sampai pagi menjelang. Ini adalah kebodohan masa muda. Ini bahkan kengerian! Ini adalah kemudaperkasaan. Bisa jadi pula Pondok Indah Mall dan puntung-puntung panjang, atau tepi kuburan...
Selebihnya, aku tidak pernah benar-benar berubah. Aku berhenti. Aku tetap suka membaca dan menulis. Rokok sudah tidak. Kopi Insya Allah sudah tidak. Malam-malam masih selalu kelam. Kadang cerah berbintang, bahkan dengan bulan purnamanya sekali, atau berawan mendung kemerah-merahan. Begitu jika menatap langit. Tetap saja. Persekitaran, bebauan, bunyi-bunyian memang selalu berubah-ubah. Beberapa nyaman, bahkan meski tinggal kenangan. Beberapa mengilhamkan kengerian, bahkan ketika sekadar terlintas dalam ingatan.
Inilah aku di sisi barat Blok M Plaza, hampir 41 tahun, menengadah menatap langit malam yang tertutup mendung kemerah-merahan. Keponakanku, Satrio Adjie Wibowo, hampir 7 tahun, sedang bermain-main di platform bordes milik warung ayam panggang. Lift barang, katanya. Tidak ada yang membeli, padahal ini malam minggu. Ya Allah, lindungilah, bimbinglah, tolonglah keponakan hamba laki-laki, Satrio Adjie Wibowo. Jadikanlah ia laki-laki yang shalih, yang takut hanya padaMu, dan mencintai kekasihMu sepenuh hati, segenap jiwa. Amin.
No comments:
Post a Comment