'Tuh 'kan. Begitu lagi. Padahal tadi sempat membatin apa tidak malu terus berceloteh begini. Tidakkah ini merupakan kesia-siaan. Tidakkah banyak yang jauh lebih berguna, sedang engkau bertekad berumur panjang agar dapat menaklukkan dunia. Apa harus seperti Temujin minum ramuan merkuri. Apa harus banyak-banyak ngeseks tanpa kondom tanpa vasektomi, sampai pada bunting perawan ting-ting, sampai berceceran anak di mana-mana. Apa harus sekian banyak kalimat tanya tanpa tanda tanya. Seperti inikah bentuk residu kreativitasmu, atau semata kesakitan-kesakitan.
Sedang kesakitan yang terkadang dipulas gincu, terkadang sekadar pengilat bibir, tampak begitu sendu namun syahdu. Ya, ini rayuan. Aku sedang merayumu. Aku tahu yang kulakukan ini sangat berisiko, di dunia yang penuh matriark ini. Terkadang kau begitu saja tak berbedak, meski segera kauperbaiki itu. Ah, kalian memang sama saja. Seperti kata Kapten entah-siapa-lupa, tokoh rekaan Mas Babas dalam komik bikinannya sendiri: "Perempuan di mana-mana sama. Menggairahkan." Hahaha. Tidak pernah gagal membuat terbahak-bahak, meski perlahan dalam hati.
Lantas apa? Kauperiksa ketiakmu sendiri apakah masih berambut. Kalau berambut memangnya mengapa? Apa lantas akan bercukur? [nah, darimana munculnya begitu saja tanda-tanda tanya ini] Sungguh mengerikan jika hal seperti itu terjadi justru ketika seonggok bangkai yang masih melawan belatung sudah teronggok sampai lama sekali, masih menggeliat-geliat. Dubuk betina hanya dapat memandangi geliatan bangkai melawan belatung dengan seringainya yang terlihat penuh kasih, hanya oleh anak-anaknya. Sudah berkali-kali kuhapus bayangan ini dari benak, entah berapa kali.
Lantas apa? Bahkan satu paragraf terpaksa ditulis ulang karena tidak seperti orang terpenjara, seorang narapidana. Amboi, [awas, bukan amoi] kau perlakukan dunia ini tidak seperti penjara. Kau perlakukan belaian-belaian syahwat tidak seperti belenggu; sedangkan jelas sekali Amoi berjengit ketika mengucapkan kata "syahwat." Aku, jelasnya, tidak suka kenangan, apalagi kenalan, apalagi marah. Aku tidak berkeberatan. Aku memang harus memohon dan itu baik-baik saja. Tentu kulakukan dengan penuh takzim. Tidak ada masalah. Apalah arti diriku, bahkan hidupku sekali.
Jika tadi sempat senapan berburu, maka sekarang adalah sebilah tombak. Senang sekali aku dengan peran ashigaru ini. Meski tuanku tidak memberiku musket, toh aku mampu menggunakan tombak ini dengan baik. Meski kulempar ia, aku masih sanggup berlari menjemputnya dari dada atau perut, jarang sekali paha, tempat ia menancap. Baik-baik saja. Aduhai, betapa bahagia kepala-kepala yang rengkah terbelah atau tertembus tombakku. Kepala-kepala tidak berguna dari manusia-manusia tidak berguna dan hidup-hidup mereka yang sia-sia. [Amboi, mengapa seperti film murahan begini]
Seks dan kekerasan. Masih lebih baguslah daripada seks, sastra, kita; meski yang terbagus mungkin seni, tradisi dan masyarakat. Lebih ironisnya, sekali lagi kuhapus beberapa kalimat sekaligus karena terbaca seperti rengekan... rengekan apa ya. Bahkan pelacur murahan saja mungkin akan terdengar lebih gagah dari itu. Sesungguhnya aku tahu sih rengekan apa, tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk menuliskannya di sini. Aduhai Kemacangondrongan, hanya engkaulah tempat sembunyi dari sesaknya hiruk-pikuk dunia jika aku sedang ingin tolol seperti ini. Semoga tidak berdosa.
Sudahlah. Aku sudah lelah menghapus-hapus kalimat bahkan paragraf. Ini sesungguhnya entri mengenai artis, atau mungkin tentang seorang teman. Tentu bukan. Aku tentu saja punya lebih dari seorang teman, karena, seperti yang selalu kukotbahkan, manusia adalah binatang berkawanan. Teman-temanku tentu tidak semua artis, bahkan mungkin sedikit sekali. Entah mereka lebih suka disebut artis atau filsuf, yang jelas mereka semua rata-rata sehat akal pikiran. Mereka semua tentu tidak punya tempat sembunyi seperti Kemacangondrongan ini. [Sembunyi koq di Internet]
Aku juga tidak mau menghina-hina. Mana ada lagipula yang lebih hina dari diriku. Jika aku marah, maka aku berlagu, membawa Telomoyo nama lagunya. Terdengar seperti sebuah nama. Nama yang sungguh mempesona, merundung hati sanubari. Aku tidak percaya kalau Telomoyo suka merengek-rengek. Tidak mungkinlah merundung hati jika begitu. Namun mana aku tahu. Aku belum pernah mencicipi Telomoyo. Mungkin kakaknya Andovi da Lopez sudah. Irikah aku? Aku lebih iri pada permainan flute Telomoyo, bahkan inipun aku tidak iri-iri benar. Aku memang telo, juga keple.
Crit. Sudah.
Sedang kesakitan yang terkadang dipulas gincu, terkadang sekadar pengilat bibir, tampak begitu sendu namun syahdu. Ya, ini rayuan. Aku sedang merayumu. Aku tahu yang kulakukan ini sangat berisiko, di dunia yang penuh matriark ini. Terkadang kau begitu saja tak berbedak, meski segera kauperbaiki itu. Ah, kalian memang sama saja. Seperti kata Kapten entah-siapa-lupa, tokoh rekaan Mas Babas dalam komik bikinannya sendiri: "Perempuan di mana-mana sama. Menggairahkan." Hahaha. Tidak pernah gagal membuat terbahak-bahak, meski perlahan dalam hati.
Lantas apa? Kauperiksa ketiakmu sendiri apakah masih berambut. Kalau berambut memangnya mengapa? Apa lantas akan bercukur? [nah, darimana munculnya begitu saja tanda-tanda tanya ini] Sungguh mengerikan jika hal seperti itu terjadi justru ketika seonggok bangkai yang masih melawan belatung sudah teronggok sampai lama sekali, masih menggeliat-geliat. Dubuk betina hanya dapat memandangi geliatan bangkai melawan belatung dengan seringainya yang terlihat penuh kasih, hanya oleh anak-anaknya. Sudah berkali-kali kuhapus bayangan ini dari benak, entah berapa kali.
Lantas apa? Bahkan satu paragraf terpaksa ditulis ulang karena tidak seperti orang terpenjara, seorang narapidana. Amboi, [awas, bukan amoi] kau perlakukan dunia ini tidak seperti penjara. Kau perlakukan belaian-belaian syahwat tidak seperti belenggu; sedangkan jelas sekali Amoi berjengit ketika mengucapkan kata "syahwat." Aku, jelasnya, tidak suka kenangan, apalagi kenalan, apalagi marah. Aku tidak berkeberatan. Aku memang harus memohon dan itu baik-baik saja. Tentu kulakukan dengan penuh takzim. Tidak ada masalah. Apalah arti diriku, bahkan hidupku sekali.
Jika tadi sempat senapan berburu, maka sekarang adalah sebilah tombak. Senang sekali aku dengan peran ashigaru ini. Meski tuanku tidak memberiku musket, toh aku mampu menggunakan tombak ini dengan baik. Meski kulempar ia, aku masih sanggup berlari menjemputnya dari dada atau perut, jarang sekali paha, tempat ia menancap. Baik-baik saja. Aduhai, betapa bahagia kepala-kepala yang rengkah terbelah atau tertembus tombakku. Kepala-kepala tidak berguna dari manusia-manusia tidak berguna dan hidup-hidup mereka yang sia-sia. [Amboi, mengapa seperti film murahan begini]
Seks dan kekerasan. Masih lebih baguslah daripada seks, sastra, kita; meski yang terbagus mungkin seni, tradisi dan masyarakat. Lebih ironisnya, sekali lagi kuhapus beberapa kalimat sekaligus karena terbaca seperti rengekan... rengekan apa ya. Bahkan pelacur murahan saja mungkin akan terdengar lebih gagah dari itu. Sesungguhnya aku tahu sih rengekan apa, tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk menuliskannya di sini. Aduhai Kemacangondrongan, hanya engkaulah tempat sembunyi dari sesaknya hiruk-pikuk dunia jika aku sedang ingin tolol seperti ini. Semoga tidak berdosa.
Sudahlah. Aku sudah lelah menghapus-hapus kalimat bahkan paragraf. Ini sesungguhnya entri mengenai artis, atau mungkin tentang seorang teman. Tentu bukan. Aku tentu saja punya lebih dari seorang teman, karena, seperti yang selalu kukotbahkan, manusia adalah binatang berkawanan. Teman-temanku tentu tidak semua artis, bahkan mungkin sedikit sekali. Entah mereka lebih suka disebut artis atau filsuf, yang jelas mereka semua rata-rata sehat akal pikiran. Mereka semua tentu tidak punya tempat sembunyi seperti Kemacangondrongan ini. [Sembunyi koq di Internet]
Aku juga tidak mau menghina-hina. Mana ada lagipula yang lebih hina dari diriku. Jika aku marah, maka aku berlagu, membawa Telomoyo nama lagunya. Terdengar seperti sebuah nama. Nama yang sungguh mempesona, merundung hati sanubari. Aku tidak percaya kalau Telomoyo suka merengek-rengek. Tidak mungkinlah merundung hati jika begitu. Namun mana aku tahu. Aku belum pernah mencicipi Telomoyo. Mungkin kakaknya Andovi da Lopez sudah. Irikah aku? Aku lebih iri pada permainan flute Telomoyo, bahkan inipun aku tidak iri-iri benar. Aku memang telo, juga keple.
Crit. Sudah.
No comments:
Post a Comment