Sudah lama tidak kulakukan ini, menulis-nulis di bawah guyuran hujan deras dan gelegar guntur mengguruh mengampar-ampar, sedang denting-denting dawai menghimbau, "lagi, lagi, lagi." Bisa jadi ini sudah musim semi. Aku saja yang tidak sadar. Mungkin karena hari ini aku kedatangan bidadari. Matanya yang sayu menatap sendu, rambutnya yang ikal terurai mayang memang bisa jadi merupakan tanda-tanda ia seorang bidadari. Ya, wanita penghuni kahyangan itu. Akan tetapi, ada perlu apa aku dengan bidadari?
Apa manfaatnya bagiku jika ternyata kakiku masih sepenuhnya menginjak bumi, meski terkadang terasa oleng dan goyah? Kebahagiaanku tidak terletak di situ. Jika sekadar mata yang sayu menatap sendu, sekadar rambut ikal terurai mayang, aku bisa bikin sendiri itu semua. Terlebih atribut-atribut lain yang sering dikaitkan dengan bidadari seperti pinggang yang ramping, tubuh yang semampai, aku tidak butuh itu untuk kebahagiaanku. Sejak muda kurasa, kebahagiaanku terletak lebih pada hal-hal yang sifatnya batiniah.
Kebahagiaan seringkali datang justru ketika aku tengah memejamkan mata dan mempertajam pendengaran seperti ini. Pada saat itu, terasa jiwaku justru lebih lembut, lebih syahdu. Aku seperti selembar daun atau kelopak bunga diayun-ayun naik turun oleh riaknya gelombang telaga, ditiup lembutnya sepoi-sepoi angin musim semi. Aku seperti ditimang-timang irama alam yang senandungnya adalah nyanyian seekor induk binatang, penuh kasih-sayang pada anaknya; seakan tiada lagi karunia yang lebih indah darinya di seluruh jagad raya ini.
Seperti itulah kebahagiaan, dan setahuku kebahagiaan seperti itu tidak berima dengan bidadari. Akan halnya hari ini aku kedatangan bidadari, setidaknya demikian menurut sementara orang, aku bisa apa? Aku toh bukan Dewa Matahari yang konon playboy. Aku, jika boleh memilih, lebih suka menjadi Basukarna, pahlawan penuh ironi, yang hidupnya itu sendiri adalah tragedi. Adakah ia menemukan kebahagiaan ketika kepalanya terpisah dari leher di Kuruksetra, sedang ia berusaha membebaskan roda kereta perangnya dari rengkahnya tanah?
Lantas bagaimana dengan Gatutkaca yang pusarnya adalah warangka Kunta? Adakah ketika Kunta bertemu kembali dengan warangkanya, pada saat itu pula Gatutkaca menemukan kebahagiaan? Mengapa kebahagiaan harus ditemukan? Uah, jangankan dengan pahlawan-pahlawan ini. Dengan Pippi Si Kaus Kaki Panjang saja aku tidak pantas dibandingkan, terlebih dengan Astrid Lindgren. Terlebih dengan Ratna Anjani, sumber dari segala kekuatan Anoman. Bahkan dengan tukang gorengan di depan Indomaret pun aku tidak setanding.
Bagaimana jika kubandingkan Ibuku dengan Ratna Anjani? Apakah Kunti begitu saja lebih hebat dari Gandari? Bagaimana dengan Drupadi atau Sembadra? Nah, nah, bagaimana dengan Dewi Widowati? Tidakkah Ibu dikatakan begitu oleh Miauw? Ini dia! Aji Pancasona yang konon dicuri Rahwana dari Subali, tidakkah itu adalah kecintaan kepada Ibu Bumi itu sendiri? Tidakkah ini artinya patriotisme? [Huahahah, mulai lagi deh cocoklogi] Lantas bagaimana dengan Aji Wundri? Mengapa nama-nama ini lekat sekali di benakku?
Tidak hanya itu, suara Jefry al Buchori Allah yarham juga lekat, suara yang bagus itu. Semoga Allah menerima semua amal ibadah, amal solehnya, melipatgandakan pahalanya, mengampuni dan menghapuskan semua dosanya, melapangkan kuburnya seraya ia menunggu rahmatNya berupa surga, seperti semua hambaNya yang diberi nikmat dan kemuliaan. Amin. Semoga, seperti yang pernah kudengar atau baca, semua doa baikku untuk saudara-saudaraku sejatinya adalah doa untuk diriku sendiri. Amin. Tiada daya maupun upaya kecuali dengan Allah Maha Tinggi lagi Agung.
Insya Allah, Pak, tidak perlu Islam Nusantara, Islam toleran, Islam Jawa, Islam moderat sebagaimana tidak ada itu Islam radikal entah-entah. Insya Allah, Islam ya Islam, jalan hidup yang diridhoi Allah untuk hamba-hambaNya. Semoga kita pun ridho padanya, Pak, sebagai jalan hidup. Masya Allah, betapatah kita tidak akan ridho pada jalan yang lurus, lempang lagi lapang menuju kasih-sayang dan kemuliaanNya? Ya Allah hamba mohon diajari, dituntun untuk menapaki jalan yang lurus itu, sebagaimana telah ditempuh oleh hamba-hambaMu yang Engkau beri nikmat dan kemuliaan. Ampuni hamba, Ya Allah, kasihani hamba.
Apa manfaatnya bagiku jika ternyata kakiku masih sepenuhnya menginjak bumi, meski terkadang terasa oleng dan goyah? Kebahagiaanku tidak terletak di situ. Jika sekadar mata yang sayu menatap sendu, sekadar rambut ikal terurai mayang, aku bisa bikin sendiri itu semua. Terlebih atribut-atribut lain yang sering dikaitkan dengan bidadari seperti pinggang yang ramping, tubuh yang semampai, aku tidak butuh itu untuk kebahagiaanku. Sejak muda kurasa, kebahagiaanku terletak lebih pada hal-hal yang sifatnya batiniah.
Kebahagiaan seringkali datang justru ketika aku tengah memejamkan mata dan mempertajam pendengaran seperti ini. Pada saat itu, terasa jiwaku justru lebih lembut, lebih syahdu. Aku seperti selembar daun atau kelopak bunga diayun-ayun naik turun oleh riaknya gelombang telaga, ditiup lembutnya sepoi-sepoi angin musim semi. Aku seperti ditimang-timang irama alam yang senandungnya adalah nyanyian seekor induk binatang, penuh kasih-sayang pada anaknya; seakan tiada lagi karunia yang lebih indah darinya di seluruh jagad raya ini.
Seperti itulah kebahagiaan, dan setahuku kebahagiaan seperti itu tidak berima dengan bidadari. Akan halnya hari ini aku kedatangan bidadari, setidaknya demikian menurut sementara orang, aku bisa apa? Aku toh bukan Dewa Matahari yang konon playboy. Aku, jika boleh memilih, lebih suka menjadi Basukarna, pahlawan penuh ironi, yang hidupnya itu sendiri adalah tragedi. Adakah ia menemukan kebahagiaan ketika kepalanya terpisah dari leher di Kuruksetra, sedang ia berusaha membebaskan roda kereta perangnya dari rengkahnya tanah?
Lantas bagaimana dengan Gatutkaca yang pusarnya adalah warangka Kunta? Adakah ketika Kunta bertemu kembali dengan warangkanya, pada saat itu pula Gatutkaca menemukan kebahagiaan? Mengapa kebahagiaan harus ditemukan? Uah, jangankan dengan pahlawan-pahlawan ini. Dengan Pippi Si Kaus Kaki Panjang saja aku tidak pantas dibandingkan, terlebih dengan Astrid Lindgren. Terlebih dengan Ratna Anjani, sumber dari segala kekuatan Anoman. Bahkan dengan tukang gorengan di depan Indomaret pun aku tidak setanding.
Bagaimana jika kubandingkan Ibuku dengan Ratna Anjani? Apakah Kunti begitu saja lebih hebat dari Gandari? Bagaimana dengan Drupadi atau Sembadra? Nah, nah, bagaimana dengan Dewi Widowati? Tidakkah Ibu dikatakan begitu oleh Miauw? Ini dia! Aji Pancasona yang konon dicuri Rahwana dari Subali, tidakkah itu adalah kecintaan kepada Ibu Bumi itu sendiri? Tidakkah ini artinya patriotisme? [Huahahah, mulai lagi deh cocoklogi] Lantas bagaimana dengan Aji Wundri? Mengapa nama-nama ini lekat sekali di benakku?
Tidak hanya itu, suara Jefry al Buchori Allah yarham juga lekat, suara yang bagus itu. Semoga Allah menerima semua amal ibadah, amal solehnya, melipatgandakan pahalanya, mengampuni dan menghapuskan semua dosanya, melapangkan kuburnya seraya ia menunggu rahmatNya berupa surga, seperti semua hambaNya yang diberi nikmat dan kemuliaan. Amin. Semoga, seperti yang pernah kudengar atau baca, semua doa baikku untuk saudara-saudaraku sejatinya adalah doa untuk diriku sendiri. Amin. Tiada daya maupun upaya kecuali dengan Allah Maha Tinggi lagi Agung.
Insya Allah, Pak, tidak perlu Islam Nusantara, Islam toleran, Islam Jawa, Islam moderat sebagaimana tidak ada itu Islam radikal entah-entah. Insya Allah, Islam ya Islam, jalan hidup yang diridhoi Allah untuk hamba-hambaNya. Semoga kita pun ridho padanya, Pak, sebagai jalan hidup. Masya Allah, betapatah kita tidak akan ridho pada jalan yang lurus, lempang lagi lapang menuju kasih-sayang dan kemuliaanNya? Ya Allah hamba mohon diajari, dituntun untuk menapaki jalan yang lurus itu, sebagaimana telah ditempuh oleh hamba-hambaMu yang Engkau beri nikmat dan kemuliaan. Ampuni hamba, Ya Allah, kasihani hamba.