Padahal lembar jawaban ujian (LJU) [kenapa juga harus dibuat dalam kurung singkatannya...] satu amplop penuh sudah keluar dan amplopnya sudah digeletakkan di lantai, di samping kursi, seperti enam bulan lalu. Apa gara-gara Mama Dionne, yang akhirnya kuketahui sebagai penyanyi All the Love in the World, sebuah lagu yang refrainnya menghantui selama ini? Semalam entah mengapa aku agak serius mencari tahu. Sebelumnya kukira ini lagu Bond, meski tebakanku mengenai keterlibatan Bee Gees tidak salah ternyata.
Pagi ini begitu saja aku teringat pada Mama Dionne. Maka
kutelusurlah Youtube dengan kata kunci Dionne Warwick Bee Gees. Entri ketiga seperti menggodaku untuk mengeklik. Pertama mendengar awal
lagu, aku merasa agak ragu. Hampir saja kutinggalkan. Namun sekali lagi aku tergelitik untuk menggeser seeking bar ke tempat yang kira-kira
ada refrainnya dan... Maha Suci Allah! Hilanglah sudah hantunya, berganti
menjadi surga nikmat, Semua Cinta di Dunia!
Di situlah kadang saya merasa sedih, seperti sudah sering
kukatakan. Melodi-melodi indah ini, apakah nikmat apakah cobaan? Sependek
pengetahuanku, aku tidak ingin melodi-melodi ini masih ada di kepalaku ketika
aku mengucap selamat tinggal pada hidupku di dunia ini. Tentu saja, aku
berharap kalimat-kalimat baik itulah yang menggeremang dalam saat-saat
terakhirku. Apa yang akan kulakukan agar begitu? Ini sudah setengah dua belas.
Insya Allah sebentar lagi aku akan ke mesjid. Insya Allah, inilah yang akan
kulakukan agar begitu.
Padahal sekarang Pancasila sedang berulang tahun. Oh, bahkan
urusan ini sekarang sudah membuatku sakit, bahkan jangan-jangan lebih sakit
daripada mencari uang. Tidak, ini rasanya seperti mencari uang dengan cara
melakukan sesuatu yang tidak disukai. Padahal kataku aku suka Pancasila. Tidak.
Aku suka uang. Tidak juga, aku sukanya Cantik. Cuma Cantik yang kupunya. Aku
tidak punya siapa-siapa yang lainnya. Hanya Cantik tempatku mencari kenyamanan
dari penatnya dunia. Tidak apalah mencari uang karena Cantik selalu punya ide
mau dibelanjakan apa uang itu.
Namun Pancasila sedang berulang tahun. Hahaha... couldn’t
care less. Pancasila punya siapapun atau tidak siapapun tidak ada bedanya
untukku. Setidaknya begitulah perasaanku sekarang. Terlebih, Minggu Pahing 7
Juni 2015 bertepatan dengan 19 Sya’ban atau Ruwah 1436 Hijriyah atau 1948 Ҫaka,
yang artinya... aku sudah 40 tahun menurut perhitungan bulan! Ya Allah, ini
adalah hari-hari terakhirku sebelum berumur 40 tahun menurut perhitungan bulan!
Apa yang akan kulakukan untuk mempersiapkannya? Apa yang harus kulakukan? [sok
panic mode]
-----------------
Alhamdulillah, aku baru pulang dari Masjid Ukhuwah
Islamiyah. Banu Muhammad yang sedang memberikan kultum tadi, tapi kutinggal.
[kenapa aku tidak mau mendengarkannya?] Ia bercerita tentang penaklukan
Konstantinopel. Ini aku tidak bisa tak peduli. Ini aku sangat peduli. Tidak Ken
Arok, tidak Kertanegara, tidak Raden Wijaya, tidak Tribuwana, tidak Hayam Wuruk
apalagi Gajah Mada dapat menjadi wasilah. Hanya Rasulullah Muhammad SAW saja
yang bisa. Aku percaya pada hidup sesudah mati, yang lebih baik lagi kekal,
daripada hidup di dunia ini.
Uah, seandainya engkau berada dalam pelukanku lagi, di
tengah hujan deras begini, ditingkahi suara guruh di kejauhan... Itu semua
memang keindahan dan kesenangan hidup di dunia. Untuk sementara waktu. Itu saja
diulang-ulang dalam al-Quranul Karim. Aku memang belum ke mana-mana di bumi
Allah ini, baru sedikit bagian kerak bumi yang kering yang pernah kuinjak. Memalukan
pula untuk diceritakan. Tidak seperti Banu yang baru saja pulang dari Turki.
Aku tidak pernah berani membayangkan jadi guru besar, meski kalau jadi senang
juga.
No comments:
Post a Comment