Pada hari kelima puasa Ramadhan 1436 Hijriyah aku menyadari bahwa aku sudah tua, meski ada di dalamku yang setengah takut setengah tidak terima akan kenyataan itu. Kenyataannya, aku sudah tidak setangguh dulu. Tentu saja, sepuluh tahun lalu bahkan lebih. Tentu saja, ketika itu aku masih sepuluh tahun lebih muda, bahkan lebih, dari sekarang. Tidak sekadar hati—tetapi, yang sangat mencemaskan—badanku pun sudah tidak mampu menahan deraan perasaan. Perasaan seperti apa itu yang mendera tak tertahankan lagi?
Mungkin perasaan yang sama dengan yang kurasakan ketika menjalani hari-hari musim dingin di Maastricht, sekitar tujuh tahun yang lalu. Sepuluh tahun yang lalu, tepat pada waktu-waktu seperti ini, mungkin aku sedang di Palembang atau setidaknya merencanakan ke sana bersama Rendy. Itu pun, sepulangnya, aku masih kuat berjalan dari pintu keluar tol bandara sampai ke Plasa Slipi. Infanteri! Sekarang? Boro-boro! Apa betul hanya karena jarang berlatih? Apa betul sekadar kurang olahraga? Apa yang telah kulakukan sampai aku sebegini lemah?
Selain itu juga hati, yang tentu saja menjalar ke badan. Hatiku sudah begitu lemah, begitu tertambat. Bagaikan sampan tua yang sudah tidak pernah dikayuh ke perairan. Hanya ditambat begitu saja di tepi telaga, di antara gelagah dan rerumputan tinggi, sedangkan kayu-kayunya lapuk rapuh. Terisi pula air, setengah tenggelam. Menunggu tenggelam... Aku kapal Majapahit! Hah, mengatakan ini saja aku tidak percaya lagi pada diriku sendiri. Jika aku sudah setertambat ini, sebaiknya aku tertambat pada patok kayu yang benar.
Patok kayu yang siap lapuk, siap rapuh bersama denganku. Adakah begitu? Ataukah Allah akan memberiku kekuatan baru untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan? Adakah semua kelemahan ini menjadi lantaran ampunanNya bagi dosa-dosa yang mengerikan besar dan banyaknya itu? Ataukah ini semua hanya panjangnya angan tanpa kesungguhan hati? Semua pertanyaan. Semua pertanyaan yang bahkan aku tidak punya cukup kekuatan badani untuk menjawabnya. Bahkan sekadar mengangkat suara untuk menjawab. Allah Gusti hamba, mohon ampun, mohon belas kasihan.
Tidak lagi mampu aku mengandalkan selembar kasur palembang, apalagi sekadar beberapa sajadah. Sungguh tak terbayang tidur di atas meja beralaskan entah apa sampai nyenyak sepanjang malam, sampai pagi. Sudah tidak bisa lagi. Hilang sudah semua semangat petualangan. Hanya tersisa tubuh yang belum renta tetapi demikian lemahnya. Asuransi sudah punya, namun haruskah kugunakan untuk pergi memeriksakan diri ke dokter spesialis gastroenterologi atau penyakit dalam? Adakah yang dapat mengerti, sepenuhnya menerima keadaanku, atau apa yang kupikir merupakan keadaanku?
Semua masih berupa kalimat tanya. Kalimat beritalah yang nyaman, berita baik tentunya. Apa itu berita baik? Sesungging senyum? Sapaan ramah dan mesra dan manja? Ah, kembali menjadi kalimat tanya. Siapa yang akan menjawabnya? Kalimat tanya lagi. Aku tidak punya berita, terlebih berita baik, bagi diriku sendiri, apalagi dunia. Berita baik, memang, harus dibuat. Aku yang harus membuatnya, untuk diriku sendiri. Itulah langkah awal yang harus diayun untuk menyampaikan berita baik bagi dunia. Syukur-syukur jika itu bukan mengenai diriku sendiri, melainkan mengenai dunia seisinya.
Hari kelima puasa Ramadhan 1436 Hijriyah, dan aku menulis-nulis di mantan Ruang ICT Komintern yang sudah luluh-lantak. John Gunadi tidak ada. Milson Kamil tidak ada. Semakin menambah melankoli, semakin menguatkan suasana sentimentil. Tidur di sebelah, di Ruang Humas aku tidak bisa. Pindah ke atas ada John Gunadi, mencoba tidur bersitentang kaki dan kepala dengannya, apalagi, aku juga sudah tidak bisa. Hanya nasi warteg masih bisa kumakan. Alhamdulillah. Namun tidur aku sudah tidak bisa, jika tidak di rumah.
No comments:
Post a Comment