Sekitar setahun yang lalu, di meja ini juga, dengan pantat diganjal dua bantal kursi seperti ini juga, aku menulis di sini, di ruang tamu Bagasnami Jalan Tangguh IV Nomor 17. Namun waktu itu aku menulis. Kini aku mengetik-ngetik. Ya, inilah entri pertama yang kutulis di Kodamar sini. Biar kuabadikan sedikit bahwa agak setengah sembilan tadi aku, Cantik dan Afifah pergi ke Mall of Indonesia mencari Seven Eleven. Mak, muter-muter pun cari pintu masuknya.
Sungguh emeizing bahwa setelah setahun di tempat yang sama aku tidak sedang dikejar-kejar dedlen. Ada sih, tapi tidak terasa seperti tahun lalu. Apa hasilnya tahun lalu? Masyarakat Pancasila? Baru kemarin aku mengeluh muak dengan yang satu ini. Malam ini aku tidak lagi semuak itu. Astaghfirullah. Sungguh niatku hanya satu itu. Hamba mohon ampun, Ya Rabb. Hanya itu. Tidak yang lain atau apapun. Sedangkan entah bagaimana, setelah menyantap Nasi Tenggo Rumput Laut aku merasa seperti ingin menyantap satu lagi.
Malam ini... aku merasa biasa-biasa saja. Tidak ada kejadian istimewa. Namun begitu, justru di situlah letak menariknya. Sebuah entri tetap dapat dihasilkan meski tidak ada kejadian istimewa, meski aku merasa biasa-biasa saja. Sedangkan Paul Mauriat begitu saja menyeruak dengan rendisinya mengenai Betapa Perasaan Ini yang dipopulerkan Irene Cara, aku mulai merasa tidak biasa-biasa saja. Aku mulai teringat Tujuh Belas Lagu-lagu Cinta, jika tidak salah begitulah namanya. Di mana dia berakhir, Gundo? Bisa jadi.
Namun tak hendak juga aku mengenang masa-masa itu, kecuali bahwa aku terhenyak oleh ingatan Gendut bahwa aku dulu merajuk gara-gara tidak boleh ke Tangerang. Nah, nah, ini emosional. Ini serius. Aku masih dapat merasakan betapa emosionalnya waktu-waktu itu. Bahkan ketika begundal-begundal itu menginap di Jalan Radio—meski menghancurkan panorama tentara-tentaraan Tamiya yang kami kerjakan segenap jiwa—aku menangis ketika mereka pulang! Aku masih ingat, ketika itu aku masuk kamar mandi belakang, entah karena mules beneran, atau karena memang kepengen nangis hahahah.
Musim hujan 1990 – 1991 yang, seingatku, cukup basah itu. Nyaman. Tidur siang di pavilyun sedangkan hujan deras di luar... hmmm. Sedangkan, sedangkan, lalu untuk apa masuk TN, toh aku tidak bisa gugur seperti Sandy Permana [Allahumaghirlahum warhamhum wa’afihi wafuanhum] gara-gara Hercules-ku jatuh. Lalu buat apa masuk TN, toh setelah masuk “Saka Bahari” aku keluar, meski benar selama di TN tiap Jumat pakai seragam Pramuka. Untuk apa masuk TN, jika akhirnya counting down to extinction yang ternyata memang benar akhirnya aku mengajar Hukum Lingkungan di Pascasarjana Universitas Indonesia?!
Huah, sederas hujan di 1990 – 1991! Dapatkah aku menyanyikan Oh Girl yang ternyata justru Girl kumainkan, padahal aku suka juga Oh Girl. Ooohhh dengan o dan h yang banyak! Tak sanggup kubermain kata untuk yang ini. Kelu. Lalu... jika yang ini ditulis juga maka akan lebih banyak lagi o dan h-nya, Jagad Dewa Batara! Mengapa?! Mengapa itu semua harus kulalui? Lalu... jika yang ini pun ditulis maka... ia sendiri yang memutuskan untuk memutuskan dan kurasa aku tidak peduli alasannya. Lalu... hah, masih ada lalu lagi, yang sebelahnya?!
Setelah segala yang kulalui, entah berapa lalu lagi, lalu berapa entah lagi... aku baru saja menghapus beberapa kata yang hampir saja membentuk sebuah kalimat. Semua ada di sebelah. Semua? Sebagian yang cukuplah. Ditengok. Gengsi. Ya, bukan karena alasan apapun lainnya. Semata-mata karena G-E-N-G-S-O-T. Apa aku masih punya, gengsi? Masih, lah. Kalau untuk keperluan itu selalu tersedia. Seperti kata Azhar Arif bimbinganku hasil limpahan Bu Myra, rusak! Seperti rusaknya murit-murit STM yang belajar antonem aliyas perlawanan kata. Seperti itu!
Huft... huft... huft...