Friday, November 07, 2025

Suatu Malam Menyumbang Senapan dan Bombisida


Kurasa aku merindukanmu, Parto. Buktinya aku terus berbunyi-bunyi wekokek wowet meski tidak sampai cuwak apalagi cuwek. Mungkin juga kurindukan tawa lirihmu yang terkekeh-kekeh di gelapnya malam. Kurasa waktu itu sudah kemarau, mungkin juga aku sudah menjadi mahasiswa hukum. Ah, identitas-identitas nirdaya. Bahkan ketika di pinggang celanaku tersemat medewerker pas, aku masih tak berdaya. Sejauh ini, tambah tua justru tambah tak berdaya. Kupandangi dunia yang terus muda, aku menua. Kupaksa-berondongkan kata-kata sampai membentur.
Namun di pojokan ini aku nyaman, setelah tergeletak di atas sepiteng merasa merana. Di sini dapat tak kupedulikan seberapa banyak usiaku, ini bisa jadi kapanpun di manapun dalam hidupku yang masih. Tidak banyak berubah perasaan dan pikiranku. Mukaku pasti masih tidak enak. Kini mereka sekeluarga telah pergi, bapak, ibu, dan ketiga anak perempuannya. Aku ingin kembali ke Plasa Depok lantai atas, di Hokben ketika namanya masih Hoka-hoka Bento, atau di Pizza Hut. Dari mana aku punya uang untuk membelinya adalah pertanyaan yang enggan usai menyakiti nurani.

Lantas Abrakebab, perkenalan pertamaku dengan kapsalon. Ya, semua unsur ada di situ, bahkan mungkin kentang gorengnya sekali. Beberapa kali kumakan lagi kemarin ketika seminggu di Amsterdam, aduhai betapa asinnya. Teringat Wokchef yang seringnya menyamankan malam-malamku di Kraanspoor 25 D8, begitu juga dengan Chopstix yang aduhai mahalnya. Bagaimana dengan Mas Wirto yang rutinitasnya terhenti, "ditidurkan" katanya. Kami sama-sama veteran pawang dinosaurus. Aku hanya beberapa jam, ia sebulan penuh, mungkin lebih, Mas Wirtosaurus.

Diremas keras, lemas sudah hampir 15 tahun yang lalu. Ketika itu masih Gemini dan tentunya dengan irfon berkabel. Teringatku pada irfon jepit yang dihubungkan kabel bersarung kain, kabel jeknya dapat menggulung sendiri ke salah-satu fonnya jika ditarik. Bertahun-tahun ia bersamaku, menyintas dinginnya Maastricht dari musim panas 2008 ke musim panas 2009. Masih sempat kubawa pulang kembali ke tempatnya berasal, sampai ketika kubiarkan ia di atas meja di gudang LKHT lantai 4 itu, bantalan busanya dimakan tikus. Masih di pojokan ini mengamat-amati.

Menengok ke kanan, seorang perempuan menggoyang-goyangkan kepala ikut menyanyikan lagu yang berkumandang dari pelantang. Aku sendiri saja bersama masa lalu, kawan sejati yang tak pernah meninggalkanku. Ia, meski lalu, terpampang jelas di hadapanku. Meski mataku melihat segalanya, konter pukis yang tidak banyak kesibukan, dua meja kosong di hadapanku, yang bermain masa laluku belaka. Tertulis besar-besar "pesan di sini". Ada juga dari tadi pikiran terus mengganggu tentang kafe pojokan yang kukunjungi sambil membawa seamplop lembar jawaban ujian t'sisa.

Seorang perempuan berwajah sederhana kini duduk di hadapanku, sedang suaminya [kurasa begitu] yang sama botak dan gendutnya denganku membayar dan menunggu pesanan. Akankah kenangan ini kembali seterang ini ketika kubaca kembali entri ini di lain hari, Insya Allah. Aku mulai tidak senang di pojokan sini. Tentu saja, tempat-tempat seperti ini terlalu hiruk-pikuk bagiku, dan aku hanya dapat berpura-pura abai. Entah apa sebabnya, perempuan itu dan suaminya pindah duduk ke sebelah kiriku, membelakangi, dapat kulihat rambutnya t'lah beruban di sana-sini.

Aku ingin pulang. Mungkin tidak jauh dari Centraal untuk menunggu trem nomor 26 jurusan Ijburg. Tentu saja aku turun di Zuiderzeeweg, ketika seorang perempuan dengan wajah yang jauh lebih seadanya lagi jalan-jalan dengan mulut mengunyah-ngunyah. Ia duduk bersama dua orang laki-laki yang hanya dapat kuterka satu bapaknya satu saudara laki-lakinya. Mungkin ia mirip bapaknya, sedang saudara laki-lakinya mirip ibunya. Ternyata ada satu lagi perempuan di meja itu yang tak dapat kulihat wajahnya karena bertudung hoodie. Kubelikah minuman hangat.

Saturday, November 01, 2025

Ketika Kau Membutuhkan Cinta, Perawatan, Kasih


Sudah lama aku tidak berkarya sambil bertubi-tubi menahankan pukulan telak ratu, baik yang pertama maupun kedua. Terlebih kini, urutannya sudah sesuai abjad, semakin aku tidak mengenalinya. Dunia ini menua tapi terus-menerus muda. Sungguh tidak berdaya ungkapan ini, tidak sanggup menghasilkan apapun darinya, kecuali teman akan terus menjadi teman. Entah mengapa pagi ini aku kembali ke Cimone Gama Satu memandang ke arah lapangan voli. Sebelum menjadi begitu, bisa jadi tempat itu juga sawah, kebun, atau bahkan hutan kecil. Semua saja begitu. 
Batu dan gulung, aku memang dari dulu cuma pura-pura tangguh, agresif, pemarah, intimidatif, suka berbuat onar dan berkelahi. Padahal aku ini cupu abiest. Aku jelas bukan Danny apalagi Mary. Aku bahkan tidak mungkin menjadi Injun, Seabags, atau Speedy. Apalagi LQ, Constantine, Levin, Andy, terlebih Sersan Burnside. Tadinya aku berpikir bisa jadi Joe, tapi bahkan ini pun mustahil. Sudahlah, jadi Richard Bulan saja aku tak bakal tahan, apalagi Lucky Namo yang tidak seberuntung namanya. Aku menginginkan semuanya. Aku legiun karena kami banyak, katanya ke Roj.

Ketika Gen-Z saja sudah beranak pinak, ketika Gen-Y beringsut-ingsut mendekati paruh baya, aku ingin lepas bebas; ya, aku yang Gen-X ini. Ketika Gen-Z mulai mencoba menguasai dunia, berpikir bahwa kesuksesan di situ letaknya, ketika Gen-A bahkan sudah mulai berkhayal mengenai menguasai dunia dengan apapun yang mereka pikir dapat diusahakan sendiri, atas daya-upaya sendiri, aku beringsut-ingsut mendekati kegilaan walau hanya di tengah-tengahnya saja. Ketika bisaku hanya begini saja, mengitiki ketiak sendiri yang terus saja berambut lagi. 

Ketika Pangeran Andrew dicopot segala atribut kebangsawanannya oleh Raja Charles III karena urusannya dengan Jeffrey Epstein, ketika itulah 'ku tahu dunia ya memang selalu begini saja. Aku masih harus terus berusaha karena toh nyatanya masih hidup, masih sehat kata dokter Kamto. Kucing yang tidak punya dosa saja mengalami sakaratul maut yang begitu menyakitkan, apalagi manusia, apalagi aku. Berondongan gulungan pada tambur senar, pada tom, dentaman pada bass ganda berpedal ganda, gemuruh timpani yang mengikuti tenang nan melenakan. Hidupmu berat.

Aku, sementara itu, melakukannya untuk cinta. Namun aku yang paling payah, karena aku gembar-gembor. Betapa banyak manusia di dunia ini, dari segala jaman, dari segala negeri, yang melakukannya dalam bisu seribu bahasa, dusta sejuta kata, seperti induk kucing, induk kutu, apapun yang lebih nista lagi dari itu dalam pandangan manusia. Aku lebih nista, jauh lebih menjijikkan dari semua itu karena karunia berupa pikiran dan perasaan, yang padahal seharusnya mengikatku hanya padaNya, menjadi cahaya penerang. Aku pengecut besar mulut. Nyaliku sebesar biji sawi.

Sampai kapan perendahan diri ini akan terus berlangsung, sampai diri-rendah ini musnah! Tergeletak di tanah berdebu penuh kotoran. Nafas satu-satu hanya tinggal untuk menyebut namaNya. Nama siapa lagi yang patut disebut. Orang tua memberi nama karena cinta, meski itu Buang. Mengapa orang santai saja hidup tanpa radiks, tanpa esensi, seperti batang pisang mati yang ditancapkan pada sumur tua, sumur maut Lubang Buaya. Hei, ini sudah sebulan berlalu masih saja. Bagaimana tidak, pernahkah kau dipapar pada kengerian hampir seumur hidupmu.

Tidak menjadi masalah, siapapun dapat melihatnya [gong tipis, atau simbal besar, dipukul]. Bass, senar dan tambur, dibetot dan ditendang. Perut pun memulas. Seminggu yang lalu aku masih meluncur di awang-awang dalam kecepatan tinggi. Aku tak merasakannya, namun gemuruh mesin jet tak henti-henti selama 16 jam menjaminnya. Segala puji dan puja hanya pantas bagiNya yang menguasai seru sekalian alam. Segala kekuatan semata kehendakNya, segala kelemahan mustahil bagiNya, Maha Suci Ia dari kelemahan dan kekurangan. Maha besar, Maha Mulia.