Saturday, October 25, 2025

Chipi Chapa Dubi Daba Magico Mi Hotel Su Casa


Oktober hampir berakhir, tinggal seminggu lagi, dan di telingaku salju baru sudah turun merintik. Sebenarnya kemarin pun titik-titik lembut air menerpa wajah dan kepala berkuplukku, yang tak lama berubah menjadi gerimis menderas, lalu reda. Sekarangku adalah pukul tiga dini hari yang padahal bagiku tetap jam delapan pagi di bilangan Tirtajaya. Sangat bisa jadi aku sebenarnya duduk membelakangi toilet, seperti biasa menghadapi HP-11Cb. Di depanku bisa jadi teronggok bekas pembungkus nasi uduk bersambal terasi, berayam suwir, bertelur orak-arik, berbawang goreng...
Kini tepat belakangku memang toilet juga. Dengan menengok ke kanan, pandanganku bahkan lurus sejajar dengan kloset duduk yang bukannya ditanam di lantai malah menancap ke dinding, khas di sini. Padahal seharusnya, tolehan ke kanan menghasilkan pandangan terbuka ke cuaca Tirtajaya yang biasanya cerah di pagi hari. Ujung kerongkonganku, agak di pangkal rongga mulut, terasa lucu karena asam lambung merayap-rayap naik ke sana. Apa yang salah. Kini kecurigaanku terarah pada borek lumpia ayam yang kusantap tepat sebelum tidur, tambah dua cangkir sup. 

Di paragraf ini, suasana hatiku masih sekadar untuk segelas air hangat saja. Mungkin akan kutambah lagi agak segelas setelah ini. Jika nanti keberanianku timbul untuk menyeduh chai berempah berakar manis, atau sekadar teh hitam berbumbu cengkeh kayu manis beraroma apel, bisa saja kulanjutkan potekan borek sisa tadi malam. Padahal malam masih panjang meski ini sudah hampir setengah sembilan pagi di Tirtajaya. Bisa jadi mendekati tengah hari nanti aku mengantuk lagi sedang cantik sudah bangun. Ah, ini sebenarnya Tirtajaya meski persekitaranku kebingungan.

Untunglah aku tidak harus melepas topi homburg-ku [karena memang tidak punya], dan terutama karena mantelku tidak terlalu panjang [yang memang tidak ada]. Aku tidak bisa percaya ini nyata mengacaukan kerangka waktuku. Ia dirilis pada 1982, namun mengapa kenanganku mengenainya selalu mengenai akhir 1980-an. Kini tong sampah yang menyangga HP-11Cb kurengkuh dengan kedua belah kakiku bersila, seperti selalu saja jika jiwaku di Tirtajaya sedang badanku di tempat-tempat gaya-gaya'an seperti ini. Di Tirtajaya ia selalu digelar di atas meja. 

Ada yang pertama untuk segala sesuatu, dan ini mungkin kali pertama aku mengitiki sambil duduk dengan pantat telanjang di kloset duduk yang menancap ke dinding alih-alih ditanam di tanah. Posisinya agak terlalu tinggi untuk kaki-kakiku yang pendek, sehingga aku agak berjinjit menyangga HP-11Cb pada paha kananku. Apa perlu kuceritakan juga aku baru menyantap sarapan yang mungkin halal, tapi mungkin juga tidak toyib. Betapa tidak, jamur merang ditumis dan telur orak-arik mengapit bakon goreng. Mungkin itu sebabnya perutku mual dan kepalaku pusing.

Sudah lima hari ini aku makan roti-rotian terus. Kemarin sempat 'ku seling dengan salad agar ada sayurnya, kubeli dari Jumbo. Suatu sore sangat berangin yang seharusnya bisa indah, namun bahkan pada yang seperti ini pun manusia tidak dapat mengandalkan. Entah mengapa aku teringat pada membuang kehati-hatian kepada angin meski ungkapan ini sangat tidak kontekstual untuk suasana yang terjadi di sore berangin bermendung ini. Dalam keadaan seperti inilah terkadang 'ku berharap seandainya aku seekor kucing yang tidak perlu dikekang lagi dicancang.

Entri ini mungkin dimulai dengan koherensi yang tampak menjanjikan, namun tepat pada yang seperti ini manusia tidak akan pernah dapat mengandalkan. Mengapa aku masih saja menulis entri mungkin karena memang yang seperti-seperti ini terus saja terjadi dan tidak ada alasan untuk merasa gersula. Segala sesuatu sekadar harus dijalani saja, seperti harapan akan konsep penuh untuk menjadi konsep terakhir. Bagiku, itu membentang antara Maret 2021 sampai Maret 2025. Empat tahun penuh! Tengah malam yang sebenarnya subuh terbangun tak berdaya mengitiki.

Wednesday, October 01, 2025

Mengingati Hari Kesaktian Havanagila Lubangbuaya


Kata-kata tak berdaya. Aku hanya dapat membayangkan diriku bergerak-gerak. Apa sanggup, sampai kapan 'ku sanggup begini terus, ketika hari-hari tanpa bayangan saja membuatku terus-menerus merasa demam begini. Saluran pernapasan bagian atas selalu terasa lucu, apalagi irama cha-cha jaman ruang angkasa riang meningkahi. Siapa lagi yang butuh kaset, sidi, bahkan koleksi empetri, jika mengitiki bisa begitu saja bercha-cha-cha di satu jendela yang sama. Aku yang tidak berdaya ketika perwira pertamaku menasihati dentam-dentam cinta remaja bukan lagi bagianku.
Menghirup-hirup cokelat panas seharga Rp 19.000 masih lebih murah daripada Rp 58.000, apalagi di dalam laboratorium hukum yang terkadang di dalamnya suka ada Abu Rizal Biladina yang suka belajar hukum tata negara. Ini pasti terdengar sepertiku ketika gaya-gaya'an membantah artikelnya almarhum Bang Hendra Nurtjahjo mengenai fungsi DPR. Hari lain, patah-hati lain memang lagu tema yang cocok untuk keadaan seperti ini, namun terharu-biru jelas tidak lagi bekerja bagiku, bahkan berolok-olok begini. Ini HP11-Cb, jadi harus mento'kanan.

Betapa senangnya Amy dan Howie menari-nari sambil berharmoni ikut bernyanyi bersama Neil Sedaka. Ketiganya Yahudi. Beberapa tahun yang lalu aku masih dapat larut dalam kesenangan seperti itu. Kini bahkan istriku sendiri tidak peduli pada keseimbangan hormonalku, antara endorfin dan kortisol. Dan kata Mbak Dina bentukku seperti almarhum Pak Adijaya Yusuf, mengapa tidak Bang Safri Nugraha sekalian; orang-orang baik semua itu. Orang-orang mati semua. Entah mengapa urutannya 'gini, setelah gadis kalender disusul selamat ulang tahun ke-16.

Raja badut, sampai hari ini sungguh sulit 'ku mengerti mengapa ibuku suka lagu ini. Memang hampir semua dari Neil Sedaka aku suka sampai-sampai aku kesulitan kalau disuruh memilih satu. Tapi raja badut, seperti memandang ke kejauhan anak-anak belasan tahun atau awal 20 tahunan berjalan bergerombol laki-laki dan perempuan. Bagiku itu adalah pertengahan 1990-an, namun sekarang sudah 30 tahun kemudian, 2020-an. Masa-masa Bang Law masih perkasa sudah lama berlalu. Lagu-lagu dewa murahan saja sudah seperempat abad berlalu. Tua dunia ini terasa.

Dan begitu saja gadis nakal membersamaiku seperti ketika salju turun menderas di akhir 2008 itu di Maastricht. Gadis nakal ya Cantik. Bambungan tepatnya. Nakal minta ampun tidak sembuh-sembuh, tapi 'ku rasa begitulah yang 'ku suka. Dan begitu saja ia berlalu seperti datangnya, disusul oleh suatu melankoli ketika aku menangis sepenuh hati untukmu, yang tidak pernah berwajah berupa. Tak sudi pula 'ku beri wajah dan rupa. Apakah hidupku adalah suatu kisah kejayaan atau sekadar kekonyolan [awas! jangan diganti 't']. Demi bapakku, harus timbul terus maju jaya!

Apakah ketujuh orang yang berakhir hidupnya di pinggiran sumur tua Lubang Buaya itu jaya atau konyol. Namanya bertebaran di seantero Nusantara sebagai jalan-jalan utama. Tidak hanya yang tujuh itu, ditambah Katamso, Sugiono, dan Karel Sadsuitubun. Jadi semua ada sepuluh. Itu tidak boleh dikatakan konyol [awas! jangan diganti 't', demi Toutatis, Minerva, dan apapun yang melata]. Yang konyol itu aku. Mungkin aku hanya harus sedikit menguatkan diri untuk tetap konyol seperti ini. Mengapa 't' tepat berada di sebelah kiri 'y' 'gini di kibor qwerty.

Meski pikiran-pikiran mengerikan terkadang berkebit mengebat di kepala, mungkin tidak semengerikan perasaan Kolonel Katamso ketika tengkoraknya retak dihantam kunci mortir dan ia terjatuh ke dalam lubang yang akan menjadi kuburannya. Konon ia sempat berkata bahwa ia mencintai Bung Karno. Cuih, buat apa lagi cinta seorang Kolonel Katamso, ketika Bung Karno saat itu bergelimang cinta istri-istrinya [atau jangan-jangan tidak, sampai ia masih membutuhkan cinta seorang Kolonel Katamso]. Begitulah caranya mengakhiri hidup sedang dimulai di Sragen.