Friday, May 16, 2025

Belum Terlambat Untuk Menjatuhiku Cinta Luluna


Mari kita coba sekali lagi mengitiki dalam ambiens yang menjengkelkan. Hei, bahkan aku melakukannya masih dalam mode html. Ingat, ini beda lagi. Ini HP-11CB bukan Lenovo AIO 520. Mungkin sama-sama enam baris, tapi yang 11CB sampai mentok sedang 520 hanya sampai tengah-tengahnya. Minuman kaisar-kaisar Aztec ini ternyata kurang oye, karena dengan konsistensinya yang seperti ini, ia menahan ampas sampai tidak dapat tenggelam ke dasar cangkir. Padahal mungkin kalau tidak ada ampasnya, minuman ini bisa jadi agak boleh lah. 'tuh 'kan, 'mpe mentok.
Apa tidak ada idealitas di dunia ini. Apakah penggambaran harus selalu minta tolong kecerdasan buatan sekarang, atau pakai cara lama saja, menelusur, berselanjar di jagad jelantara dengan kata kunci asal-asalan. Apa harus seperti ini terus, menahankan serba seadanya, bahkan perut yang terasa kembung dan celana yang pinggangnya terlalu ketat. Apa harus 'ku dapat membedakan antara La Luna dan Vierra, sedang aku lebih kenal Patrick Vieira. Ternyata memang mustahil mengitiki dalam suasana yang tidak seperti tergelitik. Hanya sampai tengah-tengah, ini Lenovo 520.

Ya, sekarang ini di depan Lenovo AIO 520 setelah 12 jam dari suasana menjengkelkan. Haruskah aku menunggu selama itu, sampai lewat tengah malam. Saking saja tadi setelah sholat ashar 'ngantuknya aduhai 'gak ketulungan, maka tidurlah aku sampai menjelang maghrib. Inilah jadinya, menghadapi komputer pribadi atas-meja, di meja kerjaku yang jauh dari ideal. Hanya beberapa lembar kartu kwartet Upin Ipin itulah saja yang membuat meja ini seakan meja kerja. Sisanya, waktunya, berantakannya, semaknya, entahlah ini apa. Setua ini, idealitas nyatanya sebatas mimpi. 

Jadi intinya osidi itu tidak boleh masih waras sambil tertawa-tawa. Osidi itu sampai jelek mukamu berkeringat dingin begitu. Memang tidak sampai [terlalu] mengganggu gunaku sehari-hari, namun bagaimana menjelaskan perasaan seperti selalu pura-pura waras. Idealitas mungkin akan tercapai jika tidak berurusan SAMA SEKALI dengan manusia satupun. Namun kau akan kesepian. Jika kesepian sewalah tembikar, yang serbaguna tentunya. Jangan sampai kena lampu kristal, meski serbaguna. Tembikar yang tidak protes meski sekadar digelarkan tikar. Ini koq sampai mentok bagaimana.

Sepinya malam ini bukan malamnya yang sepi melainkan diriku. Mana bau tahi, mana perut aduh sakit gara-gara minuman kaisar-kaisar Aztec. Jika aku tidak menyebut nama-nama, itu karena nama-nama yang disebut-sebut sampai aku tahu hampir pasti tidak bisa ditiru. Yang pantas ditiru justru tak bernama. Halah, masih mencoba sok bijak. Cukuplah bila ketiak kanan dan kiri dibedaki Herocyn karena Purol sudah tiada. Yang biru, hijau, bahkan merah jambu, takkan sanggup menutupi bau nanah rajasinga. Kau tak bisa membodohiku. T'lah terlalu lama 'ku mencintaimu.

Semua hari-hariku sebagian besarnya seperti hari-hariku di ruang karantina penyakit menular, lengkap dengan kodoknya, lengkap dengan spesial pake telornya. Malam-malamnya aku sendiri, siang-siangnya sekadar dilalui. Aku tidak pernah benar-benar ingat pagi dan petang, kecuali suatu petang bermain di kolam ikan baru kepergok mentor Ili Dasili; memalukan sekali. Bukan kejadian itu, melainkan seluruh hidupku. Aku sekadar berusaha tidak memalukan untuk ibu dan istriku. Selebihnya, aku lebih nista dari badut dengan konsep tak jelas. Berkostum, mengemis.

Sekarang dan selamanya. Apa suasana siang menjelang sore di pavilyun yang sejuk. Apa karena banyak pohonnya, nangka, mangga, kol banda, yang besar-besar. Ada daun mangkokan juga. Akankah terwujud nyatanya hanya harus dijalani. Apa nista, apa bau tahi, bau bangkai sekali. Selokan kecil di depan pavilyun membuat susah disapu. Adikku selalu teringat alat pencucuk daun alih-alih sapu. Di situ juga menghisap entah sampoerna king, mengapa ini yang selalu terkenang. Mengapa tidak merek lain. Di situ juga berusaha mengorek keterangan hanya untuk ditepis. Angsokamu.

Saturday, May 10, 2025

Sudah Delapan Tahun Berlalu Masih Me[ma]carimu


Tidak perlu umek mencari-cari penggambaran, sedangkan lukisan-lukisan dengan kata-kata sudah cukup lama berhenti. Tidur belum sampai lima jam semalam memang rasanya aduhai sudah beberapa hari ini. Apa, kau mengajakku jatuh cinta. Tidak, aku sudah pernah. Tak dapat 'ku lupakan ajakan jatuh cinta sambil menyusuri jalan-jalan selatan Jakarta, meski situasinya sangat tidak ideal. Apakah akan lebih baik jika ini adalah ruang flex dengan sejuk-sejuknya, bahkan ketika masih memakai baju rajut. Akankah 'ku biarkan yang seperti itu menjadi kenangan, seperti mimpiku.
Jika kau tanya padaku, rasanya seperti pengar jet. Apa masih relevan buku harian ini, yang bukan buku dan tidak harian ini, yang kata Paula puitis ini. Apa ada maksud padaku untuk menjadikannya puitis, setelah pusat-pusat perdagangan internasional di kota-kota besar di Indonesia bermatian. Jika belum menjadi nekropolis, setidaknya kopropolis. Ya, itu yang di Kebon Kalapa, aku yang masih saja perhatian mencari orang. Bahkan Pak Cecep yang mengatakanku begitu saja sudah mati, yang masih 'ku temui beberapa tahun lalu. Bahkan es tujuh teler-telernya sudah tiada.

Dalam keadaan seperti ini yang terasa adalah dorongan untuk pergi ke tip top membeli sekantung besar teh tarik. Mungkin memang lebih ekonomis, hampir 70 ribu tetapi bisa untuk dua bulan bahkan lebih. Betapa tololnya jika hanya gara-gara itu saja terpesona, apalagi sampai bermalam-malam. Teorinya, seperti biasa, aku sudah tahu. Mungkin memang sudah tidak waktunya menambah teori, di jam empatku tumpukan teori hampir setengah meter. Yang ada saja belum semuanya dipraktekkan, hanya sebagian sangat kecil malah. Setengah meter teori sudah gila apa. Praktek!

Tiga paragraf di atas umurnya sudah tiga hari. Kini aku meneruskannya ditemani gitar gutawar riang menyanyikan lagu suprafit yang kali pertama 'ku dengar di Sint Antoniuslaan 11, Maastricht. Uah, aku memang sedang di Belanda ini, sekarang di Uilenstede, Amstelveen. Setelah suprafit disusul saprodi, aku hanya bisa ngungun. Seperti berkebit tadi pagi, aku sudah melakukannya sejak entah kapan. Mengapa aku begini, mengapa mempertanyakan. Apakah semakin sering, bisa jadi. Suatu siang atau sore di bekas ruang praktek dokter Hardi Leman kali pertama menyadari. Crot!

Kini 'ku hirup-hirup, 'ku cecap-cecap, 'ku sesap-sesap secangkir plastik merah ukuran 200 ml cappuccino bergranula coklat. Jika demikian tentu besutan torabika. Selalu teringat betapa suatu pagi ditemani sesaset indocafe cappuccino di tepian Ciliwung, di suatu pagi bermendung. Apa ketika itu ada nasi uduk, apa sebungkus rokok entah apa mereknya. Semuanya kesakitan. Kesakitan saja yang tersisa. Entah mengapa beberapa waktu terakhir ini agak sering 'ku katakan sejak jaman nabi Adam, sejak jaman Firaun. Jika tiada lagi tersisa bagiku dari dunia fauna...

...masa remaja, baik dari high videlity maupun sepatu putih dan kumpulan pasangan, hanya 'ku harap cappuccino ini tak menyakiti. Apa masih kurang kesakitan yang semuanya hanya dalam bayangan. Terkadang semangat membuncah membanjiri, sampai-sampai meski kantuk menderu-dera masih dapat ditahan dengan secangkir cappuccino dan berondongan kitikan. Nama-nama itu, yang tinggal dalam tapisan benak karena butirannya lebih besar dari anyaman jala daya ingat. Nama-nama yang memang tidak tahu, atau pernah tahu dan sekuat tenaga dilupakan...

Besar dan bentuknya seperti seonggok tahi baluchitherium, dan tentu saja bau. Kasihan. Hanya bisa didoakan agar tidak bau lagi. Biarlah besar, bentuk, dan mungkin juga warnanya seperti seonggok tahi baluchitherium yang sudah sembelit agak beberapa hari, namun baunya harum mewangi seperti apa saja terserah. Mau bau bunga atau kue boleh saja, aku tidak peduli. Aku selalu ingat baunya, seperti vanila campur kayu manis atau yang semacam itu, dan tiada keberatan padaku sama sekali. Aku pernah muda, dan di umurku yang akhir 40 tahunan, aku ingin tua 'ku tak peduli.

Thursday, May 01, 2025

Sesuatu Kemanisan Kejahean. Kesusuan Kekinian


Suatu kesepian yang mendamba di tengah hiruk-pikuk tempik sorak-sorai. Suatu kesendirian yang mengapung-apung di tengah awan-awan sekadar memandang. Seekor merpati putih yang--seperti semua saja merpati--terbang sesuka hati. Tidak perlu pula aku mendoakan merpati-merpati harapan-harapan akan baik-baik. Seperti merpati-merpati di Maastricht atau Amsterdam, banyak yang kakinya cacat. Meski belum pernah melihat sendiri, katanya ada juga yang paruhnya cacat. Kalau tidak salah aku pernah melihat di sebuah gambar atau beberapa meski tiada yang putih. 
Seperti sekarang ini udara dalam senar G tidak berdaya menyekatku dari hiruk-pikuk lalu-lintas Jakarta di jam pulang kantor. Maka dengan perut melembung kembung dan pinggang celana yang terlalu ramping aku mengitiki. Seperti apa rasanya... aku sudah lupa, karena ini dari entah berapa minggu lalu. Sekarang situasiku tidak jauh beda, jika tidak lebih parah. Dalam keadaan seperti ini, percuma saja 'ku rasa menyumbat telinga dengan apapun. Sekarang bahkan belis-belis ini main petak umpet di sini. Edan. Dunia macam apa tempatku hidup ini. 'Ku harus hidup pun. 

Nah, mulai dari paragraf ini, takkan jadi catatan hari pun, terlebih laporan pandangan mata. Aku hanya bisa berharap, seperti segala sesuatu, ini pun akan berlalu. Seperti angin bertiup di sisiku, ooh, ooh. Ini semua ku telah mengerti: semua di dunia, semua di dunia, tiada yang abadi. Apalagi sekadar biang-biang yang mengeluarkan belis-belis ini. Jika tidak seperempat, mungkin satu jam lagi. Kalau sudah tidak tahan, aku tinggal menyingkir. Mungkin di hari permintaan tolong ini, yang lantas diliburkan ini, biang belis memanfaatkannya untuk membawa belis-belisnya keluar.

Benar 'kan. Aku tidak mengukur berapa lama tepatnya, tapi belis-belis bersama biang-biangnya sekali yang pada bermobil sudah hilang dari pandangan mata. Ya, setidaknya dari pandangan mata. Apakah kini sudah setenang pagi ketika hanya ada dirimu, suara berbisik-bisik, dan lagu-lagu lama daur-ulang. Belum, tapi ini jauh lebih baik dari setengah jam yang lalu. Setua ini, sedikit sekali yang masih menarik perhatianku. Inikah waktu mewedar kebijaksanaan. Adakah aku memilikinya atau sekadar berkhayal memilikinya. Alat tunjuk-tunjuk yang utara belum kosong juga.

Uah, bahkan sekarang aku dapat mendengar terlalu [cepat] gembira. Aku tidak pernah membacakan fatihah untukmu, John. Untungnya, kau pun bukan paus. Jadi, meski 'ku melakukannya, mungkin netijen Malaysia tidak akan menertawakanku. Terlalu gembira memang identik denganmu entah mengapa. Sekarang yang sepertimu yang masih tersisa tinggal Mang Imas. Apakah aku sebaik kalian, 'ku rasa tidak. Aku masih terlalu sombong dan itu menjengkelkan bagi siapapun. Sedikit sekali dari kalian yang dapat dikatakan menjengkelkan, hampir tidak ada malah, aku rasa.

Mengapa pojokan sini terasa lebih dingin dari biasanya. Haruskah aku geser ke tempat di mana kadang angin hangat menghembus. Anginnya sih aku tidak berkeberatan. Orang lalu-lalangnya itu yang menjengkelkan. Uah, setelah belis-belis dan biang-biangnya, sekarang masalah dingin ini membuatku gelisah seperti siap-siap bergeser dari tempat pantatku menempel kini. Lagipula mengapa aku harus memilih tempat ini. Sudah banyak sekali 'ku habiskan sekadar gara-gara berada di tempat ini. Jangan-jangan, menulis di Omah Kranjinya Nugroho amat menginspirasi.

Namun sangat bisa jadi, suasana sepoi-sepoi seperti Omah Kranji justru membuatku mengantuk. Ya Allah, pekerjaan apa yang cocok untukku. Pertanyaan tolol macam apa itu. Apapun keadaanmu berusahalah berbuat sebaik mungkin sambil berharap yang terbaik. Begitu saja terus setiap hari. Langit siang ini bermendung. Entah siang terik atau bahkan malam dingin kita tidak pernah tahu. Bayangkan rasanya jadi Jesse. Kaki terjepit, mungkin remuk, udara dingin memenuhi paru-paru. Adakah Tom bersamanya sampai akhir, atau terpaksa harus meninggalkannya. Entah.