Mari kita coba sekali lagi mengitiki dalam ambiens yang menjengkelkan. Hei, bahkan aku melakukannya masih dalam mode html. Ingat, ini beda lagi. Ini HP-11CB bukan Lenovo AIO 520. Mungkin sama-sama enam baris, tapi yang 11CB sampai mentok sedang 520 hanya sampai tengah-tengahnya. Minuman kaisar-kaisar Aztec ini ternyata kurang oye, karena dengan konsistensinya yang seperti ini, ia menahan ampas sampai tidak dapat tenggelam ke dasar cangkir. Padahal mungkin kalau tidak ada ampasnya, minuman ini bisa jadi agak boleh lah. 'tuh 'kan, 'mpe mentok.
Apa tidak ada idealitas di dunia ini. Apakah penggambaran harus selalu minta tolong kecerdasan buatan sekarang, atau pakai cara lama saja, menelusur, berselanjar di jagad jelantara dengan kata kunci asal-asalan. Apa harus seperti ini terus, menahankan serba seadanya, bahkan perut yang terasa kembung dan celana yang pinggangnya terlalu ketat. Apa harus 'ku dapat membedakan antara La Luna dan Vierra, sedang aku lebih kenal Patrick Vieira. Ternyata memang mustahil mengitiki dalam suasana yang tidak seperti tergelitik. Hanya sampai tengah-tengah, ini Lenovo 520.
Ya, sekarang ini di depan Lenovo AIO 520 setelah 12 jam dari suasana menjengkelkan. Haruskah aku menunggu selama itu, sampai lewat tengah malam. Saking saja tadi setelah sholat ashar 'ngantuknya aduhai 'gak ketulungan, maka tidurlah aku sampai menjelang maghrib. Inilah jadinya, menghadapi komputer pribadi atas-meja, di meja kerjaku yang jauh dari ideal. Hanya beberapa lembar kartu kwartet Upin Ipin itulah saja yang membuat meja ini seakan meja kerja. Sisanya, waktunya, berantakannya, semaknya, entahlah ini apa. Setua ini, idealitas nyatanya sebatas mimpi.
Jadi intinya osidi itu tidak boleh masih waras sambil tertawa-tawa. Osidi itu sampai jelek mukamu berkeringat dingin begitu. Memang tidak sampai [terlalu] mengganggu gunaku sehari-hari, namun bagaimana menjelaskan perasaan seperti selalu pura-pura waras. Idealitas mungkin akan tercapai jika tidak berurusan SAMA SEKALI dengan manusia satupun. Namun kau akan kesepian. Jika kesepian sewalah tembikar, yang serbaguna tentunya. Jangan sampai kena lampu kristal, meski serbaguna. Tembikar yang tidak protes meski sekadar digelarkan tikar. Ini koq sampai mentok bagaimana.
Sepinya malam ini bukan malamnya yang sepi melainkan diriku. Mana bau tahi, mana perut aduh sakit gara-gara minuman kaisar-kaisar Aztec. Jika aku tidak menyebut nama-nama, itu karena nama-nama yang disebut-sebut sampai aku tahu hampir pasti tidak bisa ditiru. Yang pantas ditiru justru tak bernama. Halah, masih mencoba sok bijak. Cukuplah bila ketiak kanan dan kiri dibedaki Herocyn karena Purol sudah tiada. Yang biru, hijau, bahkan merah jambu, takkan sanggup menutupi bau nanah rajasinga. Kau tak bisa membodohiku. T'lah terlalu lama 'ku mencintaimu.
Semua hari-hariku sebagian besarnya seperti hari-hariku di ruang karantina penyakit menular, lengkap dengan kodoknya, lengkap dengan spesial pake telornya. Malam-malamnya aku sendiri, siang-siangnya sekadar dilalui. Aku tidak pernah benar-benar ingat pagi dan petang, kecuali suatu petang bermain di kolam ikan baru kepergok mentor Ili Dasili; memalukan sekali. Bukan kejadian itu, melainkan seluruh hidupku. Aku sekadar berusaha tidak memalukan untuk ibu dan istriku. Selebihnya, aku lebih nista dari badut dengan konsep tak jelas. Berkostum, mengemis.
Sekarang dan selamanya. Apa suasana siang menjelang sore di pavilyun yang sejuk. Apa karena banyak pohonnya, nangka, mangga, kol banda, yang besar-besar. Ada daun mangkokan juga. Akankah terwujud nyatanya hanya harus dijalani. Apa nista, apa bau tahi, bau bangkai sekali. Selokan kecil di depan pavilyun membuat susah disapu. Adikku selalu teringat alat pencucuk daun alih-alih sapu. Di situ juga menghisap entah sampoerna king, mengapa ini yang selalu terkenang. Mengapa tidak merek lain. Di situ juga berusaha mengorek keterangan hanya untuk ditepis. Angsokamu.
Apa tidak ada idealitas di dunia ini. Apakah penggambaran harus selalu minta tolong kecerdasan buatan sekarang, atau pakai cara lama saja, menelusur, berselanjar di jagad jelantara dengan kata kunci asal-asalan. Apa harus seperti ini terus, menahankan serba seadanya, bahkan perut yang terasa kembung dan celana yang pinggangnya terlalu ketat. Apa harus 'ku dapat membedakan antara La Luna dan Vierra, sedang aku lebih kenal Patrick Vieira. Ternyata memang mustahil mengitiki dalam suasana yang tidak seperti tergelitik. Hanya sampai tengah-tengah, ini Lenovo 520.
Ya, sekarang ini di depan Lenovo AIO 520 setelah 12 jam dari suasana menjengkelkan. Haruskah aku menunggu selama itu, sampai lewat tengah malam. Saking saja tadi setelah sholat ashar 'ngantuknya aduhai 'gak ketulungan, maka tidurlah aku sampai menjelang maghrib. Inilah jadinya, menghadapi komputer pribadi atas-meja, di meja kerjaku yang jauh dari ideal. Hanya beberapa lembar kartu kwartet Upin Ipin itulah saja yang membuat meja ini seakan meja kerja. Sisanya, waktunya, berantakannya, semaknya, entahlah ini apa. Setua ini, idealitas nyatanya sebatas mimpi.
Jadi intinya osidi itu tidak boleh masih waras sambil tertawa-tawa. Osidi itu sampai jelek mukamu berkeringat dingin begitu. Memang tidak sampai [terlalu] mengganggu gunaku sehari-hari, namun bagaimana menjelaskan perasaan seperti selalu pura-pura waras. Idealitas mungkin akan tercapai jika tidak berurusan SAMA SEKALI dengan manusia satupun. Namun kau akan kesepian. Jika kesepian sewalah tembikar, yang serbaguna tentunya. Jangan sampai kena lampu kristal, meski serbaguna. Tembikar yang tidak protes meski sekadar digelarkan tikar. Ini koq sampai mentok bagaimana.
Sepinya malam ini bukan malamnya yang sepi melainkan diriku. Mana bau tahi, mana perut aduh sakit gara-gara minuman kaisar-kaisar Aztec. Jika aku tidak menyebut nama-nama, itu karena nama-nama yang disebut-sebut sampai aku tahu hampir pasti tidak bisa ditiru. Yang pantas ditiru justru tak bernama. Halah, masih mencoba sok bijak. Cukuplah bila ketiak kanan dan kiri dibedaki Herocyn karena Purol sudah tiada. Yang biru, hijau, bahkan merah jambu, takkan sanggup menutupi bau nanah rajasinga. Kau tak bisa membodohiku. T'lah terlalu lama 'ku mencintaimu.
Semua hari-hariku sebagian besarnya seperti hari-hariku di ruang karantina penyakit menular, lengkap dengan kodoknya, lengkap dengan spesial pake telornya. Malam-malamnya aku sendiri, siang-siangnya sekadar dilalui. Aku tidak pernah benar-benar ingat pagi dan petang, kecuali suatu petang bermain di kolam ikan baru kepergok mentor Ili Dasili; memalukan sekali. Bukan kejadian itu, melainkan seluruh hidupku. Aku sekadar berusaha tidak memalukan untuk ibu dan istriku. Selebihnya, aku lebih nista dari badut dengan konsep tak jelas. Berkostum, mengemis.
Sekarang dan selamanya. Apa suasana siang menjelang sore di pavilyun yang sejuk. Apa karena banyak pohonnya, nangka, mangga, kol banda, yang besar-besar. Ada daun mangkokan juga. Akankah terwujud nyatanya hanya harus dijalani. Apa nista, apa bau tahi, bau bangkai sekali. Selokan kecil di depan pavilyun membuat susah disapu. Adikku selalu teringat alat pencucuk daun alih-alih sapu. Di situ juga menghisap entah sampoerna king, mengapa ini yang selalu terkenang. Mengapa tidak merek lain. Di situ juga berusaha mengorek keterangan hanya untuk ditepis. Angsokamu.