Tiada lama lagi hari 'kan berganti dan kekecewaanmu akan diganti dengan kekecewaan yang lain, seperti ganti celana dalam dengan sisi sebaliknya. Sisi ganda, kerapatan ganda. Mari kita coba menulis dalam Bahasa Indonesia yang benar, agar bahasa Inggrisnya pun menjadi nyaman mengalun-alun. Tadi sempat terpikir mengenai kesakitan, namun apalah artinya jika ia tidak pernah berhenti menyakiti, kesakitan itu. Aku bahkan harus menahan diri untuk berkomentar mengenai musik yang melatari, sekadar agar bahasa Inggrisnya terbaca mengalir. Mungkin tidak waktunya juga memeriksa pratinjau agar rata kanan-kiri.
Judul sudah dibuat, satu paragraf sudah diketik. Tinggal gambaran. Meski tidak rampak memberondongi, aku 'kan mencoba terus menulis karena terasa seperti itu: Menulis. Latar musik terus saja sibuk dengan instrumen masing-masing, aku pun terus mengetuk-ngetuk papan kunci. Diberi sesendok penuh bahkan lebih, bawang goreng seakan menjadi komoditas melimpah di warung makan Indomie seperti itu. Waktu-waktu ketika makan mie instan sebanyak apapun hanya berakibat kekenyangan, lain tidak. Bahkan bisa jadi menghisap sebatang dua rokok kretek, terlebih setelah mie goreng dobel bakso terasa benar sedapnya.
Hari-hariku sebagai gelandang Depoktivo La Coruna tidak akan terulang lagi, seperti ketika memandang keluar jendela dari kamar B1/17 itu. Entah sudah berapa bilik 'ku pakai dalam hidupku semenjak hari-hariku di Magelang sana. Terlebih di barak Peleton III Kompi A itu, aku mendapat kasur bawah sedang Kristiyono di atas. Jendela selalu terbuka, menampakkan langit malam, pepohonan di kaki Gunung Tidar, bahkan hantu-hantu konon beterbangan. Adakah aku pernah berendam dalam bak kontrol saluran pembuangan dapur. Seberapa menjijikkannya di situ aku tidak ingat karena aku lebih menjijikkan lagi.
Lantas begitu saja aku mencangkung di sebuah warung kopi. Hanya 'ku ingat, bukan susu, melainkan krimer kental manis digunakan untuk membuat kopiku berkrim. Apakah di situ juga Indomie berbawang goreng banyak-banyak atau justru di tepi Margonda, tentu tidak ketika aku mengamen di sepanjangnya. Mana tega aku membuang uang untuk kemewahan seperti itu. Lantas begitu saja keindahan dunia memaksakan diri agar terukir dalam di jiwa, seperti luka tusuk akibat pisau fairbairn-sykes. Tidak pernah berhenti sejak kapanpun, bahkan jauh sebelum aku terlahir di dunia ini. Jadi untuk apa aku ikut mengeluh.
Telah 'ku dapatkan suatu gambaran, yang meski tidak sesuai benar dengan apa yang ada dalam benak, tetapi cukuplah agar entri ini ada gambarannya. Bukan disko berjingkrak-jingkrak sampai habis-habisan berpeluh keringat, terlebih membentur-benturkan kepala pada udara malam ditingkahi musik logam berat. Aku hanya ingin berdansa perlahan bersama anak perempuanku sayang, yang balik menyayangiku. Membalas pelukanku jika ia 'ku peluk. Jika ini pun ternyata berlebihan, apakah hanya berusaha menulis buku teks Hukum Adat itu yang tinggal bagiku. Seperti itulah mungkin kehidupan Adso. Aku lebih beruntung.
Seandainya saja yang 'ku ketik ini adalah buku itu, atau bahkan opini-opini tolol yang 'ku kirimkan ke Kompas hanya untuk dikembalikan padaku. Apakah, seperti Radhar Panca Dahana, aku harus memulainya dari cerpen. Nyatanya aku tidak pernah memulai apapun kecuali terpaksa. Aku ini aneh, jika bukan kacau dan tidak jelas. Masih untung aku tidak menyemir wajahku segaris mata dengan cat hitam seperti Mpok Maemunah. Apa ia tidak tahu kalau ia terlihat seperti dukun Indian begitu. Segalaku yang sering 'ku nyanyikan di karaoke mana pun tidak berdaya, seperti halnya diriku sendiri: Penyanyinya.
Akhir kata, aku berjalan kembali ke kamar kost. Entah sambil menunduk, entah sambil mengepul-ngepulkan asap Starmild, mungkin menthol, dari mulut dan hidungku, entah apa yang 'ku pikirkan saat itu. Hal-hal memalukan yang betul-betul menggerus hatiku menjadi remah-remah, disiram air comberan jadi lembek, diinjak-injak orang lalu-lalang, dipatuki merpati berkaki cacat. Inilah sehari dalam kehidupan seorang tolol, yang sebenarnya keesokan harinya setelah karnaval. Aku tidak pernah ikut karnaval apapun, apakah merayakan hari kemerdekaan atau menyambut datangnya musim semi. Tidak pernah.
Judul sudah dibuat, satu paragraf sudah diketik. Tinggal gambaran. Meski tidak rampak memberondongi, aku 'kan mencoba terus menulis karena terasa seperti itu: Menulis. Latar musik terus saja sibuk dengan instrumen masing-masing, aku pun terus mengetuk-ngetuk papan kunci. Diberi sesendok penuh bahkan lebih, bawang goreng seakan menjadi komoditas melimpah di warung makan Indomie seperti itu. Waktu-waktu ketika makan mie instan sebanyak apapun hanya berakibat kekenyangan, lain tidak. Bahkan bisa jadi menghisap sebatang dua rokok kretek, terlebih setelah mie goreng dobel bakso terasa benar sedapnya.
Hari-hariku sebagai gelandang Depoktivo La Coruna tidak akan terulang lagi, seperti ketika memandang keluar jendela dari kamar B1/17 itu. Entah sudah berapa bilik 'ku pakai dalam hidupku semenjak hari-hariku di Magelang sana. Terlebih di barak Peleton III Kompi A itu, aku mendapat kasur bawah sedang Kristiyono di atas. Jendela selalu terbuka, menampakkan langit malam, pepohonan di kaki Gunung Tidar, bahkan hantu-hantu konon beterbangan. Adakah aku pernah berendam dalam bak kontrol saluran pembuangan dapur. Seberapa menjijikkannya di situ aku tidak ingat karena aku lebih menjijikkan lagi.
Lantas begitu saja aku mencangkung di sebuah warung kopi. Hanya 'ku ingat, bukan susu, melainkan krimer kental manis digunakan untuk membuat kopiku berkrim. Apakah di situ juga Indomie berbawang goreng banyak-banyak atau justru di tepi Margonda, tentu tidak ketika aku mengamen di sepanjangnya. Mana tega aku membuang uang untuk kemewahan seperti itu. Lantas begitu saja keindahan dunia memaksakan diri agar terukir dalam di jiwa, seperti luka tusuk akibat pisau fairbairn-sykes. Tidak pernah berhenti sejak kapanpun, bahkan jauh sebelum aku terlahir di dunia ini. Jadi untuk apa aku ikut mengeluh.
Telah 'ku dapatkan suatu gambaran, yang meski tidak sesuai benar dengan apa yang ada dalam benak, tetapi cukuplah agar entri ini ada gambarannya. Bukan disko berjingkrak-jingkrak sampai habis-habisan berpeluh keringat, terlebih membentur-benturkan kepala pada udara malam ditingkahi musik logam berat. Aku hanya ingin berdansa perlahan bersama anak perempuanku sayang, yang balik menyayangiku. Membalas pelukanku jika ia 'ku peluk. Jika ini pun ternyata berlebihan, apakah hanya berusaha menulis buku teks Hukum Adat itu yang tinggal bagiku. Seperti itulah mungkin kehidupan Adso. Aku lebih beruntung.
Seandainya saja yang 'ku ketik ini adalah buku itu, atau bahkan opini-opini tolol yang 'ku kirimkan ke Kompas hanya untuk dikembalikan padaku. Apakah, seperti Radhar Panca Dahana, aku harus memulainya dari cerpen. Nyatanya aku tidak pernah memulai apapun kecuali terpaksa. Aku ini aneh, jika bukan kacau dan tidak jelas. Masih untung aku tidak menyemir wajahku segaris mata dengan cat hitam seperti Mpok Maemunah. Apa ia tidak tahu kalau ia terlihat seperti dukun Indian begitu. Segalaku yang sering 'ku nyanyikan di karaoke mana pun tidak berdaya, seperti halnya diriku sendiri: Penyanyinya.
Akhir kata, aku berjalan kembali ke kamar kost. Entah sambil menunduk, entah sambil mengepul-ngepulkan asap Starmild, mungkin menthol, dari mulut dan hidungku, entah apa yang 'ku pikirkan saat itu. Hal-hal memalukan yang betul-betul menggerus hatiku menjadi remah-remah, disiram air comberan jadi lembek, diinjak-injak orang lalu-lalang, dipatuki merpati berkaki cacat. Inilah sehari dalam kehidupan seorang tolol, yang sebenarnya keesokan harinya setelah karnaval. Aku tidak pernah ikut karnaval apapun, apakah merayakan hari kemerdekaan atau menyambut datangnya musim semi. Tidak pernah.
No comments:
Post a Comment