Berulang kali aku mencoba untuk s'lalu mengalah. Halah, yang benar entah sudah berapa ekor merpati putih beterbangan dalam goblogku ini. Bahkan siang terik memanggang ini pun aku masih diterbangkan di awang-awang olehnya. Padahal merpati-merpati putih ini tinggal kau patahkan leher-leher jenjangnya, siram air mendidih agar lepas bulu-bulunya, buang jeroannya, ungkep bumbu kuning, goreng sekering-keringnya agar bahkan sampai tulang-tulangnya dapat dikeremus habis, ludahkan apa yang kau tak suka. Begitu seharusnya merpati-merpati putih diperlakukan, bukan didamba-dambakan, dimanja-manjakan. Ludahkan!
Nah, gambar di atas ini malah cocok sekali. Seekor merpati putih mati kejang digoreng kering, paruh mungilnya menganga melepas napas terakhir dengan pekikannya sekali. Hiasan tomat ceri dan daun peterseli justru menambah ironi. Kau seekor merpati putih yang kau sangka begitu berharga, ternyata sekadar sisa-sisa kunyahan kambing yang bentukmu menjijikkan apalagi baumu. Sungguh mengerikan pahit-getirnya seorang lelaki paruh-baya berbadan tambun, berkepala botak, dengan perut merekah karena melahap snek-snek entah-entah, sedang rayapnya mati.
Lipat-lipatan sayap menghitam memang memabukkan khayal yang mendamba, diikat seperti capit-capit kepiting. Takkan lagi 'ku kenang sensasi ini dengan suasana hati yang hangat suam-suam kuku, karena takkan pernah 'ku nikmati lipat-lipatan sayap goreng kering menghitam. Tidak di sini, tidak di kehidupan selanjutnya, tidak di kehidupan mana pun, karena kehitaman adalah kematian; dan kematian bukan hidup. Bisa 'ku dapatkan di mana saja, berceceran di mana-mana seperti tahi macan. Tidak akan berbelas kasihan meski dipatut-patut seperti pembawaannya.
Sungguh mengerikan setua ini kehabisan cinta. Namun cinta bukan sesuatu yang bisa kau beli begitu saja dari warung Haji Syu'aib yang telah berubah menjadi tempat parkir. Seperti itulah, seperti matinya Haji Syu'aib beserta warungnya sekali, seperti itu pulalah segala sesuatu yang kau sangka hidup, yang kau sangka nyata, yang kau sangka dekat dan selalu menyelimuti. Aku bahkan tak ingin mengomentari, karena segala kesucian sudah pasti akan dinodai entah oleh siapa; yang jelas bukan olehku. Aku tidak pernah suci maka tak pernah menodai. Itulah takdirku.
Bagianku adalah bilik-bilik suram penuh kelembaban dan kelicinan, mungkin bebauan. Keharuman yang tidak tepat tempatnya, karena tempatku tidak pernah kering dan nyaman. Kemudaanku sudah hilang sirna dan tak ingin pula 'ku panggil kembali. Bukan kemudaan itu sendiri, melainkan suasana hati yang terkadang penuh semangat, terkadang menyenangkan, terkadang 'ku panggil kembali di sini, di goblog ini. 'Ku kira suasana-suasana hati itu dapat 'ku rasakan lagi hanya dengan mengitikinya di sini. Meski semakin mustahil, sungguh aku tiada peduli.
Ada juga siang-siang terik namun sejuk di kamar berdinding biru. Aku tidak pernah ingat ranjang lain kecuali ranjang susun masa kecilku yang sempat tidak dipasang atasnya, disimpan di gudang Babe Tafran malah jadi jembatan. Di situlah sisa-sisa kemudaan bercucuran, meski pernah juga demam sampai terpaksa makan parasetamol. Di luar sana Intan dengan rambut afronya, mungkin bersama anak-anaknya Babe Tafran pula. Itulah ketika muda dan bukan siapa-siapa. Betapa lucunya mengingat dalam keadaan tua dan pura-pura dosen begini. Sampai kapan.
Apa yang harus 'ku lakukan biasanya dislompret ketika leher dijenjangkan berlebih-lebihan bernuansa biru stabilo begitu, sedang yang satunya jangkar digayakan bernuansa kuning stabilo pula. Semua dari masa muda dan dungu. Semua telanjang kecuali bercelana dalam, sedang seringnya justru tidak bercelana dalam. Sampai menuding itu burung dari dalam celana lebah. Berjalan di sepanjang TB Simatupang ke arah timur menuju Pasar Rebo di bawah terik matahari, pastilah bau. Harus menahankan yang seperti itu, sama dengan waktu berjalan ke arah utara Radar Auri.
Nah, gambar di atas ini malah cocok sekali. Seekor merpati putih mati kejang digoreng kering, paruh mungilnya menganga melepas napas terakhir dengan pekikannya sekali. Hiasan tomat ceri dan daun peterseli justru menambah ironi. Kau seekor merpati putih yang kau sangka begitu berharga, ternyata sekadar sisa-sisa kunyahan kambing yang bentukmu menjijikkan apalagi baumu. Sungguh mengerikan pahit-getirnya seorang lelaki paruh-baya berbadan tambun, berkepala botak, dengan perut merekah karena melahap snek-snek entah-entah, sedang rayapnya mati.
Lipat-lipatan sayap menghitam memang memabukkan khayal yang mendamba, diikat seperti capit-capit kepiting. Takkan lagi 'ku kenang sensasi ini dengan suasana hati yang hangat suam-suam kuku, karena takkan pernah 'ku nikmati lipat-lipatan sayap goreng kering menghitam. Tidak di sini, tidak di kehidupan selanjutnya, tidak di kehidupan mana pun, karena kehitaman adalah kematian; dan kematian bukan hidup. Bisa 'ku dapatkan di mana saja, berceceran di mana-mana seperti tahi macan. Tidak akan berbelas kasihan meski dipatut-patut seperti pembawaannya.
Sungguh mengerikan setua ini kehabisan cinta. Namun cinta bukan sesuatu yang bisa kau beli begitu saja dari warung Haji Syu'aib yang telah berubah menjadi tempat parkir. Seperti itulah, seperti matinya Haji Syu'aib beserta warungnya sekali, seperti itu pulalah segala sesuatu yang kau sangka hidup, yang kau sangka nyata, yang kau sangka dekat dan selalu menyelimuti. Aku bahkan tak ingin mengomentari, karena segala kesucian sudah pasti akan dinodai entah oleh siapa; yang jelas bukan olehku. Aku tidak pernah suci maka tak pernah menodai. Itulah takdirku.
Bagianku adalah bilik-bilik suram penuh kelembaban dan kelicinan, mungkin bebauan. Keharuman yang tidak tepat tempatnya, karena tempatku tidak pernah kering dan nyaman. Kemudaanku sudah hilang sirna dan tak ingin pula 'ku panggil kembali. Bukan kemudaan itu sendiri, melainkan suasana hati yang terkadang penuh semangat, terkadang menyenangkan, terkadang 'ku panggil kembali di sini, di goblog ini. 'Ku kira suasana-suasana hati itu dapat 'ku rasakan lagi hanya dengan mengitikinya di sini. Meski semakin mustahil, sungguh aku tiada peduli.
Ada juga siang-siang terik namun sejuk di kamar berdinding biru. Aku tidak pernah ingat ranjang lain kecuali ranjang susun masa kecilku yang sempat tidak dipasang atasnya, disimpan di gudang Babe Tafran malah jadi jembatan. Di situlah sisa-sisa kemudaan bercucuran, meski pernah juga demam sampai terpaksa makan parasetamol. Di luar sana Intan dengan rambut afronya, mungkin bersama anak-anaknya Babe Tafran pula. Itulah ketika muda dan bukan siapa-siapa. Betapa lucunya mengingat dalam keadaan tua dan pura-pura dosen begini. Sampai kapan.
Apa yang harus 'ku lakukan biasanya dislompret ketika leher dijenjangkan berlebih-lebihan bernuansa biru stabilo begitu, sedang yang satunya jangkar digayakan bernuansa kuning stabilo pula. Semua dari masa muda dan dungu. Semua telanjang kecuali bercelana dalam, sedang seringnya justru tidak bercelana dalam. Sampai menuding itu burung dari dalam celana lebah. Berjalan di sepanjang TB Simatupang ke arah timur menuju Pasar Rebo di bawah terik matahari, pastilah bau. Harus menahankan yang seperti itu, sama dengan waktu berjalan ke arah utara Radar Auri.