Daripada merasa kesakitan, lebih baik menjatuhi diri sendiri dengan cinta. Menjelang tengah malam yang dingin di akhir November ini, tumben Amsterdam belum bersalju. Malah hangat ini, mungkin karena mendung berhujan. Tempo hari aku berpapasan dengan Velen. Seperti biasa pertanyaannya kapan, yang 'kujawab dengan dengusan dan dehaman. "Lo sih pulang melulu." Untunglah aku tidak perlu terlalu memedulikannya, karena aku sedang jatuh cinta. Meski aku tidak baru saja ikut mengebom Berlin, dapat 'kurasakan bibir dan wajahku dikecupi.
Ya, dihujani kecupan oleh seorang perempuan muda berusia dua puluh tujuh tahunan. Uah, aku bahkan lupa rasanya berumur segitu, apatah lagi rasa seorang perempuan berumur segitu. Umur segitu memang sudah sangat patut berumah-tangga. Sedih malah jika belum. Seingatku, umur segitu aku sedang tolol-tololnya. Tahun 2003 apakah aku menyongsong kehancuranku. Cahaya dari samping ini sungguh sangat mengganggu, sedang kalau pas di depan terlalu silau. Begini lumayanlah. Toccata ini begitu saja 'nyelonong menemaniku yang tak lagi muda, pun masih dungu.
Jika ada mahluk mengerikan menyapamu di warung modern ber-AC atau di depan warung pulsa, memanggilmu "Om", sudah tentu kau terus berlalu. Jadi tidak usah gaya-gayaan. Seperti lagu kecil ini, tentu ada yang menjijikkan. Begitu menjijikkannya sampai membuat mual. Bagaimana kalau bentuknya saja yang menjijikkan. Tutur-kata, tindak-tanduk, bahkan baunya harum mewangi. Tidak! Tobat bin kapok tidak mau gaya-gayaan lagi. Memang standarku sudah rendah maka jangan direndahkan lagi. Ini lagi kemarin dimainkan dengan piano sedang aku kejijikan begini.
Lantas bagaimana dengan keindahan dunia. Dunia, hidup di atasnya ini memang indah, tinggal bagaimana menikmatinya. Wow, belum lama ternyata Culap-culip mengudara. Baru tahun lalu dan beberapa videonya sudah ditonton jutaan kali. Pasti tidak mudah membuat yang seperti itu, meski mungkin jauh lebih mudah daripada mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dengan anggota-anggota para pemimpin rakyat sejati yang berhikmat kebijaksanaan. Ada lagi usul membuat lumbung sebagai alat pengisian MPR. Masih ada lagi majelis ketuhanan, majelis kemanusiaan, majelis persatuan, majelis kerakyatan, dan majelis keadilan.
Apa mereka tidak tahu betapa gila terdengarnya usul-usul mereka itu. Jangan-jangan demikian pula terdengarnya segala omonganku. Ini membuatku teringat pada seorang gadis yang menyapu kantor, yang pernah kemasukan orang gila mau pinjam kamus. Bukan hanya satu melainkan beberapa, yang aku tidak mau kenal lagi. Orang gila itu pernah kencing dan wudhu sekali di wastafel Warung Alo. Kenapa jadi membahas orang gila, bukan gadisnya. Karena gadis-gadis tidak akan pernah habis dibahas, sedang orang gila jika dihabisi takkan ada yang meratapi. Aku ini.
Aku senang, meski melanggar jumlah baris, tetap rata kanan-kiri. Jika itu saja tersisa untuk kesenanganku, tidak menjadi apa. Jikapun aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi pada fananya dunia, itupun tidak menjadi apa. Cinta, jika sejati, tidak akan jatuh apalagi menjatuhi. Biarlah keindahan dunia berseliweran di hadapanku, aku selalu bisa tersenyum karenanya. Apakah orang gila itu tidak lupa mencuci kelaminnya, atau bahkan mandi besar sekali sebelum wudhu, aku malas menanyakannya. Biar Penciptanya yang menilai, lantas menerima atau menolak sholatnya.
Keharuman itu akan selalu tinggal dalam benakku, jika tidak lagi pada epitel rongga hidungku. Tidak perlu lagi 'kuhirup dalam-dalam a la Jean-Baptiste Grenouille. Cukup 'kusungging senyum dan keharuman itu kembali padaku, denganku. Apakah ia sekadar menyelimuti atau mendekapku erat, kini terserah padaku. Bahkan harumnya yang gurih itu sampai bisa 'kucecap dengan indera perasa pada lidahku, entah itu berarti bibir saling berpagut, lidah berjalin-berkelindan. Meski pangkal lidah elek-elekan dicincang kecil-kecil pun digoreng garing, aku akan tetap mencinta.
Ya, dihujani kecupan oleh seorang perempuan muda berusia dua puluh tujuh tahunan. Uah, aku bahkan lupa rasanya berumur segitu, apatah lagi rasa seorang perempuan berumur segitu. Umur segitu memang sudah sangat patut berumah-tangga. Sedih malah jika belum. Seingatku, umur segitu aku sedang tolol-tololnya. Tahun 2003 apakah aku menyongsong kehancuranku. Cahaya dari samping ini sungguh sangat mengganggu, sedang kalau pas di depan terlalu silau. Begini lumayanlah. Toccata ini begitu saja 'nyelonong menemaniku yang tak lagi muda, pun masih dungu.
Jika ada mahluk mengerikan menyapamu di warung modern ber-AC atau di depan warung pulsa, memanggilmu "Om", sudah tentu kau terus berlalu. Jadi tidak usah gaya-gayaan. Seperti lagu kecil ini, tentu ada yang menjijikkan. Begitu menjijikkannya sampai membuat mual. Bagaimana kalau bentuknya saja yang menjijikkan. Tutur-kata, tindak-tanduk, bahkan baunya harum mewangi. Tidak! Tobat bin kapok tidak mau gaya-gayaan lagi. Memang standarku sudah rendah maka jangan direndahkan lagi. Ini lagi kemarin dimainkan dengan piano sedang aku kejijikan begini.
Lantas bagaimana dengan keindahan dunia. Dunia, hidup di atasnya ini memang indah, tinggal bagaimana menikmatinya. Wow, belum lama ternyata Culap-culip mengudara. Baru tahun lalu dan beberapa videonya sudah ditonton jutaan kali. Pasti tidak mudah membuat yang seperti itu, meski mungkin jauh lebih mudah daripada mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dengan anggota-anggota para pemimpin rakyat sejati yang berhikmat kebijaksanaan. Ada lagi usul membuat lumbung sebagai alat pengisian MPR. Masih ada lagi majelis ketuhanan, majelis kemanusiaan, majelis persatuan, majelis kerakyatan, dan majelis keadilan.
Apa mereka tidak tahu betapa gila terdengarnya usul-usul mereka itu. Jangan-jangan demikian pula terdengarnya segala omonganku. Ini membuatku teringat pada seorang gadis yang menyapu kantor, yang pernah kemasukan orang gila mau pinjam kamus. Bukan hanya satu melainkan beberapa, yang aku tidak mau kenal lagi. Orang gila itu pernah kencing dan wudhu sekali di wastafel Warung Alo. Kenapa jadi membahas orang gila, bukan gadisnya. Karena gadis-gadis tidak akan pernah habis dibahas, sedang orang gila jika dihabisi takkan ada yang meratapi. Aku ini.
Aku senang, meski melanggar jumlah baris, tetap rata kanan-kiri. Jika itu saja tersisa untuk kesenanganku, tidak menjadi apa. Jikapun aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi pada fananya dunia, itupun tidak menjadi apa. Cinta, jika sejati, tidak akan jatuh apalagi menjatuhi. Biarlah keindahan dunia berseliweran di hadapanku, aku selalu bisa tersenyum karenanya. Apakah orang gila itu tidak lupa mencuci kelaminnya, atau bahkan mandi besar sekali sebelum wudhu, aku malas menanyakannya. Biar Penciptanya yang menilai, lantas menerima atau menolak sholatnya.
Keharuman itu akan selalu tinggal dalam benakku, jika tidak lagi pada epitel rongga hidungku. Tidak perlu lagi 'kuhirup dalam-dalam a la Jean-Baptiste Grenouille. Cukup 'kusungging senyum dan keharuman itu kembali padaku, denganku. Apakah ia sekadar menyelimuti atau mendekapku erat, kini terserah padaku. Bahkan harumnya yang gurih itu sampai bisa 'kucecap dengan indera perasa pada lidahku, entah itu berarti bibir saling berpagut, lidah berjalin-berkelindan. Meski pangkal lidah elek-elekan dicincang kecil-kecil pun digoreng garing, aku akan tetap mencinta.