Entah karena aku jengkel dengan gambaran, atau mejanya tidak rata, atau entah mengapa, namun bunyi kethuwal-kethuwil ini menjadi ekstra membuat kesal. Terlepas darinya, gambaran di bawah ini memang epik. Entah apa yang terjadi di bawah sana, yang jelas ekspresionis mirip dengan legendaris Lutung Kasarung. Aku belum lagi tahu apakah sama Asus VivoBook dengan Samsung Galaxy Tab A ini, namun tadi ada juga rencana untuk tidak peduli dengan itu semua. Babat saja terus entah apa jadinya. Beberapa hari kemudian, aku tahu keduanya tidak pernah sama.
Minggu ini aku tiada mengapa-apa, mungkin karena Asus VivoBook kutitipkan Pak Cecep untuk diperiksa mengapa spikernya brebek. Namun itu tentu hanya alasan, karena hari ini VivoBook telah kembali. Meski belum cukup lama diputar, sejauh ini tidak brebek spikernya. Pak Cecep melaporkan bahwa setelah dua jam diputar ia tidak juga brebek. Semoga seterusnya demikian. Sebenarnya agak sayang membuang-buang daya otak, namun apatah daya. Semoga otakku semakin berdaya setelah ini. Apa harus kupasang gambar mentor Yussuf dan mentor Faisal di depanku.
Biarlah di Minggu siang yang gerah ini kutinggalkan itu semua menuju pantai tropis yang belum dijamah orang kecuali diriku sendiri. Apa yang akan kulakukan di tempat seperti ini, berbincang dengan pikiran dan perasaanku sendiri. Sungguh membosankan, karena di mana pun aku bisa melakukannya, terutama di tengah keramaian. Di tengah suasana alam bebas ini, aku bisa bersantai dari itu semua. Kubiarkan burung-burung berceloteh menceritakan dongeng mereka mengenai negeri-negeri jauh atau tempat hidupnya yang itu-itu saja. Di situ ia menetas, di situ ia mati.
Ataukah ini entri mengenai keindahan, ketika dibiarkan jatuh tergerai di atas bahu, sedikit dijepit ke atas di bagian depan agar tidak menutupi dahi dan muka. Bentuk memang tidak pernah menjadi yang nomer satu. Asalkan tidak terlalu banyak, kekurangan justru merupakan kekhasan, seakan karenanya menjadi milik pribadi, tercipta hanya untuk diri seorang. Selebihnya adalah seberapa banyak syukur atas rasa cinta yang dianugerahkan, yang membungkus lembut hati bagai dalam rahim ibu. Jika semua cinta di dunia ini seperti itu, mungkin takkan ada kesakitan.
Ketika matahari terbenam, yang ada hanya kehangatan. Cinta selalu saja tercipta hanya untuk cinta. Jangan dikotori dengan rakus serakahnya dunia. Resapi cinta yang tiada akan pernah didapat dari raga, karena cinta adanya di jiwa. Jiwa itu selalu satu adanya. Itulah yang dirasa ketika cinta melanda, rindu dendam terasa sungguh menyiksa. Itulah ketika jiwa yang hakikatnya satu dibelah menjadi dua. Ingin bersatu saja senantiasa. Jangan pula tertipu ketika raga saling menyatu, berjalin-berkelindan. Bukan itu penyatuan, karena yang bersatu selalu saja jiwa. Satu itu Jiwa.
Ketika perut bapak-bapak botak gendut mengalir sampai jauh, sampai tidak tertebak nomer celananya, apatah lagi mereknya. Ketika kurus-gendutnya bapak-bapak disangka kuasa membuat ibu-ibu menjadi curiga. Ketika itulah sadar belaka dunia ini serba sementara, seakan melihat makam-makam bertebaran di bawah sana. Entah makam siapa, nyatanya semua akan dimakamkan, kecuali yang jasadnya dibakar atau lain-lain penyelenggaraan. Ini lucunya seperti jenazah dipulasara padahal seharusnya upacara. Nyatanya, upacara penguburan itu tanda peradaban.
Bukan hanya angin yang mendesau di sini, ombak pun, musik pun. Saraf-sarafku pun terasa mengendur. Namun jika terlalu kendur begini, pelupuk mata pun memberat. Ketika inilah terkenang secangkir kopi hitam pahit dari masa muda, meski kepul-kepulnya asap rokok tiada kurindukan sama sekali apatah lagi alkohol. Aku hanya ingin merayakan keindahan di sekelilingku, atau menikmati. Keindahan yang tidak lagi membangkitkan gairah dan semangat, tetapi mengendurkan urat-urat saraf yang terasa tegang seperti tersentuh tangan terapis ulung, namun tidak sempoyongan.
Meski berkendara di atas kereta kencana sekalipun tidak akan menandingi sedapnya hammock diayun-ayun angin lalu. Apakah itu di gelanggang renang atau tepi saluran irigasi sama-sama sedap, sejuk, segar airnya. Apakah setelahnya makan nasi berlauk tumis oncom atau sekadar kue pukis diberi bersaos mie ayam sungguh mengembalikan tenaga yang terkuras gara-gara bercibang-cibung dari puluhan tahun lalu. Sepulangnya apakah naik Metromini S.72 atau PPD Patas P.24 yang dirasakan hanya kesenangan belaka, ketika hanya beberapa tahun lebih tua dari Adjie kini.
Minggu ini aku tiada mengapa-apa, mungkin karena Asus VivoBook kutitipkan Pak Cecep untuk diperiksa mengapa spikernya brebek. Namun itu tentu hanya alasan, karena hari ini VivoBook telah kembali. Meski belum cukup lama diputar, sejauh ini tidak brebek spikernya. Pak Cecep melaporkan bahwa setelah dua jam diputar ia tidak juga brebek. Semoga seterusnya demikian. Sebenarnya agak sayang membuang-buang daya otak, namun apatah daya. Semoga otakku semakin berdaya setelah ini. Apa harus kupasang gambar mentor Yussuf dan mentor Faisal di depanku.
Biarlah di Minggu siang yang gerah ini kutinggalkan itu semua menuju pantai tropis yang belum dijamah orang kecuali diriku sendiri. Apa yang akan kulakukan di tempat seperti ini, berbincang dengan pikiran dan perasaanku sendiri. Sungguh membosankan, karena di mana pun aku bisa melakukannya, terutama di tengah keramaian. Di tengah suasana alam bebas ini, aku bisa bersantai dari itu semua. Kubiarkan burung-burung berceloteh menceritakan dongeng mereka mengenai negeri-negeri jauh atau tempat hidupnya yang itu-itu saja. Di situ ia menetas, di situ ia mati.
Ataukah ini entri mengenai keindahan, ketika dibiarkan jatuh tergerai di atas bahu, sedikit dijepit ke atas di bagian depan agar tidak menutupi dahi dan muka. Bentuk memang tidak pernah menjadi yang nomer satu. Asalkan tidak terlalu banyak, kekurangan justru merupakan kekhasan, seakan karenanya menjadi milik pribadi, tercipta hanya untuk diri seorang. Selebihnya adalah seberapa banyak syukur atas rasa cinta yang dianugerahkan, yang membungkus lembut hati bagai dalam rahim ibu. Jika semua cinta di dunia ini seperti itu, mungkin takkan ada kesakitan.
Ketika matahari terbenam, yang ada hanya kehangatan. Cinta selalu saja tercipta hanya untuk cinta. Jangan dikotori dengan rakus serakahnya dunia. Resapi cinta yang tiada akan pernah didapat dari raga, karena cinta adanya di jiwa. Jiwa itu selalu satu adanya. Itulah yang dirasa ketika cinta melanda, rindu dendam terasa sungguh menyiksa. Itulah ketika jiwa yang hakikatnya satu dibelah menjadi dua. Ingin bersatu saja senantiasa. Jangan pula tertipu ketika raga saling menyatu, berjalin-berkelindan. Bukan itu penyatuan, karena yang bersatu selalu saja jiwa. Satu itu Jiwa.
Ketika perut bapak-bapak botak gendut mengalir sampai jauh, sampai tidak tertebak nomer celananya, apatah lagi mereknya. Ketika kurus-gendutnya bapak-bapak disangka kuasa membuat ibu-ibu menjadi curiga. Ketika itulah sadar belaka dunia ini serba sementara, seakan melihat makam-makam bertebaran di bawah sana. Entah makam siapa, nyatanya semua akan dimakamkan, kecuali yang jasadnya dibakar atau lain-lain penyelenggaraan. Ini lucunya seperti jenazah dipulasara padahal seharusnya upacara. Nyatanya, upacara penguburan itu tanda peradaban.
Bukan hanya angin yang mendesau di sini, ombak pun, musik pun. Saraf-sarafku pun terasa mengendur. Namun jika terlalu kendur begini, pelupuk mata pun memberat. Ketika inilah terkenang secangkir kopi hitam pahit dari masa muda, meski kepul-kepulnya asap rokok tiada kurindukan sama sekali apatah lagi alkohol. Aku hanya ingin merayakan keindahan di sekelilingku, atau menikmati. Keindahan yang tidak lagi membangkitkan gairah dan semangat, tetapi mengendurkan urat-urat saraf yang terasa tegang seperti tersentuh tangan terapis ulung, namun tidak sempoyongan.
Meski berkendara di atas kereta kencana sekalipun tidak akan menandingi sedapnya hammock diayun-ayun angin lalu. Apakah itu di gelanggang renang atau tepi saluran irigasi sama-sama sedap, sejuk, segar airnya. Apakah setelahnya makan nasi berlauk tumis oncom atau sekadar kue pukis diberi bersaos mie ayam sungguh mengembalikan tenaga yang terkuras gara-gara bercibang-cibung dari puluhan tahun lalu. Sepulangnya apakah naik Metromini S.72 atau PPD Patas P.24 yang dirasakan hanya kesenangan belaka, ketika hanya beberapa tahun lebih tua dari Adjie kini.