Tadinya 'kupikir aku senang sudah menggunakannya sebagai judul, namun ternyata, setelah umek dengan urusan penggambaran, biasa saja. Lagipula, waktu muda mungkin masih bisa lah Plerktekuk, yang ternyata sudah ada yang punya ide begitu. Setua ini, ternyata malah Plermndelep. Itulah nama-nama yang keren, terdengar seperti nama-nama orang Slav atau Balkan begitu. Singkat kata, itulah yang terjadi jika aku seorang diri. Jika bersama seseorang, Insya Allah yang seperti itu tidak akan mendatangi. Namun bila seorang diri, drubiksa-drubiksa bernama demikian itulah sama menggentayang mendatangi.
Ini entri tidak maju-maju entah sejak kapan, lebih lagi disertasiku. Pagi ini, Jepri Osborne melolong-lolong main basbisbus pisang rebus yang terdengar seperti nama salah satu anak Rahwana, Bukbis Mukasura. Setelah menyantap mie ayam dari Kelompok Donoloyo, masih ditambah tiga potong batagor yang sebenarnya kulit pangsit diberi beradonan tepung gurih lantas digoreng, segelas teh Sosro hangat setengah manis, sepulangnya masih diteruskan dengan madu Tresno Joyo jahe merah mentol diseduh air hangat. Salah satunya mungkin bisa mengurangi asupan teh hitam pekat nan kental.
Begitu maju malah begini, terlebih dengan teristimewa untukmu adalah ketika aku bergelantungan pada tuyul, mungkin sambil berkhayal mengenai hidup di masa depan. Tahu apa aku ketika itu, ketika berkhayal menjadi penerbang F-16 bersama callsigns Panther, Jaguar, dan Puma, sedangkan aku Viper. Meski beberapa tahun kemudian terlihat semakin terbuka jalan ke arah situ, nyatanya dari dua ratusan lebih pemuda-pemuda terpilih seluruh Nusantara, hanya satu yang menerbangkan F-16, yakni Yulmaizir. Rumi masih jauh mending dari aku yang pagi-pagi gendut begini mengitiki.
Jangan lupa, meski sama-sama mengeluarkan kobaran api, Bukbis berbeda dari Trinetra, meski keduanya sama-sama putra Prabu Rahwana. Trinetra, seperti namanya, bermata tiga, dengan mata ketiga pada dahinya. Dari mata ketiganya inilah Trinetra menyemburkan api yang memanggang para wanara jadi sate kunyuk, entah bumbu kecap atau kacang. Sedangkan Bukbis harus mengenakan sebentuk topeng perunggu dulu, entah dengan merapal mantra atau tidak, barulah berkobar-kobar api dari topeng itu membakar persekitaran kecuali tubuhnya sendiri. Hasilnya sama-sama sate kunyuk.
Aku tidak pernah tahu bahkan malam-malam menjadi lebih baik, meski aku sudah tahu dari jaman sekolah dasar, ternyata sekadar memilin-milin biji buncis. Menemplok padaku seperti seekor kera buntung, hanya itulah yang kualami dari malam-malam yang katanya lebih baik. Meski pernah berkumpul mereka bertiga, Sutoro Margono yang sok-sokan jadi Torro Maraigendeng jelas lebih beruntung dariku, jika itu dapat dikatakan keberuntungan. Namun jelaslah tidak mungkin begitu. Teknik-teknik menarik simpulan menjadi olok-olokan dalam semesta gubahan Mas Toni Edi Riwanto ini, biar saja begitu.
Aku masih ingat melalui pesawat delapan satu sembilan dua lima empat enam tidak sanggup mengendalikan. Setiap pagi berangkat setengah enam naik mikrolet sampai Cawang disambung Mayasari Bakti Lima Tujuh, sampai terminal Blok M. Itulah ketika salah satunya bertahan sampai beberapa tahun kemudian hanya untuk mengenalkan kesakitan yang mungkin pertama dan satu-satunya. Dalam kedinginan LKHT yang sekarang menjadi ILUNI, segala sesuatunya sangat berbeda tanpamu. Kesakitan demi kehinaan tiada henti mendera setelah itu. Setua ini, semua terasa seperti sakit tumpul.
Hahaha tiada kronologi, tiada sebab akibat, sedangkan menulis disertasi. Asaptaga, akankah aku berhasil melaluinya, bilakah. Si culun Ricky Jo salah menggunakan kata "bila" dari sudut pandangku. Seharusnya "akan", tapi itu 'kan menurutku. Uah, pertombolan papantekan ini sungguh menjengkelkan tata-letaknya, dengan tombol fungsi bersebelahan dengan kontrol. Namun tidaklah perlu jengkel. Ini alinea terakhir, jadi santai saja. Setelah baris ini, kau bisa ngomyang sesukamu. Tidakkah itu yang dari tadi kaulakukan. Aku memang cuma bisa ini, selebihnya menggerakkan naik turun saja.
Ini entri tidak maju-maju entah sejak kapan, lebih lagi disertasiku. Pagi ini, Jepri Osborne melolong-lolong main basbisbus pisang rebus yang terdengar seperti nama salah satu anak Rahwana, Bukbis Mukasura. Setelah menyantap mie ayam dari Kelompok Donoloyo, masih ditambah tiga potong batagor yang sebenarnya kulit pangsit diberi beradonan tepung gurih lantas digoreng, segelas teh Sosro hangat setengah manis, sepulangnya masih diteruskan dengan madu Tresno Joyo jahe merah mentol diseduh air hangat. Salah satunya mungkin bisa mengurangi asupan teh hitam pekat nan kental.
Begitu maju malah begini, terlebih dengan teristimewa untukmu adalah ketika aku bergelantungan pada tuyul, mungkin sambil berkhayal mengenai hidup di masa depan. Tahu apa aku ketika itu, ketika berkhayal menjadi penerbang F-16 bersama callsigns Panther, Jaguar, dan Puma, sedangkan aku Viper. Meski beberapa tahun kemudian terlihat semakin terbuka jalan ke arah situ, nyatanya dari dua ratusan lebih pemuda-pemuda terpilih seluruh Nusantara, hanya satu yang menerbangkan F-16, yakni Yulmaizir. Rumi masih jauh mending dari aku yang pagi-pagi gendut begini mengitiki.
Jangan lupa, meski sama-sama mengeluarkan kobaran api, Bukbis berbeda dari Trinetra, meski keduanya sama-sama putra Prabu Rahwana. Trinetra, seperti namanya, bermata tiga, dengan mata ketiga pada dahinya. Dari mata ketiganya inilah Trinetra menyemburkan api yang memanggang para wanara jadi sate kunyuk, entah bumbu kecap atau kacang. Sedangkan Bukbis harus mengenakan sebentuk topeng perunggu dulu, entah dengan merapal mantra atau tidak, barulah berkobar-kobar api dari topeng itu membakar persekitaran kecuali tubuhnya sendiri. Hasilnya sama-sama sate kunyuk.
Aku tidak pernah tahu bahkan malam-malam menjadi lebih baik, meski aku sudah tahu dari jaman sekolah dasar, ternyata sekadar memilin-milin biji buncis. Menemplok padaku seperti seekor kera buntung, hanya itulah yang kualami dari malam-malam yang katanya lebih baik. Meski pernah berkumpul mereka bertiga, Sutoro Margono yang sok-sokan jadi Torro Maraigendeng jelas lebih beruntung dariku, jika itu dapat dikatakan keberuntungan. Namun jelaslah tidak mungkin begitu. Teknik-teknik menarik simpulan menjadi olok-olokan dalam semesta gubahan Mas Toni Edi Riwanto ini, biar saja begitu.
Aku masih ingat melalui pesawat delapan satu sembilan dua lima empat enam tidak sanggup mengendalikan. Setiap pagi berangkat setengah enam naik mikrolet sampai Cawang disambung Mayasari Bakti Lima Tujuh, sampai terminal Blok M. Itulah ketika salah satunya bertahan sampai beberapa tahun kemudian hanya untuk mengenalkan kesakitan yang mungkin pertama dan satu-satunya. Dalam kedinginan LKHT yang sekarang menjadi ILUNI, segala sesuatunya sangat berbeda tanpamu. Kesakitan demi kehinaan tiada henti mendera setelah itu. Setua ini, semua terasa seperti sakit tumpul.
Hahaha tiada kronologi, tiada sebab akibat, sedangkan menulis disertasi. Asaptaga, akankah aku berhasil melaluinya, bilakah. Si culun Ricky Jo salah menggunakan kata "bila" dari sudut pandangku. Seharusnya "akan", tapi itu 'kan menurutku. Uah, pertombolan papantekan ini sungguh menjengkelkan tata-letaknya, dengan tombol fungsi bersebelahan dengan kontrol. Namun tidaklah perlu jengkel. Ini alinea terakhir, jadi santai saja. Setelah baris ini, kau bisa ngomyang sesukamu. Tidakkah itu yang dari tadi kaulakukan. Aku memang cuma bisa ini, selebihnya menggerakkan naik turun saja.
No comments:
Post a Comment