Apalagi kalau lewat pagi-pagi sekitar jam sepuluhan, ia bisa merundungmu. Syukur kalau masih hanya beberapa menit, setengah jam paling lama. Bagaimana kalau sepanjang hari itu kau jadi ber-cil takocil cil cil. Apa tidak konyol. Sebuah kamar kecil yang selalu cenderung gelap bahkan di siang hari bolong memang boleh saja diterangi bohlam meski lima atau sepuluh watt. Di dalamnya bisa jadi ada seorang perempuan muda yang begitu saja memelorotkan handuk yang melingkari badannya setelah mandi, menggantinya dengan rok dan blus. Entah habis pulang atau mau berangkat kerja, begitulah perempuan.
Apapun itu, kemudaan memang selalu begitu. Di satu sisi, ia penuh tenaga, khayal maupun nyata. Ia bahkan seringnya ditenagai khayalan, meski kemudian mewujud dalam kenyataan. Di lain sisi, ia tidak punya apa-apa kecuali sedikit sekali, terutama kebijaksanaan, apalagi hikmat. Namun itulah yang menarik dari kemudaan. Ia punya segalanya sekaligus tidak punya apa-apa. Terlebih apabila ia perempuan. Aku sekarang sulit membayangkan perempuan tanpa kerudung, mungkin karena aku sendiri sudah tua sedang anak-anak perempuanku beranjak dewasa. Aku tidak gaya-gaya'an sok tidak mau masuk surga.
Kerinduanku pada pematang yang di sana-sini ditingkahi pohon kelapa atau pepohonan lainnya jelas tidak dirasakan oleh anak-anak perempuanku. 'Kurasa memang sudah dari jaman Nabi Adam namanya perempuan mendambakan kekayaan, maka figurin Venus digambarkan dalam bentuk perempuan gemuk. Jangan-jangan pematungnya laki-laki. Uah, laki-laki memang dari jaman dinosaurus tidak pernah menyimpang dari kekentuan. Dua itu jika sampai bertemu--lelaki dengan kekentuannya dan perempuan dengan kekayaannya--bisa menyesatkan manusia dari jalan pulang ke kampung halaman.
Cintailah Aku! Ini bukan rengekan mengemis cinta. Ini perintah yang bergemerincing riang begitu. Ah, untung dia sudah berakhir. Maka 'kukancingkan celanaku, melangkah mantap menembus udara Manhattan yang sudah mulai menusuk tulang di awal Oktober ini. Khayalan mengenai seribu kunang-kunang yang menutupi sepetak sawah, sedang berkhayalnya di sebuah apartemen di ketinggian Manhattan memang keterlaluan picisannya, meski Umar Kayam sekali yang mengkhayalkannya. Aku lebih suka rumah petakan berbau sedikit apak--ada tidak ada kunang-kunangnya--di tepi kebun kecapi.
Apa yang akan kaulakukan, ketika kau tengah menggumuli perempuanmu, berdua telanjang bulat tentunya, sedangkan tangan-tangan menggerayang dari kaca nako bertutup tirai lusuh. Apa kau akan melompat menepis tangan-tangan itu dengan kebulatan telanjangmu, seraya meneriakkan seruan perang. Kau tidak tahu apa-apa mengenai perang, anak kota. Bahkan persetubuhanmu pun sesinis barang-barang Cina yang beberapa puluh tahun kemudian membanjiri negeri sawah berkunang-kunangmu. Kau, tentu saja, tidak bisa apa-apa ketika itu; Bahkan yang kaugumuli pun sekadar guling.
Dari hari ke hari, tanpa kausadari, kaunikmati kehidupanmu dengan berbagai hidangan sarapan, paling seringnya nasi lengkap dengan lauk-pauknya, sampai perutmu tumpah-ruah. Tidak ada bedanya apakah ketika itu kau sudah berkeluarga, berumah-tangga seperti orang-orang kebanyakan. Namun tetap harus kausyukuri. Bayangkan, dengan melemahnya badan, kau masih tetap bergentayangan di tepi-tepi jalan, di emperan-emperan toko di sepanjang peron stasiun, yang bahkan sekarang sudah tidak ada gara-gara Jonan. Maka tertibkan, seperti halnya badanmu hanya duduk-duduk, begitu pula sebaiknya pikiran.
Jadilah Kekasihku! 'Kusemburkan lagi perintah pada seorang perempuan muda, yang bahkan mungkin belum cukup umur. 'Kupunguti kepingan-kepingan hatiku, sedang yang kecil-kecil 'kukumpulkan dengan sapu ke dalam pengki. 'Kulemparkan ia ke kenangan akan pematang ditingkahi pepohonan kelapa atau entah apa; Aku pun melangkah pergi, meninggalkan Claire seorang diri. Gadis dari masa kecilku sendiri, selalu ada meski aku belum tahu namanya; Aku bahkan tidak menengoknya lagi barang sekali. Sudahkah ia tumbuh menjadi perempuan dewasa aku tidak peduli. Aku lebih baik sendiri. Sepi.
No comments:
Post a Comment