Sedang aku diguyur elusan lembut kombo bossas yang terdiri dari gitar, bass, piano, dan drum, hujan berderai di telingaku. Sedang bauku, 'kuyakin, seperti kunyuk, aku akhirnya mengetiki. Sepertinya harus retroaksi, entah mengapa aku merasa setiap bulan tidak boleh hanya satu. Bahkan tiga juga tidak boleh, sedangkan kebiasaan membuat kalimat asal-asalan seperti ini benar-benar merugikanku, sepertinya. Hujan ini membelai derainya, seperti tawa seorang kekasih. Aku menyesal telah iseng membacanya, sekarang ia lekat seakan-akan diukir di batu gunung.
Apa bedanya denganku, yang jengkel tiap kali harus memeriksa pratinjau. Ia mungkin juga menyesali dirinya tiap-tiap kali. Lantas Widiyanto Rambut menyebutnya bandot, jika begitu aku apa. Aku tentu jauh lebih nista dari itu, meski tidak tega juga membayangkan tahi bandot yang hitam bulat-bulat itu. Terkadang bentuknya seperti serumpun anggur yang sudah mengismis, tetapi masih serumpun. Yah, seperti Indonesia dan Malaysia begitu. Serumpun. Betapa menjengkelkan, namun mengasyikkan. Kau pasti tahu apa yang asyik itu, namun aku tidak tega.
Ya, itu bentuk paragraf di atas ini. Menjengkelkan. Menyakiti mata. Seperti melihat Jl. Kompleks Angkasa Pura K28 yang hancur lebur, dengan angka 28 ditulis tangan jelek begitu. Balik kanan, aduhai betapa kumuhnya yang dalam kenanganku indah permai. Namun ingatanku tidak salah. Pada saat itu memang indah permai dengan beberapa batang pohon kelapa melambai-lambai menghiasi kaki langit. Dapat kubayangkan Fokker 27 atau 28 sekali melakukan pendekatan terakhirnya pada landasan pacu utama, melintas di atas kantor redaksi Kartini dan Ananda.
Lantas berguncang-guncang itu, mengapa begitu menariknya dari kecilku dulu. Apa yang 'kusesali, siapa yang dapat 'kusalahkan, 'kucela, selain diri sendiri. Ketika jalan agak berbelok ke kiri sebelum mencapai pagar kompleks yang seingatku tidak pernah ditutup. Di luar sana ada sekolahku Taman Siswa cabang Kemayoran Gempol, yang di seberangnya ada pohon sengon, rumah Nico dan Vera. Astaga betapa ini semua kini terasa musykil. Bahkan semur tahu Ibu yang surgawi itu, belum dengan sambal tomatnya sekali, terasa semakin jauh dari jangkauan. Haruskah 'kulepas?
Ini suatu kenyataan yang memang tidak pernah 'kututup-tutupi, ketika aku terlempar jauh ke dekat Monjali, merokok entah apa. Namun yang pasti aku merokok, pada ketika aku perkasa tidak bodoh iya. Mungkin aku setolol Tarsisius Legiman pada saat itu, meski Legiman sudah pasti tidak tolol ketika ia hanya sibuk mensucikanNya. Nyatanya, aku tidak pernah berhenti tolol-tololan sampai hari ini, sampai seringkali jengkel pada diri sendiri. Sejauh ini seharusnya sudah mengonfirmasi bahwa memang bukan di sini dan mustahil di sini. Lantas apa lagi yang 'kaukuatirkan, hah.
Uah, aku terlempar lagi jauh ke belakang, apakah di ruang tamu berubin kelabu, atau ruang belakang berkarpet vinil. Bunyi senapan mesin setelahnya seakan memberitahuku bahwa kelak dalam kehidupanku, aku akan benar-benar berurusan dengannya meski sebentar. Akan halnya kehidupanku sendiri, tidak banyak beranjak dari ruang tamu berubin kelabu itu, atau ruang belakang berkarpet vinil, sampai ubin kuning dan merah, kelabu lagi. Selalu saja tulisan dan tulisan, baik bermakna maupun tidak. Aku tetap di situ, meski gambar-gambarnya semakin tidak menarik.
Aku masih tetap yang Terbaik dari Puncak Keenam, meski jikapun pernah ada perempuan yang tergila-gila padaku, aku tidak tahu atau sudah lupa seperti apa. Hanya saja aku ingat pernah memainkan harmonika di bawah jendela putri-putri, bahkan sekadar berkaus putih sedang seingatku perut sudah mengalir ke mana-mana. Ya, dekat tanah kosong yang hampir dibuat lokasi wisata seks alam bebas Oom Bagas. Pada saat inilah aku terlontar jauh ke depan, seakan-akan dengan katapel uap kapal induk, seperti ketika aku menunggu keberangkatanku kali pertama ke Belanda.
No comments:
Post a Comment