"Kita akan menari, kita akan menyanyi di waktu [musim] semi." Sangat bisa jadi ini adalah ajakan Kawan Sabarudin Freak. Lantas Alasanku yang sangat sulit dimainkan dengan gitar belaka, apalagi piano, selalu menghiasi pikiran dan perasaanku, dari masa kecilku. Katanya sudah mengakhiri masa kecil. Orang biasanya mengakhiri masa lajang, aku mengakhiri masa kecil. Sejujurnya, tidak banyak yang 'kuingat antara paruh kedua 1988 sampai paruh pertama 1990, kecuali detektif citarasa lama. Sebenarnya aku sudah curiga ketika itu, namun bagus 'lah kecurigaan itu tidak 'kupupuk pada saat itu.
Aduhai ini lagi, Selama-lamanya akan seperti ini. Mungkin sejak kecil aku memang bapak-bapak tua, gendut, botak, namun amit-amit tidak pedofil. Aku terlalu mencintai keindahan untuk merusaknya. Contohnya bunga, aku tidak suka memetik. Memandangi aku suka, sampai tersenyum-senyum sendiri. Memetik aku benci, sama bencinya dengan mengurung burung dalam sangkar, merantai anjing. Ini bukan mengungkap nilai-nilai. Ini sekadarnya saja berbicara pada diriku sendiri yang sedang kurang yes. Maka kubisikkan, "Selamat tinggal, Sayang. Selamat tinggal," sambil 'kukecup lembut keningnya.
Memang benar, ada yang sedang memberati pikiranku, namun tidak hatiku. Pikiranku berat, namun hatiku Insya Allah ringan, karena apapun yang terjadi, terjadilah. Aku akan selalu setia padamu. Maka peluklah aku dalam mimpi-mimpimu, sampai 'kukembali lagi padamu. Selama kau mengenangku, aku tidak akan terlalu jauh. Tidak bisa lain dalam ciptaku kecuali rambutnya yang tebal, kasar, mengembang berombak-ombak dengan baunya yang lucu. Seperti itulah. Memang percintaan kami sudah bukan cinta remaja yang menggebu-gebu. Cintaku padanya paruh-baya. Tenang berdenyut-denyut, lamat-lamat saja.
Seandainya kalimat-kalimatku bisa selugas dan sependek ini ketika aku memang harus berkalimat. Namun, seperti memeriksa pratinjau, kebiasaan buruk sulit hilang. Sebenarnya bisa saja aku menulis, tapi ini 'kan asal goblek ngga pakai 'mikir. Kalau pakai 'mikir mungkin tidak akan kuat berlama-lama. Sekarang ini entah bagaimana, apakah karena triki triki atau entah apa, memang terasa agak rampak. Kalaupun tadi agak tersendat, itu karena memeriksa apakah triki atau drigi. Memang sedap belaka dangdut Italia ini, entah siapa yang mengatakannya. Tidak perlu pula 'kukoreksi menjadi Yunani.
Begitulah aku suka keindahan. Masa suka kejelekan, kehancuran, kehinaan, keburukan. Tidak 'lah. Bagaimana dengan Malam-malam Kesepian. Aduh jangan, dong. Sekarang mungkin tidak terlalu takut, karena Cantik masih hanya beberapa langkah dariku. Kalau sudah benar-benar ribuan mil, aduhai, takut. Apalagi dengan rasa badan seperti ini. Tidak benar-benar karena butuh digosoki minyak-minyakan, tetapi Kedekatanmu, itulah yang selalu 'kudamba. Ini entah kerjaan Oom Rudolf atau Oom Matthias mengapa melengking-lengking begini, pokoknya aku tidak mau lagi sendiri. Aku takut sepi.
Aduhsay, apalagi jika Aku [sedang] Jatuh Cinta begini. Tiada pernah 'kusangka hidup percintaanku begini amat, meski yang jauh lebih tragis dariku pasti lebih banyak lagi. Setua ini, semua khayalan semakin terasa tidak berdaya, bahkan yang dahulu 'kuyakini kuat-kuat. Tidak ada lagi yang merundungku kecuali pikiran-pikiran tolol di seputar babaduk. Itu pun bukan keyakinan, lebih seperti keselek handuk atau asduk sekali. "Mengapa kau tak bisa lihat? Kau 'lah jantung hatiku." Tidak 'lah. Jantung hatiku jelas bisa melihatnya: aku sudah seperti semacam anjing atau monyet peliharaan begini.
Lantas kesukaan Kak Tina, yang bahkan dia tidak ingat pernah menyukainya. Apalagi sekarang, semoga ia sehat-sehat saja seterusnya. Aduhai sedap sekali berputar-putar di semacam Indomaret atau Alfamart begini. Aku tidak benar-benar punya ragaan spesifik untuknya. Bisa jadi ini ruang tamu Yado II E4 di petang hari, dengan neon panjangnya, ubin kuning-merahnya yang sejuk. Ah, bisa 'kurasakan sejuk-sejuknya, apakah aku baru saja mandi. Bisa juga setelah makan malam, gadon misalnya. Masya Allah, dengan Yamaha CG-40-ku, perasaan cinta dan kasih-sayang memenuhi dadaku, menghangatiku.
Aduhai ini lagi, Selama-lamanya akan seperti ini. Mungkin sejak kecil aku memang bapak-bapak tua, gendut, botak, namun amit-amit tidak pedofil. Aku terlalu mencintai keindahan untuk merusaknya. Contohnya bunga, aku tidak suka memetik. Memandangi aku suka, sampai tersenyum-senyum sendiri. Memetik aku benci, sama bencinya dengan mengurung burung dalam sangkar, merantai anjing. Ini bukan mengungkap nilai-nilai. Ini sekadarnya saja berbicara pada diriku sendiri yang sedang kurang yes. Maka kubisikkan, "Selamat tinggal, Sayang. Selamat tinggal," sambil 'kukecup lembut keningnya.
Memang benar, ada yang sedang memberati pikiranku, namun tidak hatiku. Pikiranku berat, namun hatiku Insya Allah ringan, karena apapun yang terjadi, terjadilah. Aku akan selalu setia padamu. Maka peluklah aku dalam mimpi-mimpimu, sampai 'kukembali lagi padamu. Selama kau mengenangku, aku tidak akan terlalu jauh. Tidak bisa lain dalam ciptaku kecuali rambutnya yang tebal, kasar, mengembang berombak-ombak dengan baunya yang lucu. Seperti itulah. Memang percintaan kami sudah bukan cinta remaja yang menggebu-gebu. Cintaku padanya paruh-baya. Tenang berdenyut-denyut, lamat-lamat saja.
Seandainya kalimat-kalimatku bisa selugas dan sependek ini ketika aku memang harus berkalimat. Namun, seperti memeriksa pratinjau, kebiasaan buruk sulit hilang. Sebenarnya bisa saja aku menulis, tapi ini 'kan asal goblek ngga pakai 'mikir. Kalau pakai 'mikir mungkin tidak akan kuat berlama-lama. Sekarang ini entah bagaimana, apakah karena triki triki atau entah apa, memang terasa agak rampak. Kalaupun tadi agak tersendat, itu karena memeriksa apakah triki atau drigi. Memang sedap belaka dangdut Italia ini, entah siapa yang mengatakannya. Tidak perlu pula 'kukoreksi menjadi Yunani.
Begitulah aku suka keindahan. Masa suka kejelekan, kehancuran, kehinaan, keburukan. Tidak 'lah. Bagaimana dengan Malam-malam Kesepian. Aduh jangan, dong. Sekarang mungkin tidak terlalu takut, karena Cantik masih hanya beberapa langkah dariku. Kalau sudah benar-benar ribuan mil, aduhai, takut. Apalagi dengan rasa badan seperti ini. Tidak benar-benar karena butuh digosoki minyak-minyakan, tetapi Kedekatanmu, itulah yang selalu 'kudamba. Ini entah kerjaan Oom Rudolf atau Oom Matthias mengapa melengking-lengking begini, pokoknya aku tidak mau lagi sendiri. Aku takut sepi.
Aduhsay, apalagi jika Aku [sedang] Jatuh Cinta begini. Tiada pernah 'kusangka hidup percintaanku begini amat, meski yang jauh lebih tragis dariku pasti lebih banyak lagi. Setua ini, semua khayalan semakin terasa tidak berdaya, bahkan yang dahulu 'kuyakini kuat-kuat. Tidak ada lagi yang merundungku kecuali pikiran-pikiran tolol di seputar babaduk. Itu pun bukan keyakinan, lebih seperti keselek handuk atau asduk sekali. "Mengapa kau tak bisa lihat? Kau 'lah jantung hatiku." Tidak 'lah. Jantung hatiku jelas bisa melihatnya: aku sudah seperti semacam anjing atau monyet peliharaan begini.
Lantas kesukaan Kak Tina, yang bahkan dia tidak ingat pernah menyukainya. Apalagi sekarang, semoga ia sehat-sehat saja seterusnya. Aduhai sedap sekali berputar-putar di semacam Indomaret atau Alfamart begini. Aku tidak benar-benar punya ragaan spesifik untuknya. Bisa jadi ini ruang tamu Yado II E4 di petang hari, dengan neon panjangnya, ubin kuning-merahnya yang sejuk. Ah, bisa 'kurasakan sejuk-sejuknya, apakah aku baru saja mandi. Bisa juga setelah makan malam, gadon misalnya. Masya Allah, dengan Yamaha CG-40-ku, perasaan cinta dan kasih-sayang memenuhi dadaku, menghangatiku.