Memang sudah tidak bisa lagi sahur. Jangankan yang berat, yang ringan saja 'kurasa sudah tidak sanggup. Masa tiga kerat roti gandum, dua lembar keju gouda muda kurang garam, dua lembar filet kalkun, masih disimbah saus tomat berbumbu dan sriracha, kau kata "ringan". Insya Allah, jika besok sahur, maka cukup dengan semug kecil sup dan semug besar teh. Mungkin sekerat roti gandum. Mana tahu dengan begitu aku masih sanggup minum air agak beberapa teguk. Mana tahu dengan begitu, aku lebih cepat berangkat tidur lagi, karena tidur memang baru empat jam.
Apapun itu, Alhamdulillah, Allah menyampaikanku pada Ramadhan tahun ini, sebagaimana tahun lalu. Tahun ini pun, selepas sahur aku tidak bisa langsung tidur. Aku malah mengetiki sambil ditemani jez positif dan suara ombak menerpa lembut pasir pantai. Aku tidak ingin berandai-andai, namun suasana hati memang sedang sungguh cocoknya untuk berandai-andai. Uah, bahkan pada diriku sendiri saja aku seakan masih menyembunyikan. Entahlah, mungkin semata aku tidak ingin terlalu cepat bergembira, karena memang mustahil berlabuh jika dayung tak berkayuh.
Begitu saja suasana petang, ba'da Ashar sebelum Maghrib, di Jalan Radio menyelimutiku. Hangatnya cahaya matahari sore, mengapa garasi E8 yang tergambar di benak. Akankah 'kumemuktikan ndalem Yado E4, ndalemnya Ibu, ataukah sekadar khayalan otak kekurangan oksigen ditingkahi dentingan piano dan deburan lembut ombak; sedang tadi sempat membaca-baca cerita horor mengenai rumah di Mahoni 30, Bungur itu. Adakah hubungan antara Yado E8 dan Mahoni 30. Semoga Yado E4 terhindar, dijauhkan dari yang begitu. Naudzubillahi min dzalik!
Tahun lalu aku berpuasa di Uilenstede, masih terasa lamat-lamat. Kini aku berpuasa di Kraanspoor dan aku merasa berbahagia, meski di sini aku dikerubungi anak-anak kecil. Jiwaku yang tua ini lelah. Masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan, semoga lancar dan dimudahkan. Setelah itu, aku bahkan masih menyembunyikannya dari diriku sendiri. Seakan enggan 'kupercaya jika belum 'kulihat dengan mata kepala sendiri. Aku menantinya dengan kegairahan khas seorang tua. Bergairah namun tidak melonjak-lonjak, bukan gairah kekanakan yang melompat-lompat.
Betapa tidak horor, terlebih setelah mendengar kajian mengenai tafsir surat an-Naziat, terlebih yang ada fragmennya. Aku ingat di sofa itu seorang diri menikmati sahurku sambil menyaksikannya, di bawah lukisan pemandangan pedesaan yang tiada seberapa bagusnya. Itu sudah setahun lalu. Setapak demi setapak aku maju. Apa yang ada sekarang sudah lebih baik dari setahun lalu. Insya Allah setahun lagi sudah lebih baik dari kini. Begitu sajalah hidup antara harap dan cemas sepanjang hanya kepadaNya. Tiada habis 'kubersyukur dipertemukan lagi dengan Ramadhan tahun ini.
Berapa entri yang akan 'kuhasilkan Ramadhan ini, adalah bukti betapa aku bergairah menanti-nanti. Kegairahan dalam penantian inilah yang 'kubutuhkan. Mungkin aku sudah seperti Buck Compton atau entahlah siapa. Tak hendak pula membandingkan diriku dengan anak-anak kecil ini, terlebih yang baru mulai. Aku, Alhamdulillah, sudah melampaui tiga perempat perjalanan. Takkan pula 'kusebut "tinggal", hanya 'kan 'kujalani meski thimik-thimik. Ini seperti penantian waktu berbuka. Tidak penting baru sahur atau ketika matahari lingsir, waktu berbuka memang dinanti.
Apakah itu di perpus HAN yang agak dingin dari satu AC saja, atau di Kraanspoor yang hangat sedang suhu di luar di bawah nol derajat selsius, menanti waktu berbuka ya sama saja. Bahkan di Uilenstede kemarin waktu buka tidak perlu dinanti. Ia datang begitu saja. Berpuasa 14 atau 18 jam rasanya sama saja, yang membedakan adalah apakah berbuka dengan gorengan bala-bala dan teh manis jambu hangat masih nikmat atau tidak. Tehnya mungkin masih, namun bala-bala entahlah. Selamat datang Ramadhan. Aku berharap banyak padamu, padaku sendiri, seperti biasa.
Wajah seorang akademisi, semacam Asshieq Mijidlidy begitu |
Begitu saja suasana petang, ba'da Ashar sebelum Maghrib, di Jalan Radio menyelimutiku. Hangatnya cahaya matahari sore, mengapa garasi E8 yang tergambar di benak. Akankah 'kumemuktikan ndalem Yado E4, ndalemnya Ibu, ataukah sekadar khayalan otak kekurangan oksigen ditingkahi dentingan piano dan deburan lembut ombak; sedang tadi sempat membaca-baca cerita horor mengenai rumah di Mahoni 30, Bungur itu. Adakah hubungan antara Yado E8 dan Mahoni 30. Semoga Yado E4 terhindar, dijauhkan dari yang begitu. Naudzubillahi min dzalik!
Tahun lalu aku berpuasa di Uilenstede, masih terasa lamat-lamat. Kini aku berpuasa di Kraanspoor dan aku merasa berbahagia, meski di sini aku dikerubungi anak-anak kecil. Jiwaku yang tua ini lelah. Masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan, semoga lancar dan dimudahkan. Setelah itu, aku bahkan masih menyembunyikannya dari diriku sendiri. Seakan enggan 'kupercaya jika belum 'kulihat dengan mata kepala sendiri. Aku menantinya dengan kegairahan khas seorang tua. Bergairah namun tidak melonjak-lonjak, bukan gairah kekanakan yang melompat-lompat.
Betapa tidak horor, terlebih setelah mendengar kajian mengenai tafsir surat an-Naziat, terlebih yang ada fragmennya. Aku ingat di sofa itu seorang diri menikmati sahurku sambil menyaksikannya, di bawah lukisan pemandangan pedesaan yang tiada seberapa bagusnya. Itu sudah setahun lalu. Setapak demi setapak aku maju. Apa yang ada sekarang sudah lebih baik dari setahun lalu. Insya Allah setahun lagi sudah lebih baik dari kini. Begitu sajalah hidup antara harap dan cemas sepanjang hanya kepadaNya. Tiada habis 'kubersyukur dipertemukan lagi dengan Ramadhan tahun ini.
Berapa entri yang akan 'kuhasilkan Ramadhan ini, adalah bukti betapa aku bergairah menanti-nanti. Kegairahan dalam penantian inilah yang 'kubutuhkan. Mungkin aku sudah seperti Buck Compton atau entahlah siapa. Tak hendak pula membandingkan diriku dengan anak-anak kecil ini, terlebih yang baru mulai. Aku, Alhamdulillah, sudah melampaui tiga perempat perjalanan. Takkan pula 'kusebut "tinggal", hanya 'kan 'kujalani meski thimik-thimik. Ini seperti penantian waktu berbuka. Tidak penting baru sahur atau ketika matahari lingsir, waktu berbuka memang dinanti.
Apakah itu di perpus HAN yang agak dingin dari satu AC saja, atau di Kraanspoor yang hangat sedang suhu di luar di bawah nol derajat selsius, menanti waktu berbuka ya sama saja. Bahkan di Uilenstede kemarin waktu buka tidak perlu dinanti. Ia datang begitu saja. Berpuasa 14 atau 18 jam rasanya sama saja, yang membedakan adalah apakah berbuka dengan gorengan bala-bala dan teh manis jambu hangat masih nikmat atau tidak. Tehnya mungkin masih, namun bala-bala entahlah. Selamat datang Ramadhan. Aku berharap banyak padamu, padaku sendiri, seperti biasa.
2 comments:
Kenapa HP mukanya agak mirip DPS ya di foto ini.
Jahat banget Bos sama temen 'ndiri. ttd Robot.
Post a Comment