'Gar, mungkin kau jengkel, atau setidaknya bosan, membaca entri-entri Kemacangondrongan, karena kebiasaanku menyerakkan makna, karena pendirianku bahwa makna pun perkakas, seperti halnya bentuk dan bunyi. Mungkin kau masih mendamba makna. Aku tidak bisa menyalahkanmu. Siapa yang tahu berapa lama lagi kau harus hidup di dunia. Seberapapun lamanya, kau pasti ingin memaknai hidupmu, meski, kau tahu, aku akan mencelamu karena menjadi terlalu biasa. Kita memang harus biasa, 'Gar, harus lumrah, dan lumrahnya hidup itu bermakna. Begitulah lumrahnya.
Harus segera 'kususulkan di sini, dan ini 'kutujukan pada kalian, 'Rid, 'San, [aku tidak tahu apakah Hari Prasetiyo segabut itu] Togar Tanjung di sini bukan semata Bapaknya Duma. Ia sesungguhnya adalah tokoh khayal dalam semesta paralelku, yang bisa 'kubentuk sekehendakku, berbunyi sesukaku, dan, terpenting, nirmakna. Meski begitu, satu hal yang sama antara Togar Tanjung yang Bapak Duma dan Togar Tanjung dalam semesta paralelku, rambut keduanya sama-sama awut-awutan seperti keset welkom. Jadi ini sebenarnya surat yang lusuh dan lecek, berantakan.
Tidak seperti 2018, tidak juga seperti 2019, apakah aku harus pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak peduli. Keterkurungan tanpa nasi uduk bulu ayam yang membangkitkan gambaran-gambaran mengerikan. Mengapa harus ada yang mengakibatkan harus mandi sampai demam. Tidur dengan baju lebih dari lengkap, meski agak dua jam kemudian melucuti satu persatu. Ini semua... bermakna hahaha. Terkadang tidak juga, namun justru di situ letaknya, seperti bioskop Rahayu Theatre atau apapun. Kebanyakan memang mengenai masa lalu. Ada juga sedikit masa depan.
Apa yang menjengkelkan ketika pertemuan pertama, pada nilai mukanya, bisa jadi mengundang senyum setelah sepuluh tahunan. Setelah sepuluh tahunan itu berhasil dilalui, sungguh menakjubkan, dengan selamat. Ini pun, sekiranya diizinkan, akan menakjubkan ketika berhasil dilalui dengan selamat. Memang bentuk tanah yang aneh di apron timur itu sangat khas, meski tidak sampai sehebat Singa yang menelusuri jalan pulang ke rumah dari belasan ribu kilometer jauhnya. Ini bahkan jauh lebih menjengkelkan. Siapa sangka ia akan menghuni daftarmainku setelah lebih sepuluh tahun.
Benar-benar seperti tai diberakin kampret, baik bentuk maupun bunyinya hahaha. Ampuni hamba, Ya Allah, jadikan ini semata cara hamba bersyukur padaMu. Apalagi ini, kemudaan. Apalah arti itu semua. Akankah berarti, apa yang harus 'kulakukan. Apa yang 'kuyakini. Aku tidak yakin. Aku hanya merepotkan. Mengapa banyak sekali aku. Mengapa akal sehat dan hati nurani seakan tidak bekerja. Apa yang 'kutahu mengenai akal sehat dan hati nurani. Entah mengapa tiba-tiba aku ingat Lapangan Alexander, karena aku berhasil melaluinya dengan selamat.
Tirai telah terbuka, menampakkan potong atas. Aku terlempar jauh ke dalam Debbie jurusan X-deres ber-AC yang selalu 'kutakuti, belum lagi segerombolan bau tai. Jika tidak dicatat, mungkin tidak akan pernah ingat kesan utama suatu masa. Utama, kata siapa. Kataku sendiri, karena hanya itu yang jujur. Tidak banyak berguna. Tidak ada yang peduli juga. Betapa dalam lima belas tahun dari acuh tak acuh menjadi tolol. Betapa banyak perubahannya dalam kurun itu. Aku hanya harus menahankannya sebentar lagi. Tidak perlu mengeluh. Tidak usah mengaduh. 'Takkan lama.
Tidak perlu jengkel juga, mengapa beberapa menarik hati sedang lainnya berat hati sampai 'tak jadi. Jika kau ingat lebih dari lima belas tahun lalu begitulah terjadi. Apa yang kau ingat. Tahu petis di depan Gramedia Depok yang semakin tidak relevan itu. Terlebih fotokopi. Bahkan pendidikan tinggi bisa jadi somay, indomie, atau okonomiyaki. Ini adalah alarm atau nada-dering dari waktu-waktu itu, di pojokan di mana segalanya terjadi, bermula. Jangan pula kau tanyakan mengapa. Aku memang cengeng. Sungguh semua terasa seperti tiada arti. Makna. Tiada.
Harus segera 'kususulkan di sini, dan ini 'kutujukan pada kalian, 'Rid, 'San, [aku tidak tahu apakah Hari Prasetiyo segabut itu] Togar Tanjung di sini bukan semata Bapaknya Duma. Ia sesungguhnya adalah tokoh khayal dalam semesta paralelku, yang bisa 'kubentuk sekehendakku, berbunyi sesukaku, dan, terpenting, nirmakna. Meski begitu, satu hal yang sama antara Togar Tanjung yang Bapak Duma dan Togar Tanjung dalam semesta paralelku, rambut keduanya sama-sama awut-awutan seperti keset welkom. Jadi ini sebenarnya surat yang lusuh dan lecek, berantakan.
Tidak seperti 2018, tidak juga seperti 2019, apakah aku harus pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak peduli. Keterkurungan tanpa nasi uduk bulu ayam yang membangkitkan gambaran-gambaran mengerikan. Mengapa harus ada yang mengakibatkan harus mandi sampai demam. Tidur dengan baju lebih dari lengkap, meski agak dua jam kemudian melucuti satu persatu. Ini semua... bermakna hahaha. Terkadang tidak juga, namun justru di situ letaknya, seperti bioskop Rahayu Theatre atau apapun. Kebanyakan memang mengenai masa lalu. Ada juga sedikit masa depan.
Apa yang menjengkelkan ketika pertemuan pertama, pada nilai mukanya, bisa jadi mengundang senyum setelah sepuluh tahunan. Setelah sepuluh tahunan itu berhasil dilalui, sungguh menakjubkan, dengan selamat. Ini pun, sekiranya diizinkan, akan menakjubkan ketika berhasil dilalui dengan selamat. Memang bentuk tanah yang aneh di apron timur itu sangat khas, meski tidak sampai sehebat Singa yang menelusuri jalan pulang ke rumah dari belasan ribu kilometer jauhnya. Ini bahkan jauh lebih menjengkelkan. Siapa sangka ia akan menghuni daftarmainku setelah lebih sepuluh tahun.
Benar-benar seperti tai diberakin kampret, baik bentuk maupun bunyinya hahaha. Ampuni hamba, Ya Allah, jadikan ini semata cara hamba bersyukur padaMu. Apalagi ini, kemudaan. Apalah arti itu semua. Akankah berarti, apa yang harus 'kulakukan. Apa yang 'kuyakini. Aku tidak yakin. Aku hanya merepotkan. Mengapa banyak sekali aku. Mengapa akal sehat dan hati nurani seakan tidak bekerja. Apa yang 'kutahu mengenai akal sehat dan hati nurani. Entah mengapa tiba-tiba aku ingat Lapangan Alexander, karena aku berhasil melaluinya dengan selamat.
Tirai telah terbuka, menampakkan potong atas. Aku terlempar jauh ke dalam Debbie jurusan X-deres ber-AC yang selalu 'kutakuti, belum lagi segerombolan bau tai. Jika tidak dicatat, mungkin tidak akan pernah ingat kesan utama suatu masa. Utama, kata siapa. Kataku sendiri, karena hanya itu yang jujur. Tidak banyak berguna. Tidak ada yang peduli juga. Betapa dalam lima belas tahun dari acuh tak acuh menjadi tolol. Betapa banyak perubahannya dalam kurun itu. Aku hanya harus menahankannya sebentar lagi. Tidak perlu mengeluh. Tidak usah mengaduh. 'Takkan lama.
Tidak perlu jengkel juga, mengapa beberapa menarik hati sedang lainnya berat hati sampai 'tak jadi. Jika kau ingat lebih dari lima belas tahun lalu begitulah terjadi. Apa yang kau ingat. Tahu petis di depan Gramedia Depok yang semakin tidak relevan itu. Terlebih fotokopi. Bahkan pendidikan tinggi bisa jadi somay, indomie, atau okonomiyaki. Ini adalah alarm atau nada-dering dari waktu-waktu itu, di pojokan di mana segalanya terjadi, bermula. Jangan pula kau tanyakan mengapa. Aku memang cengeng. Sungguh semua terasa seperti tiada arti. Makna. Tiada.
1 comment:
Siapa yang percaya? Akupun tak. Entah mungkin ada pula anakku yang tak pernah bertemu denganku walau seingatku timing-ku dalam urusan cabut-mencabut semanjur timing Marco van Basten di kotak penalti. Menyeramkan, sungguh membuat bergidik ngeri kalau ingat apa yang pernah dilewati sampai aku di titik ini. Berkembang biak, beranak-istri, dan melihat mereka tidur di sebelahku. Mungkin diriku yang "asali" bukanlah dia yang hidup di semesta ini. Mungkin ada diriku lainnya yang secara paralel masih menembus malamnya pinggiran Jakarta untuk sekadar mencari kesenangan sesaat. Lalu apalagi alasan untuk tidak mensyukuri rahmat-Nya? Sungguh Dia penyembunyi terbaik semua aib. Mungkin itulah satu-satunya makna dalam hidupku, kita. Bersyukur, lalu meminta ampun dan begitu terus hingga nanti hari penghabisan.
Post a Comment