Alhamdulillah, semalam aku tidur nyenyak, tidak terbangun-bangun. Semua ini--makan, tidur, aktivitas sehari-hari yang baik--sangat besar artinya, terutama ketika Kang Kopid Songolas sedang berkunjung seperti ini. Ini sebenarnya sangat tidak orisinil, karena idenya dari Yudha Dewanto. Berkesenian dengan ilham Kang Kopid juga sudah dilakukan Si Bono [Palsu]. Aku, yang jelas, tidak langsung beranjak bangun tadi pagi. Lengan atasku masih dingin meski hanya yang kanan. Kini pun sambil berkesenian aku masih menahan kantuk yang aduhai membelai-belai.
Padahal sudah disokong dengan Nescafe Aromakaya, sekarang sudah habis pula. Ini jelas suatu krisis intelektual yang parah, sudah hampir sebulan. Aku tidak akan bercerita mengenai krisis-krisis lainnya dalam hidupku, terlebih yang berada di luar. Jadi ya begini, aku menemukan diriku mandeg, nyangkut, dan belum juga timbul kemaluanku untuk segera mengatasinya. Tidak pula tersisa pada diriku kemauan untuk menyalahkan apapun di luar diriku untuk krisis ini. Kemauan kemaluan sudah lama tiada, sejalan dengan hilangnya kemampuan. Bagus 'lah itu.
Apakah pantas dirayakan, bahwa tepat dua tahun lalu menurut penanggalan Gregorian, aku menginjakkan kaki kembali di Schiphol. Uah, perayaan macam apa itu. Mungkin ini disebabkan oleh kurangnya pemandangan alam, ya, gara-gara Kang Kopid juga 'sih. Uah, sungguh malas aku menyandi-nyandi, dan tiada pula keberanian padaku untuk mengungkapkan sebagaimana dipahami orang banyak, ya'ni, khalayak. Khayalanku tak berdaya, hanya satu impian semata, dan itu sungguh mengganggu. Jika berkhayal saja sudah tidak berdaya, apa hendak dikata.
Khayalan mengenai kemasyhuran, kekuasaan dan romansa, semuanya adalah tanda-tanda lemahnya jiwa. Seorang kuat tidak akan mengkhayalkan hal-hal seperti itu. Ia akan mengkhayalkan burung robin, hinggap berayun-ayun di tangkai gandum yang bulir-bulirnya telah ranum, sedang jari-jemarinya membelai. Ia, tidak sepertiku, tidak meracau. Ia diam saja sambil menyungging senyum. Aduhai, betapa mahalnya diam, kesenyapan hati. Sungguh ingin kukatakan hening, tapi kata ini sekarang identik dengan yash-shiap sudah 'lah apa hendak dikata.
Dan luasnya pengetahuan, aduhai! Ini 'mah tung keripit ahay tulang anjing. Tahu itu semata adalah perasan sari kedelai, tidak kurang apalagi lebih. Jika sampai lebih, maka ia tak ubahnya perasaan sari keledai. Bahkan keledai saja lebih berjasa dengan kesanggupannya mengangkut. Biar kukhayalkan indahnya mata jeli. Seandainya pengetahuanku seluas Koestono Koeswojo yang memahami mata layaknya permata atau sebaliknya, nyatanya aku tidak. Jelinya mata dan montok-ranumnya buah dada, sedang kau mengumbar pandangan di dunia fana. Suatu ketololan!
Di tengah ketatnya kempitan dan jepitan paha-paha Kang Kopid, mendekap pada selangkangannya, aku berkesenian. Tidak. Aku tidak punya waktu untuk menangis meski di tepi Sungai Piedra. Aku hanya bisa begini, berkesenian. Terkadang menyeberangi bolak-balik Sungai Amstel yang lima Euro lebih, tetap saja aku hanya bisa berkesenian. Lain tidak. Lebih tidak. Tahukah kau, Elda Luciana, bahwa melukis itu dengan makna, tidak dengan kata-kata. Biarkan satuan-satuan semantik menjadi paletnya, karena kata-kata sekadar hamburan huruf nirmakna, nirjiwa.
Pada akhir cerita, akan kau temui ketiak yang baunya seperti keju campur bawang dirajang, dipanggang. Aduhai, sungguh memabukkan. Apakah rambut-rambutnya dibasahi titik-titik keringat, atau malah hitam-hitamnya kulit menyembunyikan akar-akar rambut yang tidak dicabut. Tidak jauh dari situ, buah dada. Montok dan ranum dengan ujung-ujungnya yang menggelap. Di dalamnya ada kolustrum sumber kehidupan. Di bawahnya, perut yang menggelayut, menyimpan rasia kantung yang kisut melembung berkali-kali, persemaian benih kehidupan.
Padahal sudah disokong dengan Nescafe Aromakaya, sekarang sudah habis pula. Ini jelas suatu krisis intelektual yang parah, sudah hampir sebulan. Aku tidak akan bercerita mengenai krisis-krisis lainnya dalam hidupku, terlebih yang berada di luar. Jadi ya begini, aku menemukan diriku mandeg, nyangkut, dan belum juga timbul kemaluanku untuk segera mengatasinya. Tidak pula tersisa pada diriku kemauan untuk menyalahkan apapun di luar diriku untuk krisis ini. Kemauan kemaluan sudah lama tiada, sejalan dengan hilangnya kemampuan. Bagus 'lah itu.
Apakah pantas dirayakan, bahwa tepat dua tahun lalu menurut penanggalan Gregorian, aku menginjakkan kaki kembali di Schiphol. Uah, perayaan macam apa itu. Mungkin ini disebabkan oleh kurangnya pemandangan alam, ya, gara-gara Kang Kopid juga 'sih. Uah, sungguh malas aku menyandi-nyandi, dan tiada pula keberanian padaku untuk mengungkapkan sebagaimana dipahami orang banyak, ya'ni, khalayak. Khayalanku tak berdaya, hanya satu impian semata, dan itu sungguh mengganggu. Jika berkhayal saja sudah tidak berdaya, apa hendak dikata.
Khayalan mengenai kemasyhuran, kekuasaan dan romansa, semuanya adalah tanda-tanda lemahnya jiwa. Seorang kuat tidak akan mengkhayalkan hal-hal seperti itu. Ia akan mengkhayalkan burung robin, hinggap berayun-ayun di tangkai gandum yang bulir-bulirnya telah ranum, sedang jari-jemarinya membelai. Ia, tidak sepertiku, tidak meracau. Ia diam saja sambil menyungging senyum. Aduhai, betapa mahalnya diam, kesenyapan hati. Sungguh ingin kukatakan hening, tapi kata ini sekarang identik dengan yash-shiap sudah 'lah apa hendak dikata.
Dan luasnya pengetahuan, aduhai! Ini 'mah tung keripit ahay tulang anjing. Tahu itu semata adalah perasan sari kedelai, tidak kurang apalagi lebih. Jika sampai lebih, maka ia tak ubahnya perasaan sari keledai. Bahkan keledai saja lebih berjasa dengan kesanggupannya mengangkut. Biar kukhayalkan indahnya mata jeli. Seandainya pengetahuanku seluas Koestono Koeswojo yang memahami mata layaknya permata atau sebaliknya, nyatanya aku tidak. Jelinya mata dan montok-ranumnya buah dada, sedang kau mengumbar pandangan di dunia fana. Suatu ketololan!
Di tengah ketatnya kempitan dan jepitan paha-paha Kang Kopid, mendekap pada selangkangannya, aku berkesenian. Tidak. Aku tidak punya waktu untuk menangis meski di tepi Sungai Piedra. Aku hanya bisa begini, berkesenian. Terkadang menyeberangi bolak-balik Sungai Amstel yang lima Euro lebih, tetap saja aku hanya bisa berkesenian. Lain tidak. Lebih tidak. Tahukah kau, Elda Luciana, bahwa melukis itu dengan makna, tidak dengan kata-kata. Biarkan satuan-satuan semantik menjadi paletnya, karena kata-kata sekadar hamburan huruf nirmakna, nirjiwa.
Pada akhir cerita, akan kau temui ketiak yang baunya seperti keju campur bawang dirajang, dipanggang. Aduhai, sungguh memabukkan. Apakah rambut-rambutnya dibasahi titik-titik keringat, atau malah hitam-hitamnya kulit menyembunyikan akar-akar rambut yang tidak dicabut. Tidak jauh dari situ, buah dada. Montok dan ranum dengan ujung-ujungnya yang menggelap. Di dalamnya ada kolustrum sumber kehidupan. Di bawahnya, perut yang menggelayut, menyimpan rasia kantung yang kisut melembung berkali-kali, persemaian benih kehidupan.
No comments:
Post a Comment