Dengan ditingkahi dengungan pompa air begini saja masih terasa aduhai cantiknya, belum lagi Asus E203M yang, Alhamdulillah, akhirnya tanpa keluhan. Ini pagi yang permai tanpa beranjak ke mana-mana, meski sinar matari menyembur menembus blokaca, seperti yang kuinginkan. Setelah sepuluh hari, ya, sepuluh hari, akhirnya aku merasa baikan. Sepuluh hari ini, celakanya, tidak kugunakan untuk berdekat-dekat dengan Tuhanku. Entah dengan apa kuhabiskan sepuluh hariku ini kecuali sekadar menjalani. Dari pagi bernasi uduk Bandung, katanya, hingga malam bercandesartan, amlodipine masih ditambah bisoprolol pula.
Ya, ada juga aku menghancurkan peradaban-peradaban dengan Asus X450C. Itu juga yang membuatku gamang melepaskannya. Di dalamnya masih ada simulasi penghancuran peradaban, satu-satunya pengalih perhatianku dari dunia yang hiruk-pikuk dan tanpa pola. Di sana, aku cukup mengejar Piramid yang akan memberikanku dua pekerja ekstra, entah mengapa. Aku juga tidak tahu mengapa keterikatanku pada Machu Pichu begitu besarnya, begitu juga dengan Notre Dame dan Kapel Sistin. Apa jadinya menjalani hari-hari di Amsterdam tanpanya. Sekedar membayangkannya sudah bergidik kengerian aku.
Baik. Apapun yang terjadi, semenjak saat ini, detik ini, akan kugunakan tombol pengatur font sebagai patokan. Tidak lebih, kurang sedikit boleh. Nah, seperti barusan ini 'lah. Membuat-buat yang pura-puranya seperti paragraf begini, aku terbayang Mas Toni yang menciptakan berbagai senjata. Aku terbayang pula yang lebih menyedihkan dari itu. Apa iya. Terkadang aku iri pada Adso dari Melk, bahkan Antonius Cahyadi atau Adrianus Eryan sekalipun, yang memakai nama-nama santo pada nama mereka. Sedang aku Bono yang diberi tambahan nama salah satu putra Raden Arjuna, yang berjalin-berkelindan dengan Dewi Mustokoweni.
Sungguh, menjadi Jawa sekonyong-konyong kempis tak bermakna di hadapan saudara-saudara Papua, dan Aceh, dan Dayak, dan Madura bahkan Betawi sekalipun, seperti kejantanan kisut mengerut di hadapan ummul mukminin yang terhormat. Ha, akhirnya berhasil kutemukan ragaan cabul, setelah sebelumnya menyerah pasrah merasa takkan menemukannya. Apa gara-gara Mat Piso nyelonong begitu saja bersiul-siul, Mat Piso yang suka merejang dan merajang pelacur-pelacur itu. Apa karena rayapnya mati maka Mat Piso mengandalkan pisaunya yang senantiasa ngaceng, pisaunya lipat atau pisau bowie segede alaihim.
'Dri, 'Gar, apapun itu, bisakah kalian tidak menyebutku dosen. Okelah, UI, FH dan mungkin juga Bidstu HAN taunya aku dosen, tapi kalian 'kan tau kalau aku... bukan. Aku Bono. Kasihan Bapakku memberi namaku begitu. Untunglah namaku bukan nama santo-santo dan nabi-nabi mulia. Dalam nama sederhana yang sebenarnya sangat kusukai ini, terkandung doa yang begitu mendalam, begitu mendendam, sampai aku sendiri takut untuk mengaminkannya. Namun kepada kalian berdua biarlah kuberitahu, mungkin kalian sudi mendengarkan, Bapakku mendoakanku menjadi semacam utusan Batara Yamadipati untuk menghakimi para durjana.
Maafkan aku tidak bisa menjadi teman yang baik untuk kalian. Biarlah kita menjadi sahabat blog begini, karena pena sudah demikian murahnya sampai dibuang-buang orang. Setiap kali aku menulis entri, bolehlah kalian ge-er seakan entri itu untuk kalian, mengenai kalian. Padahal tidak! Semua tahu bahwa semua entriku adalah untuk kemanusiaan, yang kata ummul mukminin yang terhormat, di atas agama dan moralitas. Masya Allah, mengapa Kauciptakan itu dan membiarkannya menyandang nama ummul mukminin yang terhormat. Kau tahu 'kan 'Gar, meski tidak kuketik, di akhir kalimat barusan ada tanda tanya segede alaihim.
Berhubung ini paragraf terakhir, maka lompatlah aku ke masalah berbiasa dan berbahagia. Precies! ...tapi aku bisa apa. Apakah biasa itu melumat bibir merah jambu yang lembab merekah, merona, baik atas maupun bawah, lantas darinya meluap-luaplah kebahagiaan meski karnal. Dengan rambut-rambut halus di sekujur lengan bahkan sampai bawah lengan, sekujur kaki bahkan sampai selangkangan, tidakkah itu biasa, tidakkah membawa bahagia. Apa belum kuwartakan padamu Prinsip 4S: Etnis, Eksotis, Ironis, Sedikit Berkumis. Atau inikah biasa, inikah bahagia, menulis kepada dan mengenai sahabat-sahabat, meski sebenarnya tidak.
Perancap Seluruh Dunia, Merancaplah!
Ya, ada juga aku menghancurkan peradaban-peradaban dengan Asus X450C. Itu juga yang membuatku gamang melepaskannya. Di dalamnya masih ada simulasi penghancuran peradaban, satu-satunya pengalih perhatianku dari dunia yang hiruk-pikuk dan tanpa pola. Di sana, aku cukup mengejar Piramid yang akan memberikanku dua pekerja ekstra, entah mengapa. Aku juga tidak tahu mengapa keterikatanku pada Machu Pichu begitu besarnya, begitu juga dengan Notre Dame dan Kapel Sistin. Apa jadinya menjalani hari-hari di Amsterdam tanpanya. Sekedar membayangkannya sudah bergidik kengerian aku.
Baik. Apapun yang terjadi, semenjak saat ini, detik ini, akan kugunakan tombol pengatur font sebagai patokan. Tidak lebih, kurang sedikit boleh. Nah, seperti barusan ini 'lah. Membuat-buat yang pura-puranya seperti paragraf begini, aku terbayang Mas Toni yang menciptakan berbagai senjata. Aku terbayang pula yang lebih menyedihkan dari itu. Apa iya. Terkadang aku iri pada Adso dari Melk, bahkan Antonius Cahyadi atau Adrianus Eryan sekalipun, yang memakai nama-nama santo pada nama mereka. Sedang aku Bono yang diberi tambahan nama salah satu putra Raden Arjuna, yang berjalin-berkelindan dengan Dewi Mustokoweni.
Sungguh, menjadi Jawa sekonyong-konyong kempis tak bermakna di hadapan saudara-saudara Papua, dan Aceh, dan Dayak, dan Madura bahkan Betawi sekalipun, seperti kejantanan kisut mengerut di hadapan ummul mukminin yang terhormat. Ha, akhirnya berhasil kutemukan ragaan cabul, setelah sebelumnya menyerah pasrah merasa takkan menemukannya. Apa gara-gara Mat Piso nyelonong begitu saja bersiul-siul, Mat Piso yang suka merejang dan merajang pelacur-pelacur itu. Apa karena rayapnya mati maka Mat Piso mengandalkan pisaunya yang senantiasa ngaceng, pisaunya lipat atau pisau bowie segede alaihim.
'Dri, 'Gar, apapun itu, bisakah kalian tidak menyebutku dosen. Okelah, UI, FH dan mungkin juga Bidstu HAN taunya aku dosen, tapi kalian 'kan tau kalau aku... bukan. Aku Bono. Kasihan Bapakku memberi namaku begitu. Untunglah namaku bukan nama santo-santo dan nabi-nabi mulia. Dalam nama sederhana yang sebenarnya sangat kusukai ini, terkandung doa yang begitu mendalam, begitu mendendam, sampai aku sendiri takut untuk mengaminkannya. Namun kepada kalian berdua biarlah kuberitahu, mungkin kalian sudi mendengarkan, Bapakku mendoakanku menjadi semacam utusan Batara Yamadipati untuk menghakimi para durjana.
Maafkan aku tidak bisa menjadi teman yang baik untuk kalian. Biarlah kita menjadi sahabat blog begini, karena pena sudah demikian murahnya sampai dibuang-buang orang. Setiap kali aku menulis entri, bolehlah kalian ge-er seakan entri itu untuk kalian, mengenai kalian. Padahal tidak! Semua tahu bahwa semua entriku adalah untuk kemanusiaan, yang kata ummul mukminin yang terhormat, di atas agama dan moralitas. Masya Allah, mengapa Kauciptakan itu dan membiarkannya menyandang nama ummul mukminin yang terhormat. Kau tahu 'kan 'Gar, meski tidak kuketik, di akhir kalimat barusan ada tanda tanya segede alaihim.
Berhubung ini paragraf terakhir, maka lompatlah aku ke masalah berbiasa dan berbahagia. Precies! ...tapi aku bisa apa. Apakah biasa itu melumat bibir merah jambu yang lembab merekah, merona, baik atas maupun bawah, lantas darinya meluap-luaplah kebahagiaan meski karnal. Dengan rambut-rambut halus di sekujur lengan bahkan sampai bawah lengan, sekujur kaki bahkan sampai selangkangan, tidakkah itu biasa, tidakkah membawa bahagia. Apa belum kuwartakan padamu Prinsip 4S: Etnis, Eksotis, Ironis, Sedikit Berkumis. Atau inikah biasa, inikah bahagia, menulis kepada dan mengenai sahabat-sahabat, meski sebenarnya tidak.
Perancap Seluruh Dunia, Merancaplah!
No comments:
Post a Comment