Bagaimanapun, terlalu banyak hubungan percintaan bisa bikin pusing, 'yekan. Bahkan kata Predi Airkeras kebanyakan cinta bisa membunuhmu. Ah, doi sih emang parahnya tingkat dewa[sa]. Sukurlah aku tidak sempat menonton pelemnya. Bahkan, sebelum pelem itu diputar di salah satu kanal pelem yang disediakan Nekmedia, eh, promonya abis. Jadilah belum ada kesempatan padaku untuk menontonnya. Ahai. Tadinya aku menulisnya dengan “y” koq terlihat seperti itu ya. Langsung kuganti dengan “i”. Lagipula ahainya nanti saja di paragraf berikut.
Nah, baru ahai! Ini adalah kali pertama aku menggunakan kibor BT Minisok. Semoga langgeng ya hubungan kelen, Minisok sama HP Strim 8, sampai kaken ninen. Astaghfirullah. Apa yang salah dengan diriku pagi ini. Ini bukan pagi bodoh. Ini sahur dan kamu malah mainan beginian. Bagaimana mau dapat Ismul A’zhom begini caranya. Terbangun sekira jam empat gara-gara kentut terasa ada ampasnya. Daripada kasus maka terhuyung-huyung ke WC. Aduhsai terrnyata memang ampas melulu. Mengapa sampai begini Stipwong.
Ngomse-ngomse, aku suka entri ini. Banyak sandinya. Apa perlu kusandi yang berikut ini. Sekali lagi biarlah yang kuingat adalah Ismul A’zhom. Ini gara-gara kemarin malam mendengarkan pengajian al-Habib Muhammad al-Habsyi. Yang kayak apa sih orangnya. Entah. Jadi kemarin beliau bercerita mengenai seorang santri yang ingin mendapatkan Ismul A’zhom untuk dirinya sendiri. Kata kyainya, lebih baik kau ke pasar sekarang dan amat-amatilah keadaan. Maka pergilah si Santri. Di pasar ia tidak melihat apa-apa. Semua biasa saja.
Tukang soto masih jualan soto. Tukang tahu masih jualan tahu. Ia sendiri masih tidak punya uang. Duh, kenapa Kyai menyuruhku ke sini, tidak dibekali uang pula. Pendek kata, tidak ada yang istimewa di pasar hari ini, kecuali… ya, kecuali, ada seorang gagah berbelanja di pasar menyewa jasa seorang kuli yang sudah renta kurus pula. Ia yang gagah itu berjalan melenggang sementara semua belanjaannya dibebankan pada punggung si Kuli Renta. Si Kuli jangankan memanggulnya, jangankan melenggang…
…tiap kali menaikkan tambahan belanjaan Tuan Gagah ke punggungnya, napasnya tambah tersengal-sengal. Sampai pada suatu kutika, si Kuli sudah benar-benar tidak berkutik. Kakinya gemetar menahan beban di punggungnya. Ia tidak sanggup lagi beranjak barang selangkahpun! [tanda seru sekadar dramatisasi] Demi melihat ini sang Tuan Gagah, bukannya menolong si Kuli, malah menghardik seraya menendangnya sehingga barang-barang belanjaan beserta pemanggulnya sekali centang-perenang di lantai pasar becek-bertanah. Si Kuli renta gopoh-gapah berusaha mengumpulkan belanjaan, menaikkannya lagi ke punggung.
Beringsut-ingsut kaki tuanya gemetar mencoba mengikuti langkah panjang sang Tuan Gagah. [entah bagaimana di titik ini aku teringat almarhum Abangnda Hidayanto Budi Prasetyo. Semoga Allah melapangkan kuburnya] Sekembalinya di pesantren si Santri ditanya oleh Kyai. “Jadi apa yang kaulihat di pasar?” Tidak ada, ‘Yai. Semua biasa-biasa saja kecuali ada seorang kuli tua… maka berceritalah si Santri mengenainya. [di titik ini entah bagaimana napasku yang terengah-engah. Masya Allah, adzan shubuh baru selesai berkumandang. Aku harus beranjak]
“Nah!” sergah Kyai, “jika orang itu punya Ismul A’zhom, apa kira-kira yang diminta olehnya pada Gusti Alloh?” Woo… tak dungakno sikile cuklek, dengkule ambleg, matane njeblug, sirahe njepat… dan masih banyak lagi, tukas si Santri. “Itulah sebabnya sampai hari ini kau tidak punya Ismul A’zhom.” Lho, mengapa begitu, Kyai? Kuli tua yang kau lihat di pasar tadi, itulah guru yang mengajariku Ismul A’zhom. Segala puji hanya bagi Allah. Keselamatan, kesejahteraan semoga senantiasa tercurah pada RasulNya.
Nah, baru ahai! Ini adalah kali pertama aku menggunakan kibor BT Minisok. Semoga langgeng ya hubungan kelen, Minisok sama HP Strim 8, sampai kaken ninen. Astaghfirullah. Apa yang salah dengan diriku pagi ini. Ini bukan pagi bodoh. Ini sahur dan kamu malah mainan beginian. Bagaimana mau dapat Ismul A’zhom begini caranya. Terbangun sekira jam empat gara-gara kentut terasa ada ampasnya. Daripada kasus maka terhuyung-huyung ke WC. Aduhsai terrnyata memang ampas melulu. Mengapa sampai begini Stipwong.
Ngomse-ngomse, aku suka entri ini. Banyak sandinya. Apa perlu kusandi yang berikut ini. Sekali lagi biarlah yang kuingat adalah Ismul A’zhom. Ini gara-gara kemarin malam mendengarkan pengajian al-Habib Muhammad al-Habsyi. Yang kayak apa sih orangnya. Entah. Jadi kemarin beliau bercerita mengenai seorang santri yang ingin mendapatkan Ismul A’zhom untuk dirinya sendiri. Kata kyainya, lebih baik kau ke pasar sekarang dan amat-amatilah keadaan. Maka pergilah si Santri. Di pasar ia tidak melihat apa-apa. Semua biasa saja.
Tukang soto masih jualan soto. Tukang tahu masih jualan tahu. Ia sendiri masih tidak punya uang. Duh, kenapa Kyai menyuruhku ke sini, tidak dibekali uang pula. Pendek kata, tidak ada yang istimewa di pasar hari ini, kecuali… ya, kecuali, ada seorang gagah berbelanja di pasar menyewa jasa seorang kuli yang sudah renta kurus pula. Ia yang gagah itu berjalan melenggang sementara semua belanjaannya dibebankan pada punggung si Kuli Renta. Si Kuli jangankan memanggulnya, jangankan melenggang…
…tiap kali menaikkan tambahan belanjaan Tuan Gagah ke punggungnya, napasnya tambah tersengal-sengal. Sampai pada suatu kutika, si Kuli sudah benar-benar tidak berkutik. Kakinya gemetar menahan beban di punggungnya. Ia tidak sanggup lagi beranjak barang selangkahpun! [tanda seru sekadar dramatisasi] Demi melihat ini sang Tuan Gagah, bukannya menolong si Kuli, malah menghardik seraya menendangnya sehingga barang-barang belanjaan beserta pemanggulnya sekali centang-perenang di lantai pasar becek-bertanah. Si Kuli renta gopoh-gapah berusaha mengumpulkan belanjaan, menaikkannya lagi ke punggung.
Beringsut-ingsut kaki tuanya gemetar mencoba mengikuti langkah panjang sang Tuan Gagah. [entah bagaimana di titik ini aku teringat almarhum Abangnda Hidayanto Budi Prasetyo. Semoga Allah melapangkan kuburnya] Sekembalinya di pesantren si Santri ditanya oleh Kyai. “Jadi apa yang kaulihat di pasar?” Tidak ada, ‘Yai. Semua biasa-biasa saja kecuali ada seorang kuli tua… maka berceritalah si Santri mengenainya. [di titik ini entah bagaimana napasku yang terengah-engah. Masya Allah, adzan shubuh baru selesai berkumandang. Aku harus beranjak]
“Nah!” sergah Kyai, “jika orang itu punya Ismul A’zhom, apa kira-kira yang diminta olehnya pada Gusti Alloh?” Woo… tak dungakno sikile cuklek, dengkule ambleg, matane njeblug, sirahe njepat… dan masih banyak lagi, tukas si Santri. “Itulah sebabnya sampai hari ini kau tidak punya Ismul A’zhom.” Lho, mengapa begitu, Kyai? Kuli tua yang kau lihat di pasar tadi, itulah guru yang mengajariku Ismul A’zhom. Segala puji hanya bagi Allah. Keselamatan, kesejahteraan semoga senantiasa tercurah pada RasulNya.
No comments:
Post a Comment