Eksibisi tanpa bergantung pada lima-dua-lima atau pratinjau bisa tidak, 'sih. Ini pulak disambut dengan Bahama Mama, setelah ini apa lagi. Si Anjrit, ini apa lagi, Kehidupan di-remake. Ampun 'deh. Akhirnya kuhentikan semua kecerdasbarusan itu. Kuganti menjadi... Badai! Padahal aku baru saja mendapat kebatan: Kecanduan feromon. Ahaha... ini seperti Debbie atau entah apa, seingatku di Tanjung Barat dan sekitarnya. Feromon, terlebih ditingkahi Jaman Aquarius. Tidak, aku tidak peduli. Lantas kalau bukan lima-dua-lima atau pratinjau, apa patokannya.
Semua ini tiada lain kebodohan masa muda. Siapapun! Tiada terkecuali, tanpa peduli. Sedang membicarakan kebodohan masa mudaku sendiri saja aku sudah tidak seberapa berminat, terlebih membicarakan kebodohan masa muda orang lain. 'ngGeus! Ruksak!
Eh Si Tolol, kamu malah menulis apa. Apa akan kau biarkan yang seperti itu masih mengharu-biru tiap desahan, tarikan dan hempasan nafasmu. Ah, aku benar-benar membutuhkan kegesangan dalam situasi seperti ini. Paradigma Gramscian jelas tidak memadai, apalagi Jimlyan. Untunglah yang menggantikannya bukan ketikanku. Ketikanku ya tiada lain lagi. Sebenarnya akan selalu begitu. Aku kembali di sudut ini, mempertaruhkan aroma alami pakaianku melawan bau gorengan. Hei, kamu harus buat presentasi ‘kan. Apa tidak malu pada Pak Dedi Adhuri.
Lebih ngeri lagi, kamu ‘kan harusnya buat laporan penelitian lapangan. Eh Si Tolol Aseli. Ini malah sekarang duduk menghadapi tulisan “Memasak dengan cinta memberi makan bagi jiwa,” yakni di sebuah warung bakso yang didirikan oleh seorang Ki Ageng. Seorang Ki Ageng atau keturunannya di era dijital ini cukup memastikan agar bakso yang dijual di warungnya sedikit mengandung boraks, lebih dominan dagingnya; hal mana membuatku tak suka. Dan menyelang-nyeling Jembatan di atas Air Bergolak dengan Biarkan, sekira empat puluh tahun lalu mungkin memang jenial.
Bagaimana dengan kini. Cukuplah disyukuri bila malam masih muda sedang sudah lengkap lima kali shalatku dalam sehari ini. Meski perut menggembung seenaknya, setidaknya tidak ada cewek genit yang suka ngerjain bapak-bapak empat puluhan, yang bernama Cinta. Tentu tidak, karena adanya Cantik. Sebuah Bangku, Sebatang Pohon, Seruas Jalan terasa sedap-sedapnya dari empat puluh tahunan yang lalu. Jangankan sampai empat puluh, agak tiga puluh tahunan yang lalu saja Kesepian bisa begitu sedap, meski mungkin mendekati tengah malam, mungkin sekitar jam sepuluhan.
Sejauh ini aku memang tidak menggunakan tujuh-lima, namun belum jaminan aku tidak akan umek dengan pratinjau. Betapalah aku tidak akrab dengan aransemen-aransemen ini, dengan intro-intro yang kudengar sejak kecil, yakni dari musik-musik Ibuku. Ibuku ketika masih perempuan muda, seperti mahasiswa-mahasiswaku kini. Aku melihat mereka seperti anak kecil, seperti anakku sendiri. Kini. Aku memang bapak-bapak botak gendut. Aku bahkan bukan Paman Kakek bertas-perut yang dapat bicara. Aku sekadar bapak-bapak berpecis kaji hitam, kembung.
Jika sudah habis begini bagaimana, Kisah Cintanya. Jika tanpa patokan apapun kapan berhentinya. Berarti benar hampir setiap rilis Ibu membelinya. Bahkan anak perempuanku tahun ini Insya Allah berumur dua puluh tahun. Aku dahulu empat puluh tiga, ia menyusul dua puluh beberapa minggu kemudian. Aku Benar-benar Ingin Bertemu Denganmu, Tuan Manisku! Sedang Tuhan hanya plesetan dari Tuan. Eh Ki Ageng memang beda dari Sayap Berhenti. Namanya Ki Ageng ya harus merakyat dong. nDeso begitu. Jangan kayak tentara jaman sekarang. Entah-entah.
Kalau begini terus lalu kapan berhentinya. Demikianlah ratapan guru SMK yang mirip Suneo. Setelah agak dua hari dirundung pegal linu di sekujur otot dan persendian, kini tinggal tersisa di leher belakang sebelah kanan. Patutlah dicatat bahwa semenjak Jumat minggu lalu Jakarta dan sekitarnya dilanda cuaca ekstrim, yang memancing cebong-cebong untuk bercerowet bersukaria. Yah, namanya saja cebong turunan kodok ya pasti senang jika hari hujan, apalagi malam, terlebih sampai banjir merendam. Herannya, mengapa kampret-kampret sibuk meningkahi cerowetan itu.
Harusnya ‘kusudahi di sini juga. Namun jika 'kusudahi lalu apa. Daripada tidak berhenti sampai Cantik datang menghampir, aplotlah entri ini. Mungkin kau bisa menunggu Cantik kembali dengan segerobak belanjaan bulanan sambil membaca-baca karya eksibisimu sendiri. Apa ini harus ditempelkan begitu saja ke “kecanduan feromon” yang pernah mengilhamimu beberapa hari lalu, ketika masih April. Ini sudah Hari Buruh, berarti sudah Mei. Berarti April hanya punya tiga entri. [Ini mengapa Tante Agatha seperti ada suara-suara munyuk begini ‘sih.]
...tapi 'kuretroaksi
Semua ini tiada lain kebodohan masa muda. Siapapun! Tiada terkecuali, tanpa peduli. Sedang membicarakan kebodohan masa mudaku sendiri saja aku sudah tidak seberapa berminat, terlebih membicarakan kebodohan masa muda orang lain. 'ngGeus! Ruksak!
Eh Si Tolol, kamu malah menulis apa. Apa akan kau biarkan yang seperti itu masih mengharu-biru tiap desahan, tarikan dan hempasan nafasmu. Ah, aku benar-benar membutuhkan kegesangan dalam situasi seperti ini. Paradigma Gramscian jelas tidak memadai, apalagi Jimlyan. Untunglah yang menggantikannya bukan ketikanku. Ketikanku ya tiada lain lagi. Sebenarnya akan selalu begitu. Aku kembali di sudut ini, mempertaruhkan aroma alami pakaianku melawan bau gorengan. Hei, kamu harus buat presentasi ‘kan. Apa tidak malu pada Pak Dedi Adhuri.
Lebih ngeri lagi, kamu ‘kan harusnya buat laporan penelitian lapangan. Eh Si Tolol Aseli. Ini malah sekarang duduk menghadapi tulisan “Memasak dengan cinta memberi makan bagi jiwa,” yakni di sebuah warung bakso yang didirikan oleh seorang Ki Ageng. Seorang Ki Ageng atau keturunannya di era dijital ini cukup memastikan agar bakso yang dijual di warungnya sedikit mengandung boraks, lebih dominan dagingnya; hal mana membuatku tak suka. Dan menyelang-nyeling Jembatan di atas Air Bergolak dengan Biarkan, sekira empat puluh tahun lalu mungkin memang jenial.
Bagaimana dengan kini. Cukuplah disyukuri bila malam masih muda sedang sudah lengkap lima kali shalatku dalam sehari ini. Meski perut menggembung seenaknya, setidaknya tidak ada cewek genit yang suka ngerjain bapak-bapak empat puluhan, yang bernama Cinta. Tentu tidak, karena adanya Cantik. Sebuah Bangku, Sebatang Pohon, Seruas Jalan terasa sedap-sedapnya dari empat puluh tahunan yang lalu. Jangankan sampai empat puluh, agak tiga puluh tahunan yang lalu saja Kesepian bisa begitu sedap, meski mungkin mendekati tengah malam, mungkin sekitar jam sepuluhan.
Sejauh ini aku memang tidak menggunakan tujuh-lima, namun belum jaminan aku tidak akan umek dengan pratinjau. Betapalah aku tidak akrab dengan aransemen-aransemen ini, dengan intro-intro yang kudengar sejak kecil, yakni dari musik-musik Ibuku. Ibuku ketika masih perempuan muda, seperti mahasiswa-mahasiswaku kini. Aku melihat mereka seperti anak kecil, seperti anakku sendiri. Kini. Aku memang bapak-bapak botak gendut. Aku bahkan bukan Paman Kakek bertas-perut yang dapat bicara. Aku sekadar bapak-bapak berpecis kaji hitam, kembung.
Jika sudah habis begini bagaimana, Kisah Cintanya. Jika tanpa patokan apapun kapan berhentinya. Berarti benar hampir setiap rilis Ibu membelinya. Bahkan anak perempuanku tahun ini Insya Allah berumur dua puluh tahun. Aku dahulu empat puluh tiga, ia menyusul dua puluh beberapa minggu kemudian. Aku Benar-benar Ingin Bertemu Denganmu, Tuan Manisku! Sedang Tuhan hanya plesetan dari Tuan. Eh Ki Ageng memang beda dari Sayap Berhenti. Namanya Ki Ageng ya harus merakyat dong. nDeso begitu. Jangan kayak tentara jaman sekarang. Entah-entah.
Kalau begini terus lalu kapan berhentinya. Demikianlah ratapan guru SMK yang mirip Suneo. Setelah agak dua hari dirundung pegal linu di sekujur otot dan persendian, kini tinggal tersisa di leher belakang sebelah kanan. Patutlah dicatat bahwa semenjak Jumat minggu lalu Jakarta dan sekitarnya dilanda cuaca ekstrim, yang memancing cebong-cebong untuk bercerowet bersukaria. Yah, namanya saja cebong turunan kodok ya pasti senang jika hari hujan, apalagi malam, terlebih sampai banjir merendam. Herannya, mengapa kampret-kampret sibuk meningkahi cerowetan itu.
Harusnya ‘kusudahi di sini juga. Namun jika 'kusudahi lalu apa. Daripada tidak berhenti sampai Cantik datang menghampir, aplotlah entri ini. Mungkin kau bisa menunggu Cantik kembali dengan segerobak belanjaan bulanan sambil membaca-baca karya eksibisimu sendiri. Apa ini harus ditempelkan begitu saja ke “kecanduan feromon” yang pernah mengilhamimu beberapa hari lalu, ketika masih April. Ini sudah Hari Buruh, berarti sudah Mei. Berarti April hanya punya tiga entri. [Ini mengapa Tante Agatha seperti ada suara-suara munyuk begini ‘sih.]
...tapi 'kuretroaksi
No comments:
Post a Comment