Tidak perlu terlalu dipikirkan. Lagipula rasa koq dipikirkan. Ini juga bukan suatu kepura-puraan, apalagi kesal kepuncakan. Ini sekadar, apa. Masa jatuh cinta lagi. Apa kau tidak punya lain di luar jatuh cinta. Kebacinan, kebusukan sudah tidak waktunya ketika kau benar-benar, secara harafiah, membusuk. Ketika suasana kimiawi tubuhmu cenderung asam, itu berarti kau sedang membusuk. Jadi suatu sekarang bersambungan. (present continuous) Aku toh lebih Pak 'nDul daripada Mas Toni, haruskah kupanjangkan jenggotku. Tidakkah kasihan pada Cantik.
Lantas begitu saja dari pagi-pagi yang lampau, aroma sedap Minak Djinggo yang terbuat oleh Nojorono disembur-semburkan Engkong. Kepada siapa aku dapat berpaling, ketika di kamar mandi pojokan belakang itu aku menungging sambil mengeles. Mas Toni pun. Pak Ndul pun. Malu hati jika celananya dilucuti, dibuang ke tanah pekuburan, di belakang koperasi. Sakit ‘kan. Cintai aku pagi ini. Tolonglah cintai aku. Mengapa tidak sekarang. Ini lebih baru. Ini setelah insap, setelah tidak terlalu sarap. Apa mungkin.
Seperti pagi ini aku mencari nasi uduk bulu ayam, yang terngiang adalah Dengan Tangan Ini. Ternyata tidak ada bulu ayamnya, jadi aku parkir pas di tempat ia biasa ada. Profesor Imam Khomeini jika memang menjadi kehendakNya. Kembali lagi ke Amsterdam sambil meratap merintih-rintih dalam hati. Begitu saja di semua tempat tinggal dijalani. Aku bahkan tidak berani merinci. Rinciannya. Bila suatu kalimat diakhiri, kapan ia diawali. Bass biarlah Ajo. Aku bisa macam-macam meski tiada yang peduli.
Etnografi sudah gila apa, sementara diingatkan pada turlap bisa berjengit. Lalu Penyejuk Mata yang meledak-ledak. Apa mau dikata. Memang mungkin lebih baik aku di sini menyanding Pak Ihin, Pak Yudi, Mas Afif dan satu lagi. Biar terbaca, Insya Allah, suatu hari nanti sedangkan badan sehat hati hangat belaka. Perut nyaman diisi roti gandum lapis isi keju, filet kalkun atau ayam dan uborampenya sekali. Itu masih nanti, yang penting turlap. Apa yang ada sementara dinikmati saja.
Bapak bisa jadi Hamilkar Barka. Aku bisa jadi Hannibal. Adik mungkin Hasdrubal. Bukan. Itu malah nama adikku. Aku hanya fasih berbicara dan manis bertutur-kata. Ah, buat apa cerita hebat mengenai orang-orang hebat itu. Para jenderal yang sebenarnya, bukan jenderal yang sebenarnya mengurus urusan privat sendiri. Lalu apa gunanya bicara begini, bahkan memikirkannya. Lebih baik kau pikirkan bagaimana mencapai Salemba sebelum jam delapan pagi di beberapa Kamis ke depan ini. Bisa jadi nasi rames itu ganjarannya.
Ini apa menulisi, bukannya menata-letak. Aku menikmati. Aku mensyukuri? Semoga. Aku menggantikan. Ada urusan dengan Ali dan Fadhil, atau Nira. Ini Waktu Mencinta, sedang perut agak mulas-mulas manja. Semua tidak ada gunanya. Apalagi. Uah, bahkan tidak berhak atas kata ganti apapun. Mengapa aku mengutuk turunan Rano Karno. Mengenai apakah semua ini. Ini mungkin mengenai wajah berambut yang diterpa polusi. Ini mengenai pori-pori yang tentu saja lebih besar. Ini bisa jadi mengenai perawatan wajah, tidak peduli.
Aku tahu, ini mengenai sesuatu yang lebih besar, meski aku tidak akan menenggang para pendusta. Seekor cicak begitu saja menjulur-julurkan lidahnya, membaui udara di sekitarnya. Adakah ia mencium bau bacin yang menguar dari benakku. Cicak begitu saja melompat ke lubang yang dibuat tikus di kasa, sedang aku menutup mata, membiarkan ia mengecupku. Siapa, apa benar yang kurindukan. Aku hanya berpura-pura. Aku tidak benar-benar rindu. Aku tidak tahu lagi apa yang kurasakan... [Cicak itu sudah tiada]
Memang Cantik [Puas, sambil mengancing celana]
Lantas begitu saja dari pagi-pagi yang lampau, aroma sedap Minak Djinggo yang terbuat oleh Nojorono disembur-semburkan Engkong. Kepada siapa aku dapat berpaling, ketika di kamar mandi pojokan belakang itu aku menungging sambil mengeles. Mas Toni pun. Pak Ndul pun. Malu hati jika celananya dilucuti, dibuang ke tanah pekuburan, di belakang koperasi. Sakit ‘kan. Cintai aku pagi ini. Tolonglah cintai aku. Mengapa tidak sekarang. Ini lebih baru. Ini setelah insap, setelah tidak terlalu sarap. Apa mungkin.
Seperti pagi ini aku mencari nasi uduk bulu ayam, yang terngiang adalah Dengan Tangan Ini. Ternyata tidak ada bulu ayamnya, jadi aku parkir pas di tempat ia biasa ada. Profesor Imam Khomeini jika memang menjadi kehendakNya. Kembali lagi ke Amsterdam sambil meratap merintih-rintih dalam hati. Begitu saja di semua tempat tinggal dijalani. Aku bahkan tidak berani merinci. Rinciannya. Bila suatu kalimat diakhiri, kapan ia diawali. Bass biarlah Ajo. Aku bisa macam-macam meski tiada yang peduli.
Etnografi sudah gila apa, sementara diingatkan pada turlap bisa berjengit. Lalu Penyejuk Mata yang meledak-ledak. Apa mau dikata. Memang mungkin lebih baik aku di sini menyanding Pak Ihin, Pak Yudi, Mas Afif dan satu lagi. Biar terbaca, Insya Allah, suatu hari nanti sedangkan badan sehat hati hangat belaka. Perut nyaman diisi roti gandum lapis isi keju, filet kalkun atau ayam dan uborampenya sekali. Itu masih nanti, yang penting turlap. Apa yang ada sementara dinikmati saja.
Bapak bisa jadi Hamilkar Barka. Aku bisa jadi Hannibal. Adik mungkin Hasdrubal. Bukan. Itu malah nama adikku. Aku hanya fasih berbicara dan manis bertutur-kata. Ah, buat apa cerita hebat mengenai orang-orang hebat itu. Para jenderal yang sebenarnya, bukan jenderal yang sebenarnya mengurus urusan privat sendiri. Lalu apa gunanya bicara begini, bahkan memikirkannya. Lebih baik kau pikirkan bagaimana mencapai Salemba sebelum jam delapan pagi di beberapa Kamis ke depan ini. Bisa jadi nasi rames itu ganjarannya.
Ini apa menulisi, bukannya menata-letak. Aku menikmati. Aku mensyukuri? Semoga. Aku menggantikan. Ada urusan dengan Ali dan Fadhil, atau Nira. Ini Waktu Mencinta, sedang perut agak mulas-mulas manja. Semua tidak ada gunanya. Apalagi. Uah, bahkan tidak berhak atas kata ganti apapun. Mengapa aku mengutuk turunan Rano Karno. Mengenai apakah semua ini. Ini mungkin mengenai wajah berambut yang diterpa polusi. Ini mengenai pori-pori yang tentu saja lebih besar. Ini bisa jadi mengenai perawatan wajah, tidak peduli.
Aku tahu, ini mengenai sesuatu yang lebih besar, meski aku tidak akan menenggang para pendusta. Seekor cicak begitu saja menjulur-julurkan lidahnya, membaui udara di sekitarnya. Adakah ia mencium bau bacin yang menguar dari benakku. Cicak begitu saja melompat ke lubang yang dibuat tikus di kasa, sedang aku menutup mata, membiarkan ia mengecupku. Siapa, apa benar yang kurindukan. Aku hanya berpura-pura. Aku tidak benar-benar rindu. Aku tidak tahu lagi apa yang kurasakan... [Cicak itu sudah tiada]
Memang Cantik [Puas, sambil mengancing celana]
No comments:
Post a Comment