Ya, seperti itulah yang sanggup menggelorakan. Aku memutuskan langsung mengetik di editor ini karena aplikasi pengolah kata sedang terasa aduhai menjengkelkan. Apa yang kuguratkan di sini tentu sesuatu yang tidak pernah penting, kecuali secercah rasa yang sebenarnya harus dilupakan. Namun apa salahnya, demi suatu masa ketika semua indah, semua terasa bergelora; karena segala sesuatu memang ada jamannya. Itu adalah waktu di mana satu sengatan kecil, satu kepakan sederhana dapat memicu prahara yang mengharu-biru dunia. Duniaku. Dunia tololku. Duniaku, Tolol!
Ya, masa begitu saja bergelora. Malu dong sama Hari Anak Planet. Kalau sama Togar anak komplek mah tidak perlu malu, karena aku anak komplek yang kampung sangat. Dengan kelakuan dan, akhirnya, kesenangan-kesenangan seperti anak kampung, dari Planet lagi, seperti Hari begitu. Kadang aku membatin. Mengapa 'lah aku tidak lebih akrab dengan kehidupan kampung. Ya, karena memang kau anak komplek, Tolol! Bagaimana aku tahu kalau di kampung tersedia kesedapan-kesedapan yang entah bagaimana caranya menjadi preferensi sejatiku, dengan istilah apapun aku menyebutnya.
Uah, ini lebih menantang dari apa yang pernah dilakukan Gramsci di dalam bui. Gramsci buinya kecil saja, kurasa, sekitar ukuran buinya Hitler lebih atau kurangnya. Aku dalam bui raksasa! Aku mengungkung diriku sendiri, sedang mereka dikurung penguasa masing-masing. Akulah penguasa diriku sendiri dan dengan kekuasaan itu aku mengurung diriku sendiri pula! Hei, jangan sampai orang menyangka yang tidak-tidak. Ini semata-mata mengenai gorengan dan lontong, dan serabi. Ini adalah sesuatu yang entah bagaimana tidak mau pergi juga dari benakku yang seharusnya sudah tua renta.
Dan aku memang tidak bertujuh-lima lima-dua-lima, namun akibatnya aku mengecek pratinjau setiap satu alinea sekali. Pak 'nDul memang--dengan personanya yang lebih intimidatif, tidak seperti Mas Toni yang cenderung flegmatik--menunjukkan banyak kemiripan. Dan kesia-siaan ini begitu saja diinterupsi oleh Takwa menanyakan kabarku, bercerita mengenai Kolkata. Mengapa aku, seperti biasa, banyak menyela. Tepat sekali nasihat Sopiwan untuk penelitian lapanganku. Kalau mau dapat banyak, diamlah. Pura-pura bego 'lah. Ini pun sebentar lagi akan disela oleh pengabutan (fogging).
Lantas kapan akan kuakhiri jika tidak bertujuh-lima lima-dua-lima begini. Apa menunggu klimaks yang tidak mungkin pula dicapai di sini, sedang Orkestra Filharmonik Kerajaan sudah memainkan Waktu dalam Hidupku dari Tarian Kotor. Bukan tariannya benar. Pikirannya. Sekitar dua menitan lagi maka akan kuperiksa apakah airnya sudah mendidih. Gor-gor atau mulak-mulak, selalu saja dalam benakku. Tidak bisa semuanya! Semua atau tidak sama sekali. Bagaimana dengan satu saja. Atau, ada lagi yang lebih mengerikan. Bagaimana kalau seperti sarapan. Tempo-tempo kepingin nasi uduk bulu ayam, tempo-tempo lontong, gorengan dengan sambal kacangnya sekali.
Ha, mengerikan sekali! Ngeri! Ingat dan ingatlah selalu itu. Aduhai mengapa benar harus kurasakan yang demikian ini. Mana baru saja kusadari kalau je t'aime moi non plus artinya aku juga cinta padamu. Uah, aku tidak sama dengan kalian hai Salim Said dan Gunawan Mohamad. Jika Achmad Sulfikar mau sama dengan kompatriot Bugisnya, itu sepenuhnya urusan dia. Aku tidak. Aku... Pak 'nDul. Hahaha tertawa sesukamulah. Prabowo tidak bakal menang. Tidak begitu caranya menang. Kau seharusnya tahu bagaimana caranya menang, kau 'kan jenderal.
Jika ini kutambah satu alinea lagi, semata karena aku ingin segera mengakhirinya. Sepanjang Rahayu Theatre itu ke arah Apotek Windu Mukti, yang sangat bisa jadi kedua-duanya milik pengusaha-pengusaha keturunan Cina, demi apapun Prabowo tidak akan menang. Hei, mengapa jadi ini. Mengapa tidak bakpao kelebihan soda pengembang yang sebenarnya didapatkan dari ibunya, yang mengembang di tempat-tempat yang kurang semestinya. Mengapa ditertawakan. Terima kasih, Sayang. Ini satu kesakitan. Satu kejahatan yang nyatanya hanya khayalan. Mengapa menyakiti?
Aku 'kan hanya kopral. Keple pula. Asli.
Ya, masa begitu saja bergelora. Malu dong sama Hari Anak Planet. Kalau sama Togar anak komplek mah tidak perlu malu, karena aku anak komplek yang kampung sangat. Dengan kelakuan dan, akhirnya, kesenangan-kesenangan seperti anak kampung, dari Planet lagi, seperti Hari begitu. Kadang aku membatin. Mengapa 'lah aku tidak lebih akrab dengan kehidupan kampung. Ya, karena memang kau anak komplek, Tolol! Bagaimana aku tahu kalau di kampung tersedia kesedapan-kesedapan yang entah bagaimana caranya menjadi preferensi sejatiku, dengan istilah apapun aku menyebutnya.
Uah, ini lebih menantang dari apa yang pernah dilakukan Gramsci di dalam bui. Gramsci buinya kecil saja, kurasa, sekitar ukuran buinya Hitler lebih atau kurangnya. Aku dalam bui raksasa! Aku mengungkung diriku sendiri, sedang mereka dikurung penguasa masing-masing. Akulah penguasa diriku sendiri dan dengan kekuasaan itu aku mengurung diriku sendiri pula! Hei, jangan sampai orang menyangka yang tidak-tidak. Ini semata-mata mengenai gorengan dan lontong, dan serabi. Ini adalah sesuatu yang entah bagaimana tidak mau pergi juga dari benakku yang seharusnya sudah tua renta.
Dan aku memang tidak bertujuh-lima lima-dua-lima, namun akibatnya aku mengecek pratinjau setiap satu alinea sekali. Pak 'nDul memang--dengan personanya yang lebih intimidatif, tidak seperti Mas Toni yang cenderung flegmatik--menunjukkan banyak kemiripan. Dan kesia-siaan ini begitu saja diinterupsi oleh Takwa menanyakan kabarku, bercerita mengenai Kolkata. Mengapa aku, seperti biasa, banyak menyela. Tepat sekali nasihat Sopiwan untuk penelitian lapanganku. Kalau mau dapat banyak, diamlah. Pura-pura bego 'lah. Ini pun sebentar lagi akan disela oleh pengabutan (fogging).
Lantas kapan akan kuakhiri jika tidak bertujuh-lima lima-dua-lima begini. Apa menunggu klimaks yang tidak mungkin pula dicapai di sini, sedang Orkestra Filharmonik Kerajaan sudah memainkan Waktu dalam Hidupku dari Tarian Kotor. Bukan tariannya benar. Pikirannya. Sekitar dua menitan lagi maka akan kuperiksa apakah airnya sudah mendidih. Gor-gor atau mulak-mulak, selalu saja dalam benakku. Tidak bisa semuanya! Semua atau tidak sama sekali. Bagaimana dengan satu saja. Atau, ada lagi yang lebih mengerikan. Bagaimana kalau seperti sarapan. Tempo-tempo kepingin nasi uduk bulu ayam, tempo-tempo lontong, gorengan dengan sambal kacangnya sekali.
Ha, mengerikan sekali! Ngeri! Ingat dan ingatlah selalu itu. Aduhai mengapa benar harus kurasakan yang demikian ini. Mana baru saja kusadari kalau je t'aime moi non plus artinya aku juga cinta padamu. Uah, aku tidak sama dengan kalian hai Salim Said dan Gunawan Mohamad. Jika Achmad Sulfikar mau sama dengan kompatriot Bugisnya, itu sepenuhnya urusan dia. Aku tidak. Aku... Pak 'nDul. Hahaha tertawa sesukamulah. Prabowo tidak bakal menang. Tidak begitu caranya menang. Kau seharusnya tahu bagaimana caranya menang, kau 'kan jenderal.
Jika ini kutambah satu alinea lagi, semata karena aku ingin segera mengakhirinya. Sepanjang Rahayu Theatre itu ke arah Apotek Windu Mukti, yang sangat bisa jadi kedua-duanya milik pengusaha-pengusaha keturunan Cina, demi apapun Prabowo tidak akan menang. Hei, mengapa jadi ini. Mengapa tidak bakpao kelebihan soda pengembang yang sebenarnya didapatkan dari ibunya, yang mengembang di tempat-tempat yang kurang semestinya. Mengapa ditertawakan. Terima kasih, Sayang. Ini satu kesakitan. Satu kejahatan yang nyatanya hanya khayalan. Mengapa menyakiti?
Aku 'kan hanya kopral. Keple pula. Asli.