Apa iya aku harus memulai dengan secangkir kertas latte macchiatto, atau kali ini cappuccino, sedangkan di pojok kopi tadi ada Willy? Suasana siang ini agak berbeda [apanya?] dari hari kemarin. Apakah karena telingaku disumpal Dari Hari ke Hari atau karena fantasi Pram mengenai Jakarta jaman sekitar Revolusi Fisik? Apa juga karena berusaha menyelami suasana kebatinan Pak AB Kusuma dalam dinginnya dini hari Amsterdam? Apa? [Mengapa kembali lagi ini tanda tanya] Gabungan dari semua ini, kurasa.
Jadi tidak cappuccino-nya. Bagaimana dengan perutmu yang tidak kunjung beres. Aku seperti Idulfitri di Kemacangondrongan ini. Aku ada dua, yakni aku dan diriku sendiri. Terkadang diriku sendiri menanyaiku. Terkadang, sebaliknya, aku yang menanyai diriku sendiri. Seringnya kami bercakap-cakap. Sayangnya, tidak seperti Idulfitri dan Namun, kami tidak lapar. Kami berdua memang sudah cenderung tidak peduli, maka aku begitu saja melepas kancing celana. Padahal jaket kubuka. Padahal agak di belakang sana ada Icha. Habis mau bagaimana lagi.
Lantas Inah dan Aminah. Uah, tidak kreatif Pram membuat nama, seperti nama-nama Portugis karangannya. Ia sendiri mengakui, mengapa Portugis bernama Spanyol. Inah dan Aminah, masing-masing mengerikan dengan caranya sendiri. Untukku yang sok relijius ini mungkin lebih ngeri Inah, meski Aminah kemungkinan mati dengan mulut bernanah terkena rajasinga, karena—dalam khayalan Pram—orang laki sudah tidak mau menidurinya seraya memandang wajahnya. Beginikah moral jaman itu? Hanya dua inikah pilihannya, missionary atau fellatio, dan tanpa “kehormatan”?
Inah bagaimana? Sebenarnya, dibanding khayalannya mengenai Aminah, Inah ini tidak ada apa-apanya. Moral bahkan sudah menerimanya jauh lebih dulu, mungkin, daripada apa yang terjadi pada Aminah. Mungkin ada gunanya bagi ilmuwan sosial sepertiku. [“Ceilah!” cibir Sobi, kakak Inah] Cara berpikir Sobi dan Inah segera mengingatkanku pada diriku sendiri yang normatif. Amboi! Bahkan di antara orang-orang hukum saja aku ekstra normatif, ekstra sok moralis. Aku harus melatih diriku agar dapat seperti Pram, melukiskan tepat seperti adanya.
…sementara mengesampingkan penilaian-penilaian moralku sendiri. Di sini tiba-tiba aku teringat sifat burukku yang lain, yakni pembual. Pembohong ‘lah, mudahnya. Bukan sekadar melebih-lebihkan, aku sering mengada-adakan kenyataan yang sebenarnya cuma ada dalam benakku yang hiperbolik. Seperti kata Iwan Goya, aku naga yang ekstrim, suka membesar-besarkan persoalan. Seperti ketika kukatakan, Fawaz sedang “crying for help.” Aku sampai malu sendiri. Tentu saja bundanya tidak suka kukatakan begitu. Bunda mana yang suka anak bujangnya dikatakan seperti itu? Tidak ada!
Ya sutra 'lah. Biarkan Waltz Terakhir ini membelai-belai hatiku, seperti yang selalu ia lakukan semenjak kecilku. Dengan lampu Funai berkelip-kelip mengindikasikan dentam-dentamnya bass, sedang rumah K28 gelap gulita; mungkin Ibu sedang memanggang kue sekaligus memasak nasi. Kenyataannya memang bukan itu kampung halamanku, seperti Aminah yang dalam sekaratnya pulang ke Kebayoran. Semoga ketika waktu itu datang, yang kulihat adalah kampung halaman yang sejati. Jadi bukan dari masa lalu, bukan pula masa depan. Semoga semata gambar keabadian!
Anjrit dengan sayur kol! Tragis sekali. Kesombonganku serasa ingin berkata: “Biasa.” Tanpa tanda seru. Namun tak ayal ia menghantui juga, hampir seperti ketika aku tidak sengaja menonton Insidious atau yang semacamnya. Aku marah karena ia memanipulasi sisi psikologis audiens. Tidak sekadar menakut-nakuti, ia membuat kelompencapir mempertanyakan kewarasan sendiri; standar-standar moralnya, kepatutannya sendiri. Memang begitulah film horor dan suspens masa kini, bahkan ada istilahnya. Suspens psikologis. Hei, tapi ini ‘kan cerpen, dari pertengahan Abad ke-20 pula!
Jadi tidak cappuccino-nya. Bagaimana dengan perutmu yang tidak kunjung beres. Aku seperti Idulfitri di Kemacangondrongan ini. Aku ada dua, yakni aku dan diriku sendiri. Terkadang diriku sendiri menanyaiku. Terkadang, sebaliknya, aku yang menanyai diriku sendiri. Seringnya kami bercakap-cakap. Sayangnya, tidak seperti Idulfitri dan Namun, kami tidak lapar. Kami berdua memang sudah cenderung tidak peduli, maka aku begitu saja melepas kancing celana. Padahal jaket kubuka. Padahal agak di belakang sana ada Icha. Habis mau bagaimana lagi.
Lantas Inah dan Aminah. Uah, tidak kreatif Pram membuat nama, seperti nama-nama Portugis karangannya. Ia sendiri mengakui, mengapa Portugis bernama Spanyol. Inah dan Aminah, masing-masing mengerikan dengan caranya sendiri. Untukku yang sok relijius ini mungkin lebih ngeri Inah, meski Aminah kemungkinan mati dengan mulut bernanah terkena rajasinga, karena—dalam khayalan Pram—orang laki sudah tidak mau menidurinya seraya memandang wajahnya. Beginikah moral jaman itu? Hanya dua inikah pilihannya, missionary atau fellatio, dan tanpa “kehormatan”?
Inah bagaimana? Sebenarnya, dibanding khayalannya mengenai Aminah, Inah ini tidak ada apa-apanya. Moral bahkan sudah menerimanya jauh lebih dulu, mungkin, daripada apa yang terjadi pada Aminah. Mungkin ada gunanya bagi ilmuwan sosial sepertiku. [“Ceilah!” cibir Sobi, kakak Inah] Cara berpikir Sobi dan Inah segera mengingatkanku pada diriku sendiri yang normatif. Amboi! Bahkan di antara orang-orang hukum saja aku ekstra normatif, ekstra sok moralis. Aku harus melatih diriku agar dapat seperti Pram, melukiskan tepat seperti adanya.
…sementara mengesampingkan penilaian-penilaian moralku sendiri. Di sini tiba-tiba aku teringat sifat burukku yang lain, yakni pembual. Pembohong ‘lah, mudahnya. Bukan sekadar melebih-lebihkan, aku sering mengada-adakan kenyataan yang sebenarnya cuma ada dalam benakku yang hiperbolik. Seperti kata Iwan Goya, aku naga yang ekstrim, suka membesar-besarkan persoalan. Seperti ketika kukatakan, Fawaz sedang “crying for help.” Aku sampai malu sendiri. Tentu saja bundanya tidak suka kukatakan begitu. Bunda mana yang suka anak bujangnya dikatakan seperti itu? Tidak ada!
Ya sutra 'lah. Biarkan Waltz Terakhir ini membelai-belai hatiku, seperti yang selalu ia lakukan semenjak kecilku. Dengan lampu Funai berkelip-kelip mengindikasikan dentam-dentamnya bass, sedang rumah K28 gelap gulita; mungkin Ibu sedang memanggang kue sekaligus memasak nasi. Kenyataannya memang bukan itu kampung halamanku, seperti Aminah yang dalam sekaratnya pulang ke Kebayoran. Semoga ketika waktu itu datang, yang kulihat adalah kampung halaman yang sejati. Jadi bukan dari masa lalu, bukan pula masa depan. Semoga semata gambar keabadian!
Anjrit dengan sayur kol! Tragis sekali. Kesombonganku serasa ingin berkata: “Biasa.” Tanpa tanda seru. Namun tak ayal ia menghantui juga, hampir seperti ketika aku tidak sengaja menonton Insidious atau yang semacamnya. Aku marah karena ia memanipulasi sisi psikologis audiens. Tidak sekadar menakut-nakuti, ia membuat kelompencapir mempertanyakan kewarasan sendiri; standar-standar moralnya, kepatutannya sendiri. Memang begitulah film horor dan suspens masa kini, bahkan ada istilahnya. Suspens psikologis. Hei, tapi ini ‘kan cerpen, dari pertengahan Abad ke-20 pula!
Tok! Tok! Mengetok Pintu Sorga.
No comments:
Post a Comment