Memulai September dengan KeniJi adalah suatu penanda kegatotan Agustus yang memang tidak delapan tetapi juga tidak satu. Memulai dengan semug teh jeruk Jaipur dan roti gandum dipuntir-puntir rasa keju, mengembalikan karya klasik Koentjaraningrat untuk menggantinya dengan kumpulan cerpen, ternyata apa yang disukai adikku aku tidak. Adikku John aku Paul, dan seterusnya. Entah mengapa aku tidak pernah tertarik dengan Emha. Jangan-jangan aku memang tidak pernah tertarik pada apapun kecuali diriku sendiri. Aku hanya tertarik khayalanku sendiri.
KeniJi yang medley begini memang membuatku tidak tahu judulnya satu persatu. Apakah ini idenya seperti lobi apapun yang sejuk nyaman sedang hatiku pun nyaman dan tentu saja badan mudaku, bisa jadi. Aku tidak respek pada diriku sendiri dan siapapun yang sepertiku, hanya bisa corat-coret lantas mengaku seniman apalagi budayawan. Kenyataan bahwa aku seorang bapak, sudah itu saja; dan itu dibuat lawakan berdiri?! Dapat kurasakan kesakitan bapak itu dan mungkin juga anak perempuannya. Oh, betapa dunia!
Hari ini juga anak perempuanku memulai kuliahnya yang benar-benar kali pertama, Ilmu Negara. Bulan ini juga kedua anak perempuanku bi idznillah akan berulang tahun. Sembilan belas dan empat belas tahun masing-masingnya, Illahi Rabbi; dan aku, bapaknya, masih saja tolol sampai detik ini. Sedangkan Havana mengalun-alun begini mengingatkan betapa ketololan itu masih saja terpelihara baik sehingga kini. Rabb hamba, sungguh hamba tak berdaya sedangkan engkau Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Hamba mohon lindungilah anak-anak perempuan hamba.
Jadi lawakannya begini: Seorang Bapak menasihati anak perempuannya di New Jersey, sedang ia sendiri di Timur Tengah entah sebelah mana. 'Nak, jadilah seorang muslimah yang baik, agar kita dapat berkumpul di surga. “Surga,” gumam anak perempuan pada diri sendiri, “sedang di New Jersey sini saja kita tidak pernah berkumpul.” Masya Allah! Betapa dunia penuh kesakitan dan aku memohon pada Yang Gagah Lagi Mulia akan karunia kesehatan lahir-batin; baik kiranya kumohonkan hal itu untuk bapakku saja.
Mengapa entri di awal September ini jadi mengenai bapak? Togar Tanjung pun seorang bapak bagi Duma. Astaga, dan Fawaz Nitisemito pun suatu hari bi idznillah menjadi bapak! Kudengar September sudah mengguyurkan hujan yang lumayan lebatnya di kampung sana. Kampung halaman. Di manakah kampung halamanku? Benarkah aku merindukannya, dengan kelakuanku yang seperti ini? Benarkah aku memanggil-manggilNya, atau sekadar menipu diri selama ini? [Aduhai serius sekali kalimat-kalimat tanya ini sampai ada tandanya begini] Saksofon sopran meratap-ratap...
Bisa jadi ini pertigaan BBM di mendungnya langit, apakah mencongklang atau duduk gelisah di bangku samping pak supir gokar. Jika mencongklang apakah tujuannya Paragon di pagi yang dingin bagiku. Setelahnya bisa jadi makan siang sega mawut magelangan bo’ong-bo’ongan sementara Fawaz dengan tekunnya nithili giant fried chicken. Rabb hamba, waktu berjalan terus, hamba mohon ampun. Apa daya hamba, Rabb, kecuali denganMu Nan Maha Tinggi Lagi Agung. Berakhirnya musim panas, menjelangnya musim gugur ini pun bukti KekuasaanMu.
Ini saksofon kenapa umek begini, kalau tidak salah judulnya Pulang. Setidaknya ada memang yang judulnya begitu. Di mana pun di atas bumi Allah ini, di belahan dunia mana pun jika memang ada belahannya, aku sekadar musafir. Apa arti hidupku, begitu tanyamu. Tidak ada, kecuali aku menghamba kepadaNya sebaik-baik yang aku sanggup, demi Hikmah dan KekuasaanNya. Jangankan arti, aku tidak ada! Hanya Allah Azza wa Jalla. Allah. Allah. Allah. Allah Maha Besar. Gusti, hamba rindu panggilanMu.
KeniJi yang medley begini memang membuatku tidak tahu judulnya satu persatu. Apakah ini idenya seperti lobi apapun yang sejuk nyaman sedang hatiku pun nyaman dan tentu saja badan mudaku, bisa jadi. Aku tidak respek pada diriku sendiri dan siapapun yang sepertiku, hanya bisa corat-coret lantas mengaku seniman apalagi budayawan. Kenyataan bahwa aku seorang bapak, sudah itu saja; dan itu dibuat lawakan berdiri?! Dapat kurasakan kesakitan bapak itu dan mungkin juga anak perempuannya. Oh, betapa dunia!
Hari ini juga anak perempuanku memulai kuliahnya yang benar-benar kali pertama, Ilmu Negara. Bulan ini juga kedua anak perempuanku bi idznillah akan berulang tahun. Sembilan belas dan empat belas tahun masing-masingnya, Illahi Rabbi; dan aku, bapaknya, masih saja tolol sampai detik ini. Sedangkan Havana mengalun-alun begini mengingatkan betapa ketololan itu masih saja terpelihara baik sehingga kini. Rabb hamba, sungguh hamba tak berdaya sedangkan engkau Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Hamba mohon lindungilah anak-anak perempuan hamba.
Jadi lawakannya begini: Seorang Bapak menasihati anak perempuannya di New Jersey, sedang ia sendiri di Timur Tengah entah sebelah mana. 'Nak, jadilah seorang muslimah yang baik, agar kita dapat berkumpul di surga. “Surga,” gumam anak perempuan pada diri sendiri, “sedang di New Jersey sini saja kita tidak pernah berkumpul.” Masya Allah! Betapa dunia penuh kesakitan dan aku memohon pada Yang Gagah Lagi Mulia akan karunia kesehatan lahir-batin; baik kiranya kumohonkan hal itu untuk bapakku saja.
Mengapa entri di awal September ini jadi mengenai bapak? Togar Tanjung pun seorang bapak bagi Duma. Astaga, dan Fawaz Nitisemito pun suatu hari bi idznillah menjadi bapak! Kudengar September sudah mengguyurkan hujan yang lumayan lebatnya di kampung sana. Kampung halaman. Di manakah kampung halamanku? Benarkah aku merindukannya, dengan kelakuanku yang seperti ini? Benarkah aku memanggil-manggilNya, atau sekadar menipu diri selama ini? [Aduhai serius sekali kalimat-kalimat tanya ini sampai ada tandanya begini] Saksofon sopran meratap-ratap...
Bisa jadi ini pertigaan BBM di mendungnya langit, apakah mencongklang atau duduk gelisah di bangku samping pak supir gokar. Jika mencongklang apakah tujuannya Paragon di pagi yang dingin bagiku. Setelahnya bisa jadi makan siang sega mawut magelangan bo’ong-bo’ongan sementara Fawaz dengan tekunnya nithili giant fried chicken. Rabb hamba, waktu berjalan terus, hamba mohon ampun. Apa daya hamba, Rabb, kecuali denganMu Nan Maha Tinggi Lagi Agung. Berakhirnya musim panas, menjelangnya musim gugur ini pun bukti KekuasaanMu.
Ini saksofon kenapa umek begini, kalau tidak salah judulnya Pulang. Setidaknya ada memang yang judulnya begitu. Di mana pun di atas bumi Allah ini, di belahan dunia mana pun jika memang ada belahannya, aku sekadar musafir. Apa arti hidupku, begitu tanyamu. Tidak ada, kecuali aku menghamba kepadaNya sebaik-baik yang aku sanggup, demi Hikmah dan KekuasaanNya. Jangankan arti, aku tidak ada! Hanya Allah Azza wa Jalla. Allah. Allah. Allah. Allah Maha Besar. Gusti, hamba rindu panggilanMu.
No comments:
Post a Comment