Suteki. Mengapa ini yang melintas, tidak mungkin lebih penting dari selepung. Apa yang membuat kibor ini sering mati sehingga aku harus buting ulang, ya. Apa sebaiknya kuganti saja nama daftar-main itu agar tidak setiap saat menerbangkan angan. Apapun itu, demikianlah maka begitu saja aku mengetiki lagi di Ruang Flex seperti minggu lalu. Namun kali ini sejuk. Di dalam maupun di luar sama nyamannya, sedangkan minggu lalu masih begitulah. Apapun itu, seperti biasa, hanya perlu dijalani.
Demikianlah blog ini sesungguhnya untuk membuang kelebatan angan, bukan untuk berkomunikasi. Anganku sendiri, yang sering mengganggu ketika aku butuh konsentrasi. Akan halnya ia menjadi karya seni, itu ‘kan perasaanku saja. Tidak ada yang peduli juga, ketika bahkan Istriku sendiri tidak mau kuajak ke dalam duniaku yang muram dan sendu, namun penuh cinta ini. Mungkin memang aku saja yang tidak tahu cinta itu apa, selain semacam siang hari di kantor pusat PLN yang di CSW itu.
Lantas gudeg kinjeng atau bahkan warteg bu gendut yang serba asin itu, atau mungkin asam padeh. Uah, aku ternyata memang suka terlempar kembali. Anganku mengenai cinta dan kasih-sayang tidak lebih hanya masa lalu yang nyatanya berhasil kulewati dengan selamat. Seperti sekarang ini, terang saja kenangan dibuai cinta di awang-awang terasa sungguh nyamannya, karena aku berhasil melewatinya dengan selamat. Seperti itu. Hari-hariku di HAN terasa penuh kasih-sayang, karena memang aduhai banyaknya hari yang kulalui di situ.
Lalu rumput teki, tidak pernah benar-benar menyayangiku. Di manakah adanya, aku tidak bisa mengingatnya. Lebih dari apapun, aku gembira itu adalah engkau. Siapa engkau. Siapapun yang menyayangiku. Kau sayang padaku. Mengapa aku tidak bisa diselimuti kasih-sayang setiap waktu. Mengapa ada waktu-waktu di mana aku merasa sebatang kara berkerukup muram-durja. Mungkin karena aku masih ada di dunia fana. Kuharap begitu. Apa dengan ini aku percaya Hari Akhir, mungkin dengan imannya seekor kepik atau yang lebih hina.
Sejak kapan entri-entriku jadi begini. Apakah entri-entriku enak dibaca, seperti kumpulan-kumpulan cerpen yang kubaca ketika muda sambil mengejan. Apakah sambil mengepulkan. Semoga Jamal Abdul Gani sudah beranjak tua. Terakhir kulihat dia memang bertambah tua seperti semua saja. Mereka tidak mau mengerti. Ini hidup yang mudah, mudah dijalani. Kamu, ya, kamu. Selain rambutmu kalah cantik, tidak masuk akal jika interlude berupa hembusan klarinet ini saja sudah membelai. Lantas aku ingat nabinya Karim yang sudah tua itu...
Mengapa entriku jadi begini, mengapa Ibu Lia berhenti merangkai bunga. Asepteven, mengerikan! Aku sudah terbiasa denganmu. Itulah yang menumbuhkan cinta kasih. Kesediaanmu untuk selalu ada untukku. Apa ada. Engkau bersikeras, aku tidak merasa. Mungkin memang aku sebuah lubang besar. Kosong. Gelap menganga, nan tak kunjung penuh diisi apapun. Mungkin aku memang harus puas dengan apa yang ada, tanpa sekalipun lagi berkata gapapa. Aduhai ini una paloma blanca memang boa edan, lebih edan dari mliwis goreng!
Kurasa tidak mungkin lagi ada senyum yang lebih cantik dari ini, meski begitu saja berkelebat senyuman seulas jaksa, jika boleh disebut begitu. Ia pandai tersenyum, Anak-anakku. Hiasilah dunia fana ini dengan senyuman tertulusmu. Biarkan Jalan Raya Lenteng Agung di depan Universitas Pancasila terasa nyaman dan teduh. Tidak perlu lengang asal lancar, karena kalau lengang mungkin di gelapnya malam; dan ini mungkin terasa sedikit melangutkan. Malam-malam sebaiknya di dalam kamar tidur yang nyaman, meski sederhana saja.
Demikianlah blog ini sesungguhnya untuk membuang kelebatan angan, bukan untuk berkomunikasi. Anganku sendiri, yang sering mengganggu ketika aku butuh konsentrasi. Akan halnya ia menjadi karya seni, itu ‘kan perasaanku saja. Tidak ada yang peduli juga, ketika bahkan Istriku sendiri tidak mau kuajak ke dalam duniaku yang muram dan sendu, namun penuh cinta ini. Mungkin memang aku saja yang tidak tahu cinta itu apa, selain semacam siang hari di kantor pusat PLN yang di CSW itu.
Lantas gudeg kinjeng atau bahkan warteg bu gendut yang serba asin itu, atau mungkin asam padeh. Uah, aku ternyata memang suka terlempar kembali. Anganku mengenai cinta dan kasih-sayang tidak lebih hanya masa lalu yang nyatanya berhasil kulewati dengan selamat. Seperti sekarang ini, terang saja kenangan dibuai cinta di awang-awang terasa sungguh nyamannya, karena aku berhasil melewatinya dengan selamat. Seperti itu. Hari-hariku di HAN terasa penuh kasih-sayang, karena memang aduhai banyaknya hari yang kulalui di situ.
Lalu rumput teki, tidak pernah benar-benar menyayangiku. Di manakah adanya, aku tidak bisa mengingatnya. Lebih dari apapun, aku gembira itu adalah engkau. Siapa engkau. Siapapun yang menyayangiku. Kau sayang padaku. Mengapa aku tidak bisa diselimuti kasih-sayang setiap waktu. Mengapa ada waktu-waktu di mana aku merasa sebatang kara berkerukup muram-durja. Mungkin karena aku masih ada di dunia fana. Kuharap begitu. Apa dengan ini aku percaya Hari Akhir, mungkin dengan imannya seekor kepik atau yang lebih hina.
Sejak kapan entri-entriku jadi begini. Apakah entri-entriku enak dibaca, seperti kumpulan-kumpulan cerpen yang kubaca ketika muda sambil mengejan. Apakah sambil mengepulkan. Semoga Jamal Abdul Gani sudah beranjak tua. Terakhir kulihat dia memang bertambah tua seperti semua saja. Mereka tidak mau mengerti. Ini hidup yang mudah, mudah dijalani. Kamu, ya, kamu. Selain rambutmu kalah cantik, tidak masuk akal jika interlude berupa hembusan klarinet ini saja sudah membelai. Lantas aku ingat nabinya Karim yang sudah tua itu...
Mengapa entriku jadi begini, mengapa Ibu Lia berhenti merangkai bunga. Asepteven, mengerikan! Aku sudah terbiasa denganmu. Itulah yang menumbuhkan cinta kasih. Kesediaanmu untuk selalu ada untukku. Apa ada. Engkau bersikeras, aku tidak merasa. Mungkin memang aku sebuah lubang besar. Kosong. Gelap menganga, nan tak kunjung penuh diisi apapun. Mungkin aku memang harus puas dengan apa yang ada, tanpa sekalipun lagi berkata gapapa. Aduhai ini una paloma blanca memang boa edan, lebih edan dari mliwis goreng!
Kurasa tidak mungkin lagi ada senyum yang lebih cantik dari ini, meski begitu saja berkelebat senyuman seulas jaksa, jika boleh disebut begitu. Ia pandai tersenyum, Anak-anakku. Hiasilah dunia fana ini dengan senyuman tertulusmu. Biarkan Jalan Raya Lenteng Agung di depan Universitas Pancasila terasa nyaman dan teduh. Tidak perlu lengang asal lancar, karena kalau lengang mungkin di gelapnya malam; dan ini mungkin terasa sedikit melangutkan. Malam-malam sebaiknya di dalam kamar tidur yang nyaman, meski sederhana saja.
Apa yang dapat kulakukan?
No comments:
Post a Comment