Selepas sahur di hari keduapuluh empat ini, aku jongkok sambil memeriksa memori pesbuk hari ini sampai tertumbuk pada album foto Goklas berjudul 91. Masya Allah, hampir tigapuluh tahun yang lalu. Betapa banyak sudah waktu diberikan untukku, berapa banyak bekal yang sudah terkumpul? Sedangkan Baron Depari masih saja begitu. Haruskah kudoakan, meski ia berasal dari rentang waktu yang lain lagi. 910323, 940352, 059600043X dan ada yang 02 meski aku tidak yakin akan ingatanku, lalu kini 051003007.
Berbicara mengenai 91 tidak ayal membawa kenangan pada Bapak dan Ibu, kerinduan-kerinduan mana kutuangkan dan menjadi ilham tercetusnya blog ini. Pernah kukatakan, aku adalah Bapak dan Ibuku; lagu-lagu, terutama lagu Ibu seperti yang tengah menemaniku kini; dan, buku-buku yang pernah kubaca. Akan halnya 91 jelas Bapaklah yang membuatku menjadi 910323. Segala sesuatu mengenainya harus dinisbatkan pada Bapak; apakah itu kemudian Pak Try Sutrisno, Pak Kentot Harseno, Pak Sadja Moeljoredjo dan tentu saja Pak Teddy Rusdy.
Bapak memberi arah ke mana aku harus mencelat meluncur. Ibu memberi landasan untukku berpijak memancal. Cantik menjadi udara yang berkesiuran menghangatkan di sekitarku. Inilah puji-pujian untuk cinta, yang dalam keadaannya yang fana saja sudah demikian agungnya; betapatah Cinta! Sungguh, Pak, penggambaran Quran mengenai surga itu sangat indah, meski tentu saja saya tidak berani berkhayal mendapatkannya. Sungguh, cukuplah sekiranya hamba menjadi seekor kumbang atau kepik atau yang lebih sepele dari itu di sana, sepasang dengan Cantik...
Jadi tidak usah terlalu risau dan khawatir, Pak, apalagi selama masih di dunia ini. Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, bidadari-bidadari bermata jeli, dan segala rincian lainnya, mengapa harus risau? Seandainya benar ihtisab berarti semata mengharap balasan dariNya, tidakkah itu semua teramat sangat memuliakan, apalagi mengingat tumpukan dosa yang mengerikan. Inilah yang harus dirisaukan benar. Mengapa aku berpuasa, betulkah semata mengharap balasan dariNya, atau sekadarnya saja agar tidak berbeda dari yang lainnya, sekadar ikut-ikutan saja.
Awalnya tentu saja tidak seperti ini. Tadinya aku ingin fokus pada kenangan-kenanganku hampir tiga puluh tahun lalu, namun apa gunanya? Bukan ketakberdayaanku benar yang menyedihkanku, jika aku ingat masa-masa remajaku, apalagi kegemilangan dan keceriaan yang telah hilang entah ke mana; melainkan kenangan betapa ketika itu Bapak Ibu masih muda perkasa, usaha Bapak Ibu yang keras tak kenal berhenti tak kunjung menyerah membesarkan kami anak-anaknya, sedangkan kini Bapak Ibu sudah terlihat tua, lemah dan terus melemah.
Sedangkan aku tidak kunjung juga sanggup menjadi tempat Bapak Ibu bersandar dan bergantung, sebagaimana dahulu aku bergantung dan bersandar kepada Bapak Ibu. Lebih dari sekadar kebutuhan makan dan minum, Bapak Ibu selalu menjadi sumber rasa nyamanku, kekuatan hatiku, bahkan kini setelah aku setua ini dan Bapak Ibu tentu lebih sepuh lagi. Ya Allahu ash-Shomad, memang hanya kepada Engkaulah segala sesuatu bergantung dan bersandar. Hamba memohon kepadaMu, kasihilah Bapak Ibu sebagaimana mereka mengasihi hamba sedari kecil.
Ramadhan sudah menua, bulannya sudah setipis senyuman. Insya Allah tahun ini pun, seperti tahun lalu, dan tahun-tahun yang akan datang sampai habis tahun-tahunku, tidak akan ada lagi entri berjudul Ramadhan yang pergi karena kuabaikan. Meski tidak berarti juga Ramadhanku kini lebih baik dari tahun lalu, bagaimana aku bisa tahu? Usahakan saja sebaik mungkin, dengan segala keterbatasan yang ada. Aduhai betapa mulianya dikau Ramadhan. Janganlah cepat-cepat berlalu. Jikapun berlalu segeralah kiranya menjelang kembali dengan segala kemulianmu.
Berbicara mengenai 91 tidak ayal membawa kenangan pada Bapak dan Ibu, kerinduan-kerinduan mana kutuangkan dan menjadi ilham tercetusnya blog ini. Pernah kukatakan, aku adalah Bapak dan Ibuku; lagu-lagu, terutama lagu Ibu seperti yang tengah menemaniku kini; dan, buku-buku yang pernah kubaca. Akan halnya 91 jelas Bapaklah yang membuatku menjadi 910323. Segala sesuatu mengenainya harus dinisbatkan pada Bapak; apakah itu kemudian Pak Try Sutrisno, Pak Kentot Harseno, Pak Sadja Moeljoredjo dan tentu saja Pak Teddy Rusdy.
Bapak memberi arah ke mana aku harus mencelat meluncur. Ibu memberi landasan untukku berpijak memancal. Cantik menjadi udara yang berkesiuran menghangatkan di sekitarku. Inilah puji-pujian untuk cinta, yang dalam keadaannya yang fana saja sudah demikian agungnya; betapatah Cinta! Sungguh, Pak, penggambaran Quran mengenai surga itu sangat indah, meski tentu saja saya tidak berani berkhayal mendapatkannya. Sungguh, cukuplah sekiranya hamba menjadi seekor kumbang atau kepik atau yang lebih sepele dari itu di sana, sepasang dengan Cantik...
Jadi tidak usah terlalu risau dan khawatir, Pak, apalagi selama masih di dunia ini. Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, bidadari-bidadari bermata jeli, dan segala rincian lainnya, mengapa harus risau? Seandainya benar ihtisab berarti semata mengharap balasan dariNya, tidakkah itu semua teramat sangat memuliakan, apalagi mengingat tumpukan dosa yang mengerikan. Inilah yang harus dirisaukan benar. Mengapa aku berpuasa, betulkah semata mengharap balasan dariNya, atau sekadarnya saja agar tidak berbeda dari yang lainnya, sekadar ikut-ikutan saja.
Awalnya tentu saja tidak seperti ini. Tadinya aku ingin fokus pada kenangan-kenanganku hampir tiga puluh tahun lalu, namun apa gunanya? Bukan ketakberdayaanku benar yang menyedihkanku, jika aku ingat masa-masa remajaku, apalagi kegemilangan dan keceriaan yang telah hilang entah ke mana; melainkan kenangan betapa ketika itu Bapak Ibu masih muda perkasa, usaha Bapak Ibu yang keras tak kenal berhenti tak kunjung menyerah membesarkan kami anak-anaknya, sedangkan kini Bapak Ibu sudah terlihat tua, lemah dan terus melemah.
Sedangkan aku tidak kunjung juga sanggup menjadi tempat Bapak Ibu bersandar dan bergantung, sebagaimana dahulu aku bergantung dan bersandar kepada Bapak Ibu. Lebih dari sekadar kebutuhan makan dan minum, Bapak Ibu selalu menjadi sumber rasa nyamanku, kekuatan hatiku, bahkan kini setelah aku setua ini dan Bapak Ibu tentu lebih sepuh lagi. Ya Allahu ash-Shomad, memang hanya kepada Engkaulah segala sesuatu bergantung dan bersandar. Hamba memohon kepadaMu, kasihilah Bapak Ibu sebagaimana mereka mengasihi hamba sedari kecil.
Ramadhan sudah menua, bulannya sudah setipis senyuman. Insya Allah tahun ini pun, seperti tahun lalu, dan tahun-tahun yang akan datang sampai habis tahun-tahunku, tidak akan ada lagi entri berjudul Ramadhan yang pergi karena kuabaikan. Meski tidak berarti juga Ramadhanku kini lebih baik dari tahun lalu, bagaimana aku bisa tahu? Usahakan saja sebaik mungkin, dengan segala keterbatasan yang ada. Aduhai betapa mulianya dikau Ramadhan. Janganlah cepat-cepat berlalu. Jikapun berlalu segeralah kiranya menjelang kembali dengan segala kemulianmu.
No comments:
Post a Comment