Woy, 'nulis, woy! Dalam Bahasa Inggris! Aduh, mana ini lagu menye banget lagi di kuping. Ingat, pakai kibor blutut ini (awas! blutut bukan butut) jangan terlampau semangat. Harus mengetuk-ngetuk berirama macam burung pelatuk begitu. Asaptaga, jangan Asepteven terus. Uah, bahaya bener ini lah lagu-lagu menye penyumpal kuping. Ternyata memang menulis itu harus serasa berkobar-kobar, seperti berbicara. [tapi yang seperti itu 'kan menyakiti] Entahlah aku sudah tidak tahu lagi. Sangat bisa jadi ini karena shalatku kacau. Ya, kuakui perasaan hatiku kacau di hari ulang tahun Cantik ini.
Seperti biasa memang tidak ada hubungannya. Seperti biasa memang nanti pada waktunya semua beres dengan sendirinya. Kini sudah hampir jam dua siang di kubikel korban rezim yang kesohor itu dan aku tidak bisa percaya mataku sendiri. Menemaniku adalah mug Maxx Coffee yang disuruh Pak Mono menggantikan mug Sutasomaku yang hilang entah ke mana, berisikan susu jahe Anget Sari bertabur Nescafe Classic. Ternyata aku masih belum bisa melepaskanmu. Betapa ia merundungku, tidak mau pergi. [Mengapa kalian tidak baik-baik saja sih semuanya agar aku tidak merana begini?]
Setiap hari dan setiap malam, sebenarnya selalu saja muncul ide untuk entri. Seperti tempo hari ketika makan nasi uduk malam aku ingin membandingkannya dengan nasi uduk Mpok Mar. Akan tetapi, emangnya ini blog makanan? Bukan. Apalagi blog religi. Ini blog entah-entah. Oh, semakin kuikuti perasaan hatiku semakin kacau ia menjadi. Apa benar yang kurasakan ini? Kekecewaan? Kemasygulan? Apa? Ini juga bukan kumpulan cerpen macam "Terang Bulan, Terang di Kali. Cerita Keliling Jakarta" karya SM Ardan yang dikumpulkan Bang JJ Rizal, apalagi data pendongeng. No!
Dunia anak. Pecinta anak. Pemerhati anak. Hahaha, betul-betul terdengar seperti Mat Gagal buatku. Mantap lah tokoh rekaan SM Ardan itu. Tentu saja pernah terlintas dalam benakku, suatu hari nanti akan ada yang mengurasi blog ini. Berbeda dengan SM Ardan yang mencipta banyak tokoh, meski sudah dua kali Icang dan Masenun, blog ini semata tentangku yang tidak lebih tolol dari Sukabnya Seno Gumira. Aku menyandingkan diriku sendiri dengan mereka? Apa tidak terdengar seperti politikus berjiwa besar? Mirip-mirip sih. Namun ini semua tentang kesakitannya secercah jiwa. Aku.
Lantas apa feadahnya di 15 Januari ini menulisi? Tidak, sepatah pun tentang mereka tidak akan terucap, tidak di sini, tidak di mana pun. Meski kacau suasana hatiku, meski tidak kunjung menulis dalam Bahasa Inggris, tidak akan terucap, tidak akan tertulis mengenai itu. Bisa jadi ini masalah hormonal. Bisa jadi kadar testosteron sudah sangat berkurang, semacam biji dipites agar keluar jubeknya begitu. Tidak menjadi apa. Kesakitan jiwa dan kesakitan raga, sedang Ki Dalang Slamet Gundono sudah meninggalkan raga tambunnya, yang sangat bisa jadi menyakitinya. Setiap waktu.
Uah, cinta harus terus dihidupi. Pada siapa? Malu aku mengatakan cinta kepadaNya. Aku, jangan-jangan, hanya cinta pada diriku sendiri. Diri rendahku, maka aku didera nestapa, dirundung duka begini. Sedihnya menandingi rasa menghabiskan sebungkus roti kasino dengan sepanci kolak durian bagiku. Masya Allah, ingin rasanya aku menghambur pada Bapak Ibu, memeluk mereka seperti kambing melakukan pelukan keluarga. (family hug) Semuanya menyakitiku, Oh Allah Gusti. Ini lagi nyela-nyela. Kamu tidak bisa nyanyi, tidak usah ikut-ikut! Enyah kau dari hidup dan kenanganku!
Sudah, sudah. Mari segera kita akhiri. Apanya? Belum. Habis ini masih ada. Jangan. Tolol! Apa coba habis ini? Godverdomme! Untung aku tidak mengerti Tagalog. Apakah keriting, seingatku iya. Apakah pink, bisa jadi. Selebihnya nanah, nanah dan nanah tidak henti-henti. Bercampur darah. Busuk, anyir. Aku tersesat dalam cinta. Qodir, pernahkah? Ah, Habib Qodir sudah Haji. Aku kapan? Aku ingin? Akankah terampuni, akankah dihapus dengan cara yang baik dan tidak menyakitkan? Adakah yang mengerti atau bahkan sekadar peduli? Seekor kodok budug membeku dalam freezer...
Seperti biasa memang tidak ada hubungannya. Seperti biasa memang nanti pada waktunya semua beres dengan sendirinya. Kini sudah hampir jam dua siang di kubikel korban rezim yang kesohor itu dan aku tidak bisa percaya mataku sendiri. Menemaniku adalah mug Maxx Coffee yang disuruh Pak Mono menggantikan mug Sutasomaku yang hilang entah ke mana, berisikan susu jahe Anget Sari bertabur Nescafe Classic. Ternyata aku masih belum bisa melepaskanmu. Betapa ia merundungku, tidak mau pergi. [Mengapa kalian tidak baik-baik saja sih semuanya agar aku tidak merana begini?]
Setiap hari dan setiap malam, sebenarnya selalu saja muncul ide untuk entri. Seperti tempo hari ketika makan nasi uduk malam aku ingin membandingkannya dengan nasi uduk Mpok Mar. Akan tetapi, emangnya ini blog makanan? Bukan. Apalagi blog religi. Ini blog entah-entah. Oh, semakin kuikuti perasaan hatiku semakin kacau ia menjadi. Apa benar yang kurasakan ini? Kekecewaan? Kemasygulan? Apa? Ini juga bukan kumpulan cerpen macam "Terang Bulan, Terang di Kali. Cerita Keliling Jakarta" karya SM Ardan yang dikumpulkan Bang JJ Rizal, apalagi data pendongeng. No!
Dunia anak. Pecinta anak. Pemerhati anak. Hahaha, betul-betul terdengar seperti Mat Gagal buatku. Mantap lah tokoh rekaan SM Ardan itu. Tentu saja pernah terlintas dalam benakku, suatu hari nanti akan ada yang mengurasi blog ini. Berbeda dengan SM Ardan yang mencipta banyak tokoh, meski sudah dua kali Icang dan Masenun, blog ini semata tentangku yang tidak lebih tolol dari Sukabnya Seno Gumira. Aku menyandingkan diriku sendiri dengan mereka? Apa tidak terdengar seperti politikus berjiwa besar? Mirip-mirip sih. Namun ini semua tentang kesakitannya secercah jiwa. Aku.
Lantas apa feadahnya di 15 Januari ini menulisi? Tidak, sepatah pun tentang mereka tidak akan terucap, tidak di sini, tidak di mana pun. Meski kacau suasana hatiku, meski tidak kunjung menulis dalam Bahasa Inggris, tidak akan terucap, tidak akan tertulis mengenai itu. Bisa jadi ini masalah hormonal. Bisa jadi kadar testosteron sudah sangat berkurang, semacam biji dipites agar keluar jubeknya begitu. Tidak menjadi apa. Kesakitan jiwa dan kesakitan raga, sedang Ki Dalang Slamet Gundono sudah meninggalkan raga tambunnya, yang sangat bisa jadi menyakitinya. Setiap waktu.
Uah, cinta harus terus dihidupi. Pada siapa? Malu aku mengatakan cinta kepadaNya. Aku, jangan-jangan, hanya cinta pada diriku sendiri. Diri rendahku, maka aku didera nestapa, dirundung duka begini. Sedihnya menandingi rasa menghabiskan sebungkus roti kasino dengan sepanci kolak durian bagiku. Masya Allah, ingin rasanya aku menghambur pada Bapak Ibu, memeluk mereka seperti kambing melakukan pelukan keluarga. (family hug) Semuanya menyakitiku, Oh Allah Gusti. Ini lagi nyela-nyela. Kamu tidak bisa nyanyi, tidak usah ikut-ikut! Enyah kau dari hidup dan kenanganku!
Sudah, sudah. Mari segera kita akhiri. Apanya? Belum. Habis ini masih ada. Jangan. Tolol! Apa coba habis ini? Godverdomme! Untung aku tidak mengerti Tagalog. Apakah keriting, seingatku iya. Apakah pink, bisa jadi. Selebihnya nanah, nanah dan nanah tidak henti-henti. Bercampur darah. Busuk, anyir. Aku tersesat dalam cinta. Qodir, pernahkah? Ah, Habib Qodir sudah Haji. Aku kapan? Aku ingin? Akankah terampuni, akankah dihapus dengan cara yang baik dan tidak menyakitkan? Adakah yang mengerti atau bahkan sekadar peduli? Seekor kodok budug membeku dalam freezer...
No comments:
Post a Comment