Sungguh aku merasa sayang membunyikan musik, ketika di kejauhan masih terdengar suara orang membaca Quran di mesjid meski lamat-lamat. Siapa tahu, suasana seperti ini akan kutinggalkan barang beberapa jenak, sampai-sampai aku akan merindukannya. Harapan. Mengapa aku berharap-harap? Mengapa aku merasa seakan-akan berhak atas itu semua hatta berharap? Sedangkan berat, sulit itu semua datang padaku. Ingin aku tidak berharap, namun tak kuasa. Tidak tega, tepatnya. Aku harus berharap, karena aku diharap-harapkan. Begitulah. Aku sendiri? Entahlah.
Mau tak mau kumainkan juga akhirnya Kembali ke Garis Depan-nya Lionel Richie. Kenangan dari masa muda. Kekecewaan. Kesulitan. Ngeri sekali aku merekam ini semua. Ini tidak seharusnya direkam dalam Kemacangondrongan. Tidakkah Kemacangondrongan sudah merekam merosotnya diriku menuju titik nadir? Perlahan tapi pasti. Adakah terekam juga puncaknya? Tadi sudah kuperiksa, tapi tepat pada saat itu juga aku meluncur terjun bebas. Tiada sekolosal waktu-waktu sesudahnya, sih, tapi memang sudah terasa kemerosotannya. Aduhai, ingin sekali—seandainya bisa—aku menghela nafas panjang.
Ah, mungkin lebih baik aku merekam apa yang terjadi padaku hari ini, yang bisa dimulai dari Farid Hanggawan. Lalu Togar Tanjung. Kalian. Apa sebaiknya kudoakan kalian agar jangan sampai mengalami apa yang harus kujalani? Kalian jelas lebih baik dariku. Aku... gila. Klise sekali kata ini terdengar. Tolol? Pengecut? Apa lagi? Yah, semua itu lebih tepat untuk menggambarkanku. Si Tolol yang... ah, tak terucapkan pagi-pagi yang menyapu halaman... sudah hanya ini yang sanggup terkatakan. Sisanya pasti meratap-ratap minta ampun.
Aduhai, begini betul! Sedangkan Marapulai muncul begitu saja disambut Komendan, aku lantas hanya melangkah ke Barel. Gontai, menyadari bahwa ini bukan Barel yang biasanya. Barel yang kurindukan namun kena’apa juga? Semacam penyapuan halaman, lalu permintaan boneka yang seperti itu, kemudian Sasari. Mengapa tidak Padaringan, ada sedikit penyesalan. Ibunya yang maju, sehingga telor ceplok pedas, tahu, capcai, kuah-kuah entah-entah, tahu goreng dua. Lima belas ribu Rupiah. Entah apa sebabnya sesaset Sari Wangi dan seprapat gula. Enam ribu pula.
Lihat, jika kau tidak bercakap-cakap dengan seseorang, percakapan yang cukup berarti, beginilah akibatnya. Aku mudah kesepian semakin tua begini. Bagaimana dengan Bapak? Ya Allah, gembirakanlah hati Bapak hamba, sehatkanlah badannya. Entri ini terasa seperti tidak menulisi. Ini semata karena aku kesepian yang teramat sangat, sampai-sampai tidak tahu lagi harus bagaimana kecuali menulis entri; karena menulis yang lainnya aku sudah tidak sanggup lagi. Mengapa tidak membaca? Itu butuh suasana hati yang lain lagi, yang baik tentunya.
Tidak. Aku tidak menggugat. Aku hanya meratap. Apa yang kuratapi? Kutahankan saja. Mau bagaimana lagi? Lihatlah. Aku bahkan sudah tidak sanggup bersenang-senang dengan kata-kata, temanku yang tersisa. Aku butuh teman, namun kubatasi diriku sendiri. Semakin tua begini harus hati-hati berteman jika tidak mau kena kulit durian, terlebih yang habis digunakan cuci tangan pemakan durian. Jijik! Berteman sepi? Itu ‘kan gaya-gaya’an jaman muda. Setua ini, gagasan itu terdengar sangat mengerikan, karena sepi berteman kecewa dan gresula.
Setidaknya, meski perut terasa penuh terisi tahu, pangsit, baso ikan dan sapi, rasanya seperti mengantuk. Ini bagus! Istirahat malam yang nyaman adalah anugerah yang sungguh indah. Ketika terbangun sahur nanti, sudah menunggu mie hijau jamur atau kalau enggan bisa kembali ke nasi berlauk sambel goreng tahu baso kakap bikinan sendiri. Terlebih penting, Ustadz Quraish masih akan membabar tafsir surat Yasin. Beginilah harapan. Tidak usahlah berjengit membayangkan bintang tamu atau Alvin Adam-nya sekali, atau pertanyaan masyarakat. Namanya juga tivi.
Mau tak mau kumainkan juga akhirnya Kembali ke Garis Depan-nya Lionel Richie. Kenangan dari masa muda. Kekecewaan. Kesulitan. Ngeri sekali aku merekam ini semua. Ini tidak seharusnya direkam dalam Kemacangondrongan. Tidakkah Kemacangondrongan sudah merekam merosotnya diriku menuju titik nadir? Perlahan tapi pasti. Adakah terekam juga puncaknya? Tadi sudah kuperiksa, tapi tepat pada saat itu juga aku meluncur terjun bebas. Tiada sekolosal waktu-waktu sesudahnya, sih, tapi memang sudah terasa kemerosotannya. Aduhai, ingin sekali—seandainya bisa—aku menghela nafas panjang.
Ah, mungkin lebih baik aku merekam apa yang terjadi padaku hari ini, yang bisa dimulai dari Farid Hanggawan. Lalu Togar Tanjung. Kalian. Apa sebaiknya kudoakan kalian agar jangan sampai mengalami apa yang harus kujalani? Kalian jelas lebih baik dariku. Aku... gila. Klise sekali kata ini terdengar. Tolol? Pengecut? Apa lagi? Yah, semua itu lebih tepat untuk menggambarkanku. Si Tolol yang... ah, tak terucapkan pagi-pagi yang menyapu halaman... sudah hanya ini yang sanggup terkatakan. Sisanya pasti meratap-ratap minta ampun.
Aduhai, begini betul! Sedangkan Marapulai muncul begitu saja disambut Komendan, aku lantas hanya melangkah ke Barel. Gontai, menyadari bahwa ini bukan Barel yang biasanya. Barel yang kurindukan namun kena’apa juga? Semacam penyapuan halaman, lalu permintaan boneka yang seperti itu, kemudian Sasari. Mengapa tidak Padaringan, ada sedikit penyesalan. Ibunya yang maju, sehingga telor ceplok pedas, tahu, capcai, kuah-kuah entah-entah, tahu goreng dua. Lima belas ribu Rupiah. Entah apa sebabnya sesaset Sari Wangi dan seprapat gula. Enam ribu pula.
Lihat, jika kau tidak bercakap-cakap dengan seseorang, percakapan yang cukup berarti, beginilah akibatnya. Aku mudah kesepian semakin tua begini. Bagaimana dengan Bapak? Ya Allah, gembirakanlah hati Bapak hamba, sehatkanlah badannya. Entri ini terasa seperti tidak menulisi. Ini semata karena aku kesepian yang teramat sangat, sampai-sampai tidak tahu lagi harus bagaimana kecuali menulis entri; karena menulis yang lainnya aku sudah tidak sanggup lagi. Mengapa tidak membaca? Itu butuh suasana hati yang lain lagi, yang baik tentunya.
Tidak. Aku tidak menggugat. Aku hanya meratap. Apa yang kuratapi? Kutahankan saja. Mau bagaimana lagi? Lihatlah. Aku bahkan sudah tidak sanggup bersenang-senang dengan kata-kata, temanku yang tersisa. Aku butuh teman, namun kubatasi diriku sendiri. Semakin tua begini harus hati-hati berteman jika tidak mau kena kulit durian, terlebih yang habis digunakan cuci tangan pemakan durian. Jijik! Berteman sepi? Itu ‘kan gaya-gaya’an jaman muda. Setua ini, gagasan itu terdengar sangat mengerikan, karena sepi berteman kecewa dan gresula.
Setidaknya, meski perut terasa penuh terisi tahu, pangsit, baso ikan dan sapi, rasanya seperti mengantuk. Ini bagus! Istirahat malam yang nyaman adalah anugerah yang sungguh indah. Ketika terbangun sahur nanti, sudah menunggu mie hijau jamur atau kalau enggan bisa kembali ke nasi berlauk sambel goreng tahu baso kakap bikinan sendiri. Terlebih penting, Ustadz Quraish masih akan membabar tafsir surat Yasin. Beginilah harapan. Tidak usahlah berjengit membayangkan bintang tamu atau Alvin Adam-nya sekali, atau pertanyaan masyarakat. Namanya juga tivi.
No comments:
Post a Comment