Iya. Kurang baik. Padahal ini jelas-jelas Rajab, bulannya Allah. Padahal seharusnya memperbanyak istighfar. Rabbighfirli warhamni watubalayya. Begitu berulang-ulang sembari menunggu datangnya shubuh. Ini apa? Shubuh jam berapa? Malu sama ayam! Nanti kemaluannya dipatuk ayam. Nanti kepala kudanya tertimpa mempelam. Mati nanti. Padahal setiap seperentah-berapa detik nikmat Allah selalu tercurah. Masih durhaka saja. Jangan begitu 'ya. Tidak pantas. Kurang ajar. Perbaikilah adabmu kepada Allah yang Maha Baik, Maha Pengasih lagi Penyayang.
Tidakkah seharusnya berterima kasih telah dimulai beberapa paragraf awal dari Mengapa Mempelajari Hukum Adat? Meski rasanya seperti aneh, tapi tidak tahu harus bagaimana lagi selain itu 'kan? Itulah. Seandainya sepenuhnya terpulang padaku, aku lebih suka, seperti Raden Ajeng Kartini, merguru pada Kyai Sholeh Darat. Meski di jaman seperti ini semua terasa edan saja, akan tetapi, mengapa tidak mencoba membersihkan jiwa; sedangkan ia diciptakan dengan sempurna. Meski diilhamkan padanya taqwa dan fujur, toh manusia dimampukan memilih?
Apa? Cari uang saja? Tetangga meningkat rumah terlihat mewah? Tentu saja. Berapa banyak pilihanku? "Kita semua ini sekadar diperjalankan," begitu ngendikane Pakde Lentu. Seperti bola dipukul ke sana ke mari oleh pemain polo, tanpa bisa melawan, tanpa bisa meminta dipukul ke mana, apalagi sampai berhenti jangan dipukul lagi. Toh masih bisa memilih. Wirid yang biasa kembali dibiasakan dan perjuangkanlah shubuh, masih bisa dipilih. Semua sekadar pilihan, semua sekadar kebiasaan. Maka hati-hatilah, waspadalah dengan kebiasaan-kebiasaan.
Ingin rumah tingkat. Bukan. Bukan itu sebenarnya. Dari dulu selalu hanya gardu belajar, jika ruang belajar terasa terlalu mewah. Tidak pantas seorang marhaenis belajar di ruang, tetapi jangan pula sampai tidak ada sama sekali. Maka gardulah setidaknya. Hanya ini bisanya. Mencangkul tidak sanggup. Memikul tidak kuasa. Hanya membaca dan menulis, seperti diinginkan sejak kanak-kanak. Apakah ingin sendiri, atau diinginkan, tidak penting lagi. Akung mendoakan, meng-gadang-gadang, menjadi pemikir. Apa ada gunanya? Demi Akung, demi Ibu, demi Bapak, Insya Allah ada!
Kasihan Para Pendiri Negara, dilupakan begitu saja oleh anak cucunya. Aku pun terkadang merasa bersalah kepada Pak AB Kusuma. Dulu aku tega berolok-olok mengenai hal itu, ketika jauh lebih muda dari sekarang. Aku sekarang tua, sudah banyak keterbatasan. Dapat kurasakan, yang tersisa hanya semangat. Semangat memang tak kunjung padam. Oleh itu, dengan tenaga yang tersisa, semangat harus diberi wujud, direalisasikan! Semangat tanpa wujud sekadar roh gentayangan. Naudzubillah! Jangan-jangan sudah terlalu banyak sehingga kini.
Penyebabnya, Amanat Penderitaan Rakyat tidak kunjung ditunaikan! Amanat Penderitaan Rakyat yang seharusnya menjadi azimat. Itulah semangatku. Sedangkan kakeknya saja belum berhasil dientaskan dari penderitaan, sudah terburu mati. Bapaknya pun begitu, belum mentas dari penderitaan sudah mati. Anaknya pun begitu, mungkin akan mati dalam penderitaan seperti bapak dan kakeknya. Ini cucunya keleleran di jalan. Daripada sekolah, ia lebih suka mengulurkan tangan di jalanan. Entah mengemis, entah berkecrek-kecrek. Rentan segala macam bahaya jalanan.
Inilah Amanat Penderitaan Rakyat! Hoi, para pemimpin, para penyelenggara negara, para penyelenggara pemerintahan, apa yang kalian kerjakan ke jurusan ini? Heladhalah, kalian malah sibuk sendiri-sendiri. Sibuk dengan bidang keahlian masing-masing. Lebih parah lagi, sibuk menggendutkan rekening masing-masing! Apakah ini jaman edan? Apakah aku sedang tidak ikut-ikutan ngedan? Bagaimana kalau tanpa sepengetahuanku, ternyata aku juga ngedan? Naudzubillah tsumma naudzubillah! ...meski aku takut juga kalau sama sekali tidak keduman...
Jangan-jangan aku sekadar haufs. Jangan-jangan aku hanya perlu minta fefofan. Nah, mustahil-lah sama sekali tidak keduman. Astaghfirullah! Rabighfirli warhamni watubalayya! Wahai Tuhan hamba, hamba bukanlah ahli surga, tapi hamba tidak kuat dalam neraka jahim. Maka karuniakanlah kepada hamba taubat dan ampunilah dosa hamba. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar. Dan lazimkanlah apa yang lebih berharga dari langit dan bumi seisinya itu. Dan panjangkanlah wirid setelahnya. Dan songsonglah segera apa yang telah disediakan untukmu oleh Sang Maha Baik.
Tidakkah seharusnya berterima kasih telah dimulai beberapa paragraf awal dari Mengapa Mempelajari Hukum Adat? Meski rasanya seperti aneh, tapi tidak tahu harus bagaimana lagi selain itu 'kan? Itulah. Seandainya sepenuhnya terpulang padaku, aku lebih suka, seperti Raden Ajeng Kartini, merguru pada Kyai Sholeh Darat. Meski di jaman seperti ini semua terasa edan saja, akan tetapi, mengapa tidak mencoba membersihkan jiwa; sedangkan ia diciptakan dengan sempurna. Meski diilhamkan padanya taqwa dan fujur, toh manusia dimampukan memilih?
Apa? Cari uang saja? Tetangga meningkat rumah terlihat mewah? Tentu saja. Berapa banyak pilihanku? "Kita semua ini sekadar diperjalankan," begitu ngendikane Pakde Lentu. Seperti bola dipukul ke sana ke mari oleh pemain polo, tanpa bisa melawan, tanpa bisa meminta dipukul ke mana, apalagi sampai berhenti jangan dipukul lagi. Toh masih bisa memilih. Wirid yang biasa kembali dibiasakan dan perjuangkanlah shubuh, masih bisa dipilih. Semua sekadar pilihan, semua sekadar kebiasaan. Maka hati-hatilah, waspadalah dengan kebiasaan-kebiasaan.
Ingin rumah tingkat. Bukan. Bukan itu sebenarnya. Dari dulu selalu hanya gardu belajar, jika ruang belajar terasa terlalu mewah. Tidak pantas seorang marhaenis belajar di ruang, tetapi jangan pula sampai tidak ada sama sekali. Maka gardulah setidaknya. Hanya ini bisanya. Mencangkul tidak sanggup. Memikul tidak kuasa. Hanya membaca dan menulis, seperti diinginkan sejak kanak-kanak. Apakah ingin sendiri, atau diinginkan, tidak penting lagi. Akung mendoakan, meng-gadang-gadang, menjadi pemikir. Apa ada gunanya? Demi Akung, demi Ibu, demi Bapak, Insya Allah ada!
Kasihan Para Pendiri Negara, dilupakan begitu saja oleh anak cucunya. Aku pun terkadang merasa bersalah kepada Pak AB Kusuma. Dulu aku tega berolok-olok mengenai hal itu, ketika jauh lebih muda dari sekarang. Aku sekarang tua, sudah banyak keterbatasan. Dapat kurasakan, yang tersisa hanya semangat. Semangat memang tak kunjung padam. Oleh itu, dengan tenaga yang tersisa, semangat harus diberi wujud, direalisasikan! Semangat tanpa wujud sekadar roh gentayangan. Naudzubillah! Jangan-jangan sudah terlalu banyak sehingga kini.
Penyebabnya, Amanat Penderitaan Rakyat tidak kunjung ditunaikan! Amanat Penderitaan Rakyat yang seharusnya menjadi azimat. Itulah semangatku. Sedangkan kakeknya saja belum berhasil dientaskan dari penderitaan, sudah terburu mati. Bapaknya pun begitu, belum mentas dari penderitaan sudah mati. Anaknya pun begitu, mungkin akan mati dalam penderitaan seperti bapak dan kakeknya. Ini cucunya keleleran di jalan. Daripada sekolah, ia lebih suka mengulurkan tangan di jalanan. Entah mengemis, entah berkecrek-kecrek. Rentan segala macam bahaya jalanan.
Inilah Amanat Penderitaan Rakyat! Hoi, para pemimpin, para penyelenggara negara, para penyelenggara pemerintahan, apa yang kalian kerjakan ke jurusan ini? Heladhalah, kalian malah sibuk sendiri-sendiri. Sibuk dengan bidang keahlian masing-masing. Lebih parah lagi, sibuk menggendutkan rekening masing-masing! Apakah ini jaman edan? Apakah aku sedang tidak ikut-ikutan ngedan? Bagaimana kalau tanpa sepengetahuanku, ternyata aku juga ngedan? Naudzubillah tsumma naudzubillah! ...meski aku takut juga kalau sama sekali tidak keduman...
Jangan-jangan aku sekadar haufs. Jangan-jangan aku hanya perlu minta fefofan. Nah, mustahil-lah sama sekali tidak keduman. Astaghfirullah! Rabighfirli warhamni watubalayya! Wahai Tuhan hamba, hamba bukanlah ahli surga, tapi hamba tidak kuat dalam neraka jahim. Maka karuniakanlah kepada hamba taubat dan ampunilah dosa hamba. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa yang besar. Dan lazimkanlah apa yang lebih berharga dari langit dan bumi seisinya itu. Dan panjangkanlah wirid setelahnya. Dan songsonglah segera apa yang telah disediakan untukmu oleh Sang Maha Baik.
No comments:
Post a Comment