Ini adalah sejenis entri yang mungkin akan menyesatkan anak manusia yang sungguh-sungguh ingin mencari informasi yang sesungguhnya mengenai Protokol Nagoya. Untuk itu, sebelum terlalu jauh, perkenankanlah patik memohonkan maaf yang sebesar-besarnya, karena mungkin apa yang patik tulis mengenai Protokol Nagoya di sini tidak ada gunanya sama-sekali bagi Tuan-tuan dan Puan-puan sekalian. Ini sekadar tulisan berolok-olok, sebagaimana blog ini pun, bahkan hidup patik seluruhnya ini pun, tiada lebih dari olok-olok belaka. Hanya suara Puan Karen Carpenter yang sungguh merdu tiada tara ini sahaja yang membuat hidup patik ini terasa lebih tertahankan.
[Apa keq selain Penelope dan Burung Mekanik Kecilnya, meski kini Puan Carpenter tidak ada. Ya sudah, ini sajalah Pasokan Udara] "Establishing Measures to Implement Nagoya Protocol," sebuah Workshop yang terselenggara atas kerjasama The Secretariat of the Convention on Biological Diversity (SCBD) yang bermarkas besar di Montreal, Canada; International Development Law Organization (IDLO) yang bermarkas besar di Roma, Italia; dan, Center for Law and Good Governance Studies (CLGS) yang bermarkas kecil di ruangan saya biasa nongkrong setiap hari—tidak ada yang istimewa darinya, kecuali ia sekarang sudah terasa seperti markas ICT 2014 atau Sesfak 2012-2013.
Dari bunyi-bunyinya memang terasa gagah. Mentereng, setidaknya untuk gagah-gagahan, karena memang itu saja kurasa gunanya—untuk gagah-gagahan. Dari LUAR NEGERI, seperti M.Sc.-ku begitu. Makanya ruangan kecil tempatku biasa nongkrong pun diberi nama mentereng begitu agar terkesan gagah, padahal ia tidak lebih dari tempat melepas penat, bahkan tiada jarang pula digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan nirguna nirmanfaat, kecuali untuk menambah rasa penat di hati. Namun bisa apa aku di tempat di mana semua orang adu gagah-gagahan begini, seperti burung-burung tolol memamerkan jambul-jambul mereka yang tidak kalah tololnya, sejak jaman dinosaurus.
Aku—sementara itu—memang tolol, maka kupamerkan saja kemaluanku. Biar kumuntahkan semua kepenatan di sini, di dalam guagarba nenek-nenek celaka yang terus saja bersolek dan bersolek ini. Biar mengerang ia pura-pura mencapai puncak, aku sudah tidak peduli. Biar mendelep itu ditekan, lalu monyong ditarik, persetan! Kemarahan, kekecewaan hanya membawa penyakit, sedangkan kemaluanku sudah mendelep masuk perut tidak peduli udara panas atau dingin, aku lelaki gendut usia empat puluh! Biarlah suatu saat nanti Pak Erie Tamale menggugling namanya, mungkin dengan menambahkan kata "Indonesia" dalam kuerinya, dan ia akan berakhir di sini, dan ia akan berakhir menyesali investasinya padaku!
Akses dan Pembagian Keuntungan? Anjing! [Hah! Akhirnya muncrat juga bisanya] Tahukah seperti apa ia terdengar olehku? "Silakan nikmati kelamin kecilku atau lubang tahiku ini, asalkan kau membagi sedikit uang yang kaudapat dari apapun yang kaukerjakan, setelah melepas penatmu padaku, seperti telah kaulakukan pada kelamin-kelamin kecil dan lubang-lubang tahi lainnya sepertiku." Iblis Laknat! Perlindungan produk bioteknologi telah dilakukan melalui hak kekayaan intelektual. Sumberdaya genetik, bahan dasar dari produk itu, oleh karenanya, harus dilindungi dengan Akses dan Pembagian Keuntungan (access and benefit sharing; ABS) ini. (sic!)
Nah, jika sudah keluar semua upas racun begini, barulah kubuat catatan kecil di sini—biar terbaca ia oleh Bang Andri G Wibisana yang keren abis internesyenel. Terserah kau, Bang, mau kauapakan mata kuliah Hukum dan Perubahan Iklim-mu, tapi tidak akan kubiarkan kauacak-acak Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Nasional Indonesia)-ku! Aku tidak peduli! Udara, baik sebagai ruang maupun campuran gas, yang ada di atas air dan bumi Pertiwi adalah milik Bangsa Indonesia sampai kapanpun; dan terserah Bangsa Indonesia untuk menentukan sumberdayanya sendiri termasuk penjenisannya. UUPA tegas menambahkan "udara" selain bumi dan air yang sudah disebut dalam Pasal 33 UUD 1945, maka udara adalah sumberdaya!
Well, untuk menghormati kecoak, semua asumsi memang harus di-challenge. Aku setuju itu. Aku juga tidak suka pada argumen "pokoknya..." Namun ada yang namanya "keberpihakan." Tidak, Bang, aku juga tidak akan membiarkan orang tolol berdalih "terserah kami, kami masih butuh pembangunan, [ekonomi] maka biarkan kami mencemari atmosfir kami sendiri." Oleh itu, bantulah aku membangun konsep dan teorinya, Bang. Bukan untukku, melainkan untuk Para Pendiri Negara ini, Leluhur-leluhur Bangsa sendiri. Anak-cucunya, kita semua, butuh udara bersih, udara segar dan ruang udara yang bebas merdeka untuk mewujudkan Keadilan Sosial, tidak saja bagi Bangsa Indonesia, tapi bagi Umat Manusia, bahkan seluruh mahluk Allah. Amin. Merdeka!
[Apa keq selain Penelope dan Burung Mekanik Kecilnya, meski kini Puan Carpenter tidak ada. Ya sudah, ini sajalah Pasokan Udara] "Establishing Measures to Implement Nagoya Protocol," sebuah Workshop yang terselenggara atas kerjasama The Secretariat of the Convention on Biological Diversity (SCBD) yang bermarkas besar di Montreal, Canada; International Development Law Organization (IDLO) yang bermarkas besar di Roma, Italia; dan, Center for Law and Good Governance Studies (CLGS) yang bermarkas kecil di ruangan saya biasa nongkrong setiap hari—tidak ada yang istimewa darinya, kecuali ia sekarang sudah terasa seperti markas ICT 2014 atau Sesfak 2012-2013.
Dari bunyi-bunyinya memang terasa gagah. Mentereng, setidaknya untuk gagah-gagahan, karena memang itu saja kurasa gunanya—untuk gagah-gagahan. Dari LUAR NEGERI, seperti M.Sc.-ku begitu. Makanya ruangan kecil tempatku biasa nongkrong pun diberi nama mentereng begitu agar terkesan gagah, padahal ia tidak lebih dari tempat melepas penat, bahkan tiada jarang pula digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan nirguna nirmanfaat, kecuali untuk menambah rasa penat di hati. Namun bisa apa aku di tempat di mana semua orang adu gagah-gagahan begini, seperti burung-burung tolol memamerkan jambul-jambul mereka yang tidak kalah tololnya, sejak jaman dinosaurus.
Aku—sementara itu—memang tolol, maka kupamerkan saja kemaluanku. Biar kumuntahkan semua kepenatan di sini, di dalam guagarba nenek-nenek celaka yang terus saja bersolek dan bersolek ini. Biar mengerang ia pura-pura mencapai puncak, aku sudah tidak peduli. Biar mendelep itu ditekan, lalu monyong ditarik, persetan! Kemarahan, kekecewaan hanya membawa penyakit, sedangkan kemaluanku sudah mendelep masuk perut tidak peduli udara panas atau dingin, aku lelaki gendut usia empat puluh! Biarlah suatu saat nanti Pak Erie Tamale menggugling namanya, mungkin dengan menambahkan kata "Indonesia" dalam kuerinya, dan ia akan berakhir di sini, dan ia akan berakhir menyesali investasinya padaku!
Akses dan Pembagian Keuntungan? Anjing! [Hah! Akhirnya muncrat juga bisanya] Tahukah seperti apa ia terdengar olehku? "Silakan nikmati kelamin kecilku atau lubang tahiku ini, asalkan kau membagi sedikit uang yang kaudapat dari apapun yang kaukerjakan, setelah melepas penatmu padaku, seperti telah kaulakukan pada kelamin-kelamin kecil dan lubang-lubang tahi lainnya sepertiku." Iblis Laknat! Perlindungan produk bioteknologi telah dilakukan melalui hak kekayaan intelektual. Sumberdaya genetik, bahan dasar dari produk itu, oleh karenanya, harus dilindungi dengan Akses dan Pembagian Keuntungan (access and benefit sharing; ABS) ini. (sic!)
Nah, jika sudah keluar semua upas racun begini, barulah kubuat catatan kecil di sini—biar terbaca ia oleh Bang Andri G Wibisana yang keren abis internesyenel. Terserah kau, Bang, mau kauapakan mata kuliah Hukum dan Perubahan Iklim-mu, tapi tidak akan kubiarkan kauacak-acak Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Nasional Indonesia)-ku! Aku tidak peduli! Udara, baik sebagai ruang maupun campuran gas, yang ada di atas air dan bumi Pertiwi adalah milik Bangsa Indonesia sampai kapanpun; dan terserah Bangsa Indonesia untuk menentukan sumberdayanya sendiri termasuk penjenisannya. UUPA tegas menambahkan "udara" selain bumi dan air yang sudah disebut dalam Pasal 33 UUD 1945, maka udara adalah sumberdaya!
Well, untuk menghormati kecoak, semua asumsi memang harus di-challenge. Aku setuju itu. Aku juga tidak suka pada argumen "pokoknya..." Namun ada yang namanya "keberpihakan." Tidak, Bang, aku juga tidak akan membiarkan orang tolol berdalih "terserah kami, kami masih butuh pembangunan, [ekonomi] maka biarkan kami mencemari atmosfir kami sendiri." Oleh itu, bantulah aku membangun konsep dan teorinya, Bang. Bukan untukku, melainkan untuk Para Pendiri Negara ini, Leluhur-leluhur Bangsa sendiri. Anak-cucunya, kita semua, butuh udara bersih, udara segar dan ruang udara yang bebas merdeka untuk mewujudkan Keadilan Sosial, tidak saja bagi Bangsa Indonesia, tapi bagi Umat Manusia, bahkan seluruh mahluk Allah. Amin. Merdeka!