Satgas Sisfo FHUI kali pertama terbentuk pada 2005. Aku tidak yakin apakah pada akhir 2004 itu sudah resmi atau belum. Seingatku, sampai akhir 2004—yaitu sampai berakhirnya riwayat LKHT berkubikel dengan kubikelku di pojokan—aku masih di situ. Baru pada awal 2005 itulah aku pindah ke belakang moot court bersama server. Pada awal 2005 itu jugalah kami kali pertama terima gaji, tiap akhir bulan menghadap Haji Arifin untuk menerima Rp 1,425,000.
Selain itu kami, iaitu aku dan Jerki menerima rapelan uang transpor dari beberapa bulan terakhir 2004. Terjadilah peristiwa legendaris itu, ketika Bang Edmon, aku dan Jerki merapatkan mau diapakan uang rapelan itu. Kata Bang Edmon, dia orangnya demokratis maka kami diajak bicara—ia meminta pendapat kami. Aku hampir saja mengatakan terserah Bang Edmon ketika Jerki punya ide lain. Ia membagi dua tepat di tengah-tengah uang rapelan itu, separuh untuknya dan separuh untukku.
Jika tidak salah, dalam skemanya itu, kami juga akan menyisihkan untuk Pak Amin. “Gua gimana?!” tukas Bang Edmon cepat. Hahaha emang parah si Jerki. Pada awal tahun ini pulalah terjadi insiden laptop. Di kamar bau itu hanya ada John Gunadi, Jerki dan aku. John Gunadi entah mengapa seperti biasa bagai cicek kejepret. Lalu ada sepotong koran berisi harga-harga laptop. Aku dan Jerki terlibat pembicaraan serius mengenai laptop mana yang akan kami beli untuk masing-masing.
Nolnya Kurang Satu
Kami sangat percaya diri ketika itu gaji-gaji kami akan mampu mengatasi tidak saja harga laptop-laptop itu, tetapi juga kebutuhan sehari-hari. Mungkin kami kelelahan karena terlalu semangat berdiskusi, keheningan begitu saja berhembus di kamar itu—jika tidak karena makian Jerki. Ternyata kurs dolar kami kurang satu nolnya. Alih-alih Rp 10,000 per dolar, kami menggunakan kurs Rp 1,000! Aku terbahak-bahak paling keras. John Gunadi pun sampai ikut tertawa. Hanya Jerki yang terus bersungut-sungut tampak sekali bapernya.
Patut dicatat juga di tahun ini, setelah sekian lama, Liverpool memenangkan Piala Champion-nya yang kelima. Malam itu aku tidak menonton, tetapi aku ingat sebelum berangkat tidur aku membatin, jika sampai juara Liverpool tahun ini, Insya Allah aku akan membeli jersey Liverpool pertama dalam hidupku. Bangun keesokan paginya, hatiku senang namun justru masygul. Dari mana uangnya pembeli jersey? Kuputuskan untuk menundanya, sehingga jersey Liverpool pertamaku baru terbeli hampir sepuluh tahun kemudian.
Mendekati pertengahan tahun, Rendy memberiku dan Rio pekerjaan di Palembang. Kami berangkat ke sana, menginap di hotel berhari-hari, berurusan dengan Lonsum. Aku berkesempatan untuk berjalan-jalan kaki di sekitar hotel mencicipi berbagai kuliner jalanan, terutama pempek tunu. Ketika akhirnya kami pulang, jalanan Jakarta sedemikian macetnya sehingga kuputuskan untuk infanteri dari pintu tol bandara sampai Plasa Slipi. Aku masih ingat suasana rumah Jalan Radio ketika aku pulang dari Palembang. Ruang tamu gelap dan kami berkumpul di kamar Ibu.
Kelelahan Pertama yang Kuingat
Lalu Sedaunnya Pak Erland. Beberapa kali bolak-balik ke Kramat Jati, aku ingat betapa badan terasa lelah lungkrah ketika duduk di kursi depan angkot merah 19, bahkan nafas terengah-engah. Suatu sore ketika aku memanjat tangga di samping markas (Web Publishing Unit) WPU, aku merasa lemah sekali sampai aku pulang ke kosan. Di sanalah aku merasa kakiku dingin, maka pergilah aku ke klinik. [apakah Ritifa Medika namanya?] Cukup lama di sana, sampai aku divonis demam berdarah dan malam itu juga dilarikan ke RSUD Pasar Rebo.
Aku sempat kuatir dengan biayanya, namun Adik yang kumintai tolong mengurusnya membawa kabar lucu. Sudah dibayar oleh Sutiyoso. Terima kasih, Bang Yos. Begitulah aku beberapa hari menginap di atas veldbed, diinfus di emperan kelas III rumah sakit itu. John Gunadi tidur di lantai di bawahku, setia seperti seekor anjing. Aku ingat minta tolong padanya membelikan roti pizza-pizza’an. Tidak tahan lama-lama di situ, selain karena berapa kali saja lihat orang sakaratul maut, yang paling tidak tertahankan adalah waktu bezoek yang ramainya melebihi pasar obral.
Melarikan diri dari RSUD Pasar Rebo, dijemput Bapak dengan Jendril ke Jalan Radio. Di rumah aku masih bedrest selama kurang lebih dua minggu lagi karena tifus. Ya Salam lemasnya itu tak terlupakan. Ketika sehat sudah hampir Ramadhan, maka secara instingtif aku segera berusaha mencari uang. Selama bulan puasa ini jugalah John Gunadi akhirnya memutuskan untuk berhenti membangun rel di sekujur pulau Jawa dan bergabung dengan WPU-FHUI, meski masih gelap, mulai belajar CSS. Ya, inilah awal karir John Gunadi di FHUI.
Dicepat!
Akhir November, bencana itu menimpa. Suatu sore, Pak Timbul masuk dan mengatakan disuruh Boss mengganti kunci ruangan. Muka Jerki langsung tegang, namun tetap kuperintahkan untuk mengemasi barang-barang. Ya, belum sampai setahun kami sudah dicepat. Boro-boro THR, gaji pun kami sudah tidak terima di akhir bulan itu. Kami berlebaran dengan uang cekak secekak-cekaknya tahun ini. Aku lupa bagaimana awalnya, namun Pak Adijaya Yusuf menyuruhku mengerjakan situsweb toko bukunya, Lawmans di Depok Town Square yang masih baru buka.
Inilah kali pertama aku menghabiskan waktu agak beberapa lama di daerah Tole Iskandar, di rumah Pak Adijaya memeriksa buku-buku yang akan dijualnya. John Gunadi sempat beberapa hari memindai sampul buku-buku itu dengan komputer entah pletinum entah pletium. Namun ini tidak lama dan aku mulai mendekat-dekat pada Mas Jo, karena sebenarnya selain Surat Tugas Satgas Sisfo aku bahkan punya Surat Keputusan Dekan Jurnal Hukum dan Pembangunan. Tidak bisa lain, aku menitipkan Jerki dan John Gunadi pada Mas Jo.
Demikianlah di sekitar waktu ini juga, mendekati lebaran Idul Adha, Bang Fred menugaskanku untuk membantunya melakukan penelitian bagi disertasinya. Inilah yang akan mengantarkanku ke tahun berikutnya, 2006, yang diisi dengan Cimanggis Radar AURI dan sekitarnya, termasuk bolak-balik ngangkot lewat Pasar Pal, Brimob Kelapa Dua hampir setiap hari. Di tahun berikutnya ini juga akhirnya aku serius berusaha menyelesaikan kuliahku. Pada 2006 ini pula aku mulai serius menekuni tulis-menulis di dunia maya.
Selain itu kami, iaitu aku dan Jerki menerima rapelan uang transpor dari beberapa bulan terakhir 2004. Terjadilah peristiwa legendaris itu, ketika Bang Edmon, aku dan Jerki merapatkan mau diapakan uang rapelan itu. Kata Bang Edmon, dia orangnya demokratis maka kami diajak bicara—ia meminta pendapat kami. Aku hampir saja mengatakan terserah Bang Edmon ketika Jerki punya ide lain. Ia membagi dua tepat di tengah-tengah uang rapelan itu, separuh untuknya dan separuh untukku.
Jika tidak salah, dalam skemanya itu, kami juga akan menyisihkan untuk Pak Amin. “Gua gimana?!” tukas Bang Edmon cepat. Hahaha emang parah si Jerki. Pada awal tahun ini pulalah terjadi insiden laptop. Di kamar bau itu hanya ada John Gunadi, Jerki dan aku. John Gunadi entah mengapa seperti biasa bagai cicek kejepret. Lalu ada sepotong koran berisi harga-harga laptop. Aku dan Jerki terlibat pembicaraan serius mengenai laptop mana yang akan kami beli untuk masing-masing.
Nolnya Kurang Satu
Kami sangat percaya diri ketika itu gaji-gaji kami akan mampu mengatasi tidak saja harga laptop-laptop itu, tetapi juga kebutuhan sehari-hari. Mungkin kami kelelahan karena terlalu semangat berdiskusi, keheningan begitu saja berhembus di kamar itu—jika tidak karena makian Jerki. Ternyata kurs dolar kami kurang satu nolnya. Alih-alih Rp 10,000 per dolar, kami menggunakan kurs Rp 1,000! Aku terbahak-bahak paling keras. John Gunadi pun sampai ikut tertawa. Hanya Jerki yang terus bersungut-sungut tampak sekali bapernya.
Patut dicatat juga di tahun ini, setelah sekian lama, Liverpool memenangkan Piala Champion-nya yang kelima. Malam itu aku tidak menonton, tetapi aku ingat sebelum berangkat tidur aku membatin, jika sampai juara Liverpool tahun ini, Insya Allah aku akan membeli jersey Liverpool pertama dalam hidupku. Bangun keesokan paginya, hatiku senang namun justru masygul. Dari mana uangnya pembeli jersey? Kuputuskan untuk menundanya, sehingga jersey Liverpool pertamaku baru terbeli hampir sepuluh tahun kemudian.
Mendekati pertengahan tahun, Rendy memberiku dan Rio pekerjaan di Palembang. Kami berangkat ke sana, menginap di hotel berhari-hari, berurusan dengan Lonsum. Aku berkesempatan untuk berjalan-jalan kaki di sekitar hotel mencicipi berbagai kuliner jalanan, terutama pempek tunu. Ketika akhirnya kami pulang, jalanan Jakarta sedemikian macetnya sehingga kuputuskan untuk infanteri dari pintu tol bandara sampai Plasa Slipi. Aku masih ingat suasana rumah Jalan Radio ketika aku pulang dari Palembang. Ruang tamu gelap dan kami berkumpul di kamar Ibu.
Kelelahan Pertama yang Kuingat
Lalu Sedaunnya Pak Erland. Beberapa kali bolak-balik ke Kramat Jati, aku ingat betapa badan terasa lelah lungkrah ketika duduk di kursi depan angkot merah 19, bahkan nafas terengah-engah. Suatu sore ketika aku memanjat tangga di samping markas (Web Publishing Unit) WPU, aku merasa lemah sekali sampai aku pulang ke kosan. Di sanalah aku merasa kakiku dingin, maka pergilah aku ke klinik. [apakah Ritifa Medika namanya?] Cukup lama di sana, sampai aku divonis demam berdarah dan malam itu juga dilarikan ke RSUD Pasar Rebo.
Aku sempat kuatir dengan biayanya, namun Adik yang kumintai tolong mengurusnya membawa kabar lucu. Sudah dibayar oleh Sutiyoso. Terima kasih, Bang Yos. Begitulah aku beberapa hari menginap di atas veldbed, diinfus di emperan kelas III rumah sakit itu. John Gunadi tidur di lantai di bawahku, setia seperti seekor anjing. Aku ingat minta tolong padanya membelikan roti pizza-pizza’an. Tidak tahan lama-lama di situ, selain karena berapa kali saja lihat orang sakaratul maut, yang paling tidak tertahankan adalah waktu bezoek yang ramainya melebihi pasar obral.
Melarikan diri dari RSUD Pasar Rebo, dijemput Bapak dengan Jendril ke Jalan Radio. Di rumah aku masih bedrest selama kurang lebih dua minggu lagi karena tifus. Ya Salam lemasnya itu tak terlupakan. Ketika sehat sudah hampir Ramadhan, maka secara instingtif aku segera berusaha mencari uang. Selama bulan puasa ini jugalah John Gunadi akhirnya memutuskan untuk berhenti membangun rel di sekujur pulau Jawa dan bergabung dengan WPU-FHUI, meski masih gelap, mulai belajar CSS. Ya, inilah awal karir John Gunadi di FHUI.
Dicepat!
Akhir November, bencana itu menimpa. Suatu sore, Pak Timbul masuk dan mengatakan disuruh Boss mengganti kunci ruangan. Muka Jerki langsung tegang, namun tetap kuperintahkan untuk mengemasi barang-barang. Ya, belum sampai setahun kami sudah dicepat. Boro-boro THR, gaji pun kami sudah tidak terima di akhir bulan itu. Kami berlebaran dengan uang cekak secekak-cekaknya tahun ini. Aku lupa bagaimana awalnya, namun Pak Adijaya Yusuf menyuruhku mengerjakan situsweb toko bukunya, Lawmans di Depok Town Square yang masih baru buka.
Inilah kali pertama aku menghabiskan waktu agak beberapa lama di daerah Tole Iskandar, di rumah Pak Adijaya memeriksa buku-buku yang akan dijualnya. John Gunadi sempat beberapa hari memindai sampul buku-buku itu dengan komputer entah pletinum entah pletium. Namun ini tidak lama dan aku mulai mendekat-dekat pada Mas Jo, karena sebenarnya selain Surat Tugas Satgas Sisfo aku bahkan punya Surat Keputusan Dekan Jurnal Hukum dan Pembangunan. Tidak bisa lain, aku menitipkan Jerki dan John Gunadi pada Mas Jo.
Demikianlah di sekitar waktu ini juga, mendekati lebaran Idul Adha, Bang Fred menugaskanku untuk membantunya melakukan penelitian bagi disertasinya. Inilah yang akan mengantarkanku ke tahun berikutnya, 2006, yang diisi dengan Cimanggis Radar AURI dan sekitarnya, termasuk bolak-balik ngangkot lewat Pasar Pal, Brimob Kelapa Dua hampir setiap hari. Di tahun berikutnya ini juga akhirnya aku serius berusaha menyelesaikan kuliahku. Pada 2006 ini pula aku mulai serius menekuni tulis-menulis di dunia maya.
No comments:
Post a Comment