Kali ini aku menulis entri tanpa ditemani melodi apapun, karena di kejauhan sudah terdengar suara tilawah. Memang jika dirasa-rasa, banyak kemiripan antara Jeruk Purut dengan Radio Dalam. Insya Allah setelah libur nanti aku dapat menghabiskan waktu lebih banyak di sana. Tadi sebelum hujan ada suasana nyaman yang sudah lama tidak kurasakan, dan itu dipicu oleh bunyi-bunyian yang dibuat ayam katai. Aku tidak tahu apa-apa mengenai perilaku ayam. Suara-suara yang dibuatnya tadi tidak bising, justru nyaman.
Aku tadi membatin, dengan suara-suara ini yang dibuat ayam katai, ditambah suara tilawah di kejauhan... sempurna! Sayangnya sekarang hujan, jadi suara ayam katai tidak terdengar lagi. Sekarang diganti oleh gericik hujan dan desau angin, tetap dengan suara tilawah di kejauhan. Apakah setelah ini akan dilanjutkan dengan ta’lim ibu-ibu? Uah, kenangan yang sungguh manis, semanis hidup di masa kanak-kanak ketika belum menanggung beban dosa. Hidup ini akhirnya hanya berganti-berganti antara nyaman dan agak nyaman. Selebihnya... aku tidak tahu apa-apa.
Ya, siang ini aku memang sedang di Jalan Radio, di kamar yang penuh kenangan ini. Kamar ketika aku bermimpi tentang seekor kura-kura raksasa mengapung di langit malam. Di atas tempurungnya ada tiang tinggi sekali, sedangkan di puncaknya ada bintang. Bintang itu begitu memukau sampai-sampai aku ingin mendapatkannya. Namun ternyata aku tidak sendirian. Banyak juga yang punya ide yang sama. Akhirnya kami berlomba, dihadang berbagai kesulitan pula Badai pasir dan semacamnya, seingatku. Setelah susah-payah memanjat tiang, akhirnya aku berhasil mendapatkan bintang itu!
Akan tetapi, setelah mendapatkan bintang, sekonyong-konyong kutemui diriku sendirian di tengah-tengah padang pasir yang sangat luas. Sejauh mata memandang hanya pasir bertemu dengan langit dini hari yang terang kebiruan. Inilah mungkin satu-satunya mimpi yang kuingat sampai ke rinciannya, dan ini terjadi ketika aku masih TK atau kelas-kelas awal SD. Setelah itu aku terbangun. Terdengarlah Rabighfirli warhamni watub’alaya diulang-ulang, yaitu senandung al-Mukhlisin jika sedang menunggu masuk waktu Shubuh. Apa arti dari mimpi seperti ini?
Kini tilawahnya sudah berhenti, digantikan oleh suara yang aku dengar sudah sejak lama sekali, dari tiga puluh tahun yang lalu bahkan lebih. Suara siapakah ini? Ustadz H. Abdul Qodir? Entahlah. Lucunya lagi, aku merasa agak lapar, seperti sudah ingin menyantap cisburger yang memang dibelikan untukku oleh adik-adikku. Makan sedikit-sedikit. Cuma itu yang aku tahu untuk mencegah hilangnya rasa nyaman yang kurasakan kini. Melodi apa yang cocok untuk suasana dan suasana hati seperti ini? Penelope-nya Paul Mauriat mungkin.
Ya, menarik sekali. Aku merasa lapar. Ini adalah sebuah pertanda bagus. Aku selalu takut kalau aku tidak ingin makan. Kemarin kumat sampai sebegitunya, jika bukan karena @#!? mungkin juga karena anak-anak yang ribut saja ketika sedang khutbah Jumat. Ya Allah, hanya kepadamu hamba dapat berlindung dari rasa tidak nyaman seperti kemarin itu. Beranikah hamba berjanji? Salahkah hamba jika tidak berjanji, seperti yang pernah hamba buat pada 2002 itu? Ah, tetap saja, diikrarkan maupun tidak, Allah lebih tahu isi hatiku.
Tinggal lagi aku sekarang, apakah aku hamba nista tak tahu malu, atau hamba yang tahu berterima kasih pada Tuannya yang Maha Baik Hati. Apa susahnya sih? Setidaknya jangan banyak alasan. Mustahil orang mengaku beriman lalu tidak dicoba. Itu sudah pasti. Sedangkan aku baca Quran setiap hari saja tidak, mau tidak dicoba. Lhoh, justru orang yang sudah begitu mungkin cobaannya lebih berat lagi daripadaku. Apapun itu, Ya Allah, hamba mohon, jadikanlah hamba selalu mengingatMu, tahu berterima kasih padaMu, berusaha menjadi hamba yang lebih baik lagi. Aamiin.
No comments:
Post a Comment