Secangkir serbat susu memang tidak salah jika kita ingin
mengenang Ray S. Anityo Dyanoe. Sungguh suatu nama yang sok asik. Apakah
seorang cerpenis memang harus begitu namanya? Atau wartawan pada umumnya? Ah,
Ahmadun tetap Ahmadun meski dalam kumpulan cerpen yang sama. Akan tetapi,
serbat susu ini ada aftertaste yang kurang endang. Apakah karena ia berasal
dari susu kental manis kemasan plothot yang sebulan lagi akan kadaluwarsa? Ah,
segala makanan memang semakin tidak seenak dulu, ketika usia masih duapuluhan.
Bernostalgia mengenai Elvira Madigan memang agak sesuai jika
kita ingin mengenang, terlebih bila ia didentingkan dengan gitar bisu besutan
Yamaha. Ah, sampai kini pun tidak kesampaian impian masa kecilku memiliki
saksofon. Aku teringat betapa terbersit rasa iri dan dengki yang aneh pada
adikku Dito Sutejo ketika ia memainkan saksofon di tahun pertamanya—sedangkan aku
setangkai rekorder alto. Apa betul yang kumainkan ketika itu? Speak Softly
Love? Ah, kapan itu, hanya sekira dua tahun dari terbitnya Paradoks Kilas Balik
pada 1989.
Padahal aku baru berkenalan dengan Ray S. Anityo Dyanoe dan
cerpennya yang, menurut hematku, tidak bagus beberapa tahun lagi setelahnya.
Ketika memainkan Speak Softly Love di Ruang Bersama itu, dan dua tahun
setelahnya, apa terpikir olehku bahwa cerpen dapat begitu membekas dalam
keseharianku. Aku masih ingat berkhayal mengenai F-16 dan Hercules tak lama
setelah itu. Benar-benar khayalan kosong belaka, karena belakangan aku tahu
tidak mungkin seorang penerbang F-16 konversi ke Hercules—setidaknya tidak
lazim yang begitu itu.
Setahun setelahnya, aku mulai sungguh-sungguh ketika aku
menulis Agraris?. Sungguh aku lupa bagaimana terbitnya gagasan itu, yang oleh
Buletin Kreasi dimasukkan dalam rubrik Iptek itu. Iptek sebelah mananya coba? Namun
demikian, inilah ternyata bibit bagi masa depanku yang carut-marut. Toh sama
saja, ketika itu aku juga tidak tahu dan tidak punya bayangan sama sekali akan
seperti apa masa depanku. Hanya khayalan-khayalan sepotong-sepotong yang
kupikir akan menyatu dengan sendirinya kelak ketika waktunya tiba. Ketika waktunya
tiba, yang ada ternyata hanyalah secangkir serbat susu.
...dan Pantai yang Mengantuk. Pantai. Aku sudah jauh sekali
dari laut. Pernah kupikir aku kembali mendekatinya. Benarkah aku cinta laut?
Adakah aku benar menyukainya? Jangankan mancing atau diving, pergi ke Ancol
saja malasnya bukan main, sama seperti pergi ke manapun. Mungkin karena mobil
tidak pernah menjadi bagian dari khayalanku. Kecuali truk pemadam kebakaran
yang sangat berkesan itu, aku tidak ingat punya mainan mobil-mobilan yang mana
saja. Lebih dari satu seharusnya, tapi hanya yang satu itu yang kuingat.
Maka kepada secangkir serbat itu kutambahkan sedikit lagi
air hangat dan selesailah masalahnya. Susu kental manis dan tenggorokan yang
mulai sedikit luka memang bukan paduan yang serasi. Oh Allah Dewa Batara,
berapa lama lagi aku harus hidup? Di akhir tahun masehi 2014 ini, hamba
memohon, jika kiranya masih harus terus hidup, jangan biarkan hamba menyia-nyiakan
karunia itu, Oh Gusti hamba. Jangan biarkan hamba termasuk dalam golongan
mereka yang merugi, hamba mohon Oh Gusti hamba yang Sungguh Pengasih lagi
Penyayang.
...karena mau laut, mau darat, mau apapun, semua tidak ada
artinya. Bagi para korban Air Asia QZ8501, akhir mereka sungguh basahnya. Allah
Dewa Batara kasihanilah mereka dan keluarga yang ditinggalkan. Hamba mohon
terimalah semua amalan mereka dan lipat-gandakanlah pahalanya. Bagi keluarga
yang ditinggalkan, karuniakanlah ketabahan dan penghiburan. Oh Allah Gusti,
semua terjadi atas kehendakMu, atas sepengetahuanMu. Kasihanilah kami
hamba-hambaMu yang lemah lagi pongah, terus bergelimang kedurhakaan.
Selamatkanlah kami dari fitnah dunia dan akhirat, karena bisa apa kami selain memohon padaMu?