Ngoreksi belum mulai juga. Jangankan itu, shalat lohor saja belum. Tapi ngopi sudah. Tadinya mau lanjut pakai teh hijau, tapi ternyata air saja cukup. Ternyata aku haus. Porsi Soto Menara memang sungguh imutnya, seperti halnya Sunan Kudus. Tapi untuk tambah sungguh malasnya, mungkin karena harganya tidak murah, mungkin karena ya biasa saja. Hari ini seharusnya ke Santika membahas buku-buku HAN katanya. Aku pun punya buku sendiri yang harus dibereskan, yang mana harus cepat! Puasa membuat segala orang pengen cepat-cepat loh, cepat-cepat pulang maksudnya. Ah, hanya pertolonganNyalah jua yang dapat kumohon. Jika sampai buku ini, aku jadi ingat Komandan KRI Diponegoro. [bagaimana aku bisa begitu saja tahu ya kalau 365 itu Diponegoro?] Setiap jungkir, setiap anjir, setiap bantai, setiap tobat, itu semualah yang mengantar beliau sampai di situ. Apa yang sudah kulakukan untuk sampai ke mana? Aku menulis artikel tidak. Ikut seminar tidak. Ngurus golongan tidak. Emang aku mau ke mana? Gelar?
Jika gelar terlalu sumir, terlalu dangkal, lalu apa yang bernas, apa yang dalam? Buku? Itu saja sudah dihina Eka Surahman, dan memang pantas aku dihina. Goklas sudah menanyakan bagaimana buku. Ooh, aku berada dalam bahaya. Kupikir menulis di sini mungkin bisa jadi penumbuh suasana yang akan melontarkan aku ke suasana hati yang tepat untuk melakukannya. Hei, tapi ngoreksi dulu dong. Aah, rusak lagi deh. Buyar lagi. Tidak! Minggu depan, minggu terakhir bulan Sya'ban, sebelum Ramadhan. Bismillah. Mari kita mulai. Seperti kata Bang Samsoul. Kalau bisa final sebelum Ramadhan berakhir. Mantap! Ya Allah, hamba mohon ditolong. Hamba mohon dimudahkan memenuhi janji ini. Hamba mohon ampun. Uah, udara panasnya, dan aku berkeringat begini. Mantap. Memang menulis itu membuat semangat, apalagi jika dilakukan dengan bertelanjang dada. Kerja kantoran benar-benar tidak sesuai untukku. Enak 'kali jika bisa seperti Ernest, seenak jidatnya mengetik di mana saja, dengan siapa saja, pakai baju apa saja. Kasihan sekali anak bocah yang merasa dirinya Ernest, atau ingin menjadi seperti Ernest. [Hemmingway]
sumber gambar dari sini, silakan dibaca juga postingnya. Insya Allah barokah. |
Ya, biarlah kuakui di sini. Timbul juga rasa iri ketika melihat mentor-mentor, kawan-kawanku pada jadi komandan KRI; dan aku boro-boro kebagian satu. Waktu belum pada jadi komandan sih biasa aja. Tapi sekarang ini, lucunya, timbul juga rasa itu. Rapopo. Iriku ya cuma sampai di situ saja. Kalau tidak kuabadikan di sini tidak mungkin ia abadi. Macam aku peduli saja. Dan kita tidak akan pernah tahu rasanya menjadi orang lain, menjalani hidup orang lain, karena yang kita jalani adalah, dan selalu adalah, hidup kita sendiri! Seperti sekarang ini, enak benar aku bertelanjang dada begini, keringatan, kepanasan di rumah Istri sendiri, mengetik-ngetik entah apa seenak jidat sendiri. Badan terasa sehat, meski gendutnya sudah tidak ketolongan. Uang ada, meski tidak berlimpah-limpah. Istri Cantik. Kurang apa lagi? Kurang Iman. Kurang Iman untuk terbirit-birit shalat ketika waktunya sudah masuk. Apalagi seperti bapak-bapak tua yang sering kuamati. Sekitar lima belas menitan sebelum waktu Maghrib masuk, sudah rapi dengan koko dan sarung terbaik, pecis tiada lupa. Langkahnya menuju mesjid saja terasa begitu khusyu'nya.
Sebentar lagi, Insya Allah, maghrib akan menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh lebih banyak muslim dari biasanya. Jika biasanya ia disambut sekadarnya, sambil lalu, setengah hati, acuh tak acuh, Insya Allah sebentar lagi semua muslim tua muda besar kecil laki perempuan tak terkecuali akan menunggu-nunggunya dengan penuh harap. Hampir saja kukatakan, aku ingin jadi seperti bapak-bapak tua berkoko bersarung berpecis itu. Namun sejurus kemudian aku segera ingat. Tidak perlu menunggu tua, jangan-jangan adikku Norman Edwin sudah begitu. Tempo hari aku ke mesjid yang tidak sengaja itu, waktu lohor, kulihat ia sudah ada di shaf terdepan! Jangan-jangan begitu kelakuannya lima kali sehari. Lalu ada juga Sakti. Beberapa kali saja kupergoki ia sedang menekuni Qurannya. Jangan-jangan sudah khatam bolak-balik ia! Kalau sudah begini, jelas 'kan, mengapa nasibmu seperti ini? Sudahlah jangan banyak berkhayal. Jalani hidupmu seperti apa adanya. Tepati janji-janjimu. Terlebih penting, tepati waktu shalat!