Dapatkah aku menyembunyikannya dengan permainan kata? [Gramsci, ketika menulis risalahnya... apa ya judulnya... juga memainkan kata-kata untuk menghindari sensor penjara. Itulah sebabnya sulit dimengerti.] Lagu-lagu. Ya, lagu-lagu keparat itulah yang kuminta. Selain itu juga kesenangan duniawi yang paripurna [benarkah?]. Semuanya kudapat! Akan tetapi rintangannya luar binasa sulit dilampaui... Astaghfirullah... tak pernah kusangka akan begini jadinya. Semua tepat seperti yang pernah hadir dalam penglihatanku. Rinciannya? Kurasa aku cukup fleksibel. Aku bisa sangat fleksibel karena alasan cinta. Karena aku tidak sering-sering mencinta, jadi tidak apalah, sekali mencinta sesekali semua ditekuk-bengkokkan [kata bentukan apa pulak ini?!] Dan aku sudah menekuk sesuatu yang, menurut patokan apapun, sungguh tidak patut ditekuk. Demi cinta, cinta dengan huruf "c" kecil! Tidak ada lagi alasan, tiada tersisa pembenaran. Kata-kata sudah habis. Hanya kata itu yang tinggal. cinta. [perhatikan huruf "c"-nya kecil]. Mungkinkah cinta yang kecil ini membawaku pada Cinta? Dengan terlebih dahulu melewati rintangan ini? --aku cari makan dulu, ah. Lapar...
Mulia? Tidak, Cantik. Orang mungkin berpikir yang kucari adalah kemuliaan. Hahaha... mulia apanya? Aku cuma tidak bisa yang lain saja. Namun memang kesukaanku pada tragedi, kebiasaanku merengek-rengek, meratap-ratap, memang harus ditekan. Aku harus belajar lebih menikmati hidup. Makanya temani aku, dong. Kalau aku sendiri terus seperti ini, mana aku tahu kalau dunia ini indah. Aku pernah membaca, entah Umar ra. atau malah Rasul SAW sendiri, mengasihani biarawan yang menyiksa diri. Orang ini, katanya, tersiksa di dunia, tersiksa di akhirat. Hiy... naudzubillah! Lalu mencintai seseorang yang kamu cintai sesuka hatimu? Aku tahu kamu tidak begitu. Aku tahu kamu penuh perhatian. Hanya saja situasimu selama ini sulit dan menyulitkanmu. Sudahlah. Itu masa lalu. Dan kamu nakalnya amit-amit! Kamu suka menggunakan kata-kata yang mengerikan. Bukan berita baru 'kan? Katamu sendiri, saudara-saudaramu pun mengeluhkan hal yang sama. Aku belajar darimu, Cantik. Bagiku, kau seperti cermin. Kuharap masih ada yang dapat kaupelajari dariku [tepat di sini cemburu menyelinap].
Cemburu. Well, ini bagian terberat. Resepnya hanya satu. Jangan bawa-bawa masa lalu. Terus menatap ke depan. Memangnya kenapa sih kita sering menengok ke belakang? Biasanya sih ketika jalan ke depan tidak jelas terlihat, atau terlihat sukar ditempuh. [Aku lagi ngapain sih? Seperti sedang mengasuh rubrik konsultasi... ngomong-ngomong, mie goreng-ku sudah jadi belum yaa...] ...Tepat di sinilah, setelah lebih dari tiga bulan, entri ini kusambung lagi, pada hari terakhir 2010 ini... Hohoho, aku baru tahu bisa begini. Kurasa kemampuan ini cukup banyak gunanya. Kali lain, meski sangat tidak tepat suasana hati, aku tetap bisa mencatat garis besar kejadian-kejadian penting sepanjang hari, dan menyimpannya lebih dulu sebagai draft, untuk kulanjutkan ketika suasana hati seperti sekarang ini [panjang betul kalimatku]. Jika kubaca apa yang kutulis tiga bulanan lalu itu... terasa betul betapa aku mencintainya. Orang pasti akan menebak-nebak, siapakah yang sangat kucintai itu? Baiklah, untuk saat ini, aku hanya bisa mengatakan ini: Dia adalah kenyataan yang menjadi khayalanku. Sekarang. Siapa yang tahu kalau suatu saat nanti, kelak di kemudian hari, ia menjadi khayalan yang menjadi kenyataan.
Baiklah aku berbicara mengenai suasana hati saja. Ada orang-orang yang sangat dikendalikan oleh suasana hatinya. Salah satu contohnya mungkin aku. Lihat saja. Entah bagaimana caranya, beberapa hari terakhir ini aku diliputi semangat untuk menulisimu. Dan aku benar-benar melakukannya. Ada hari-hari di mana semangat itu juga tinggi, tetapi perbuatan menulis tak kunjung mewujud. Di hari lain, aku mungkin akan membaca-baca entri-entri lama dengan penuh minat, tetapi menulisinya aku tiada berminat. Lebih banyak lagi hari-hari di mana aku bahkan tidak ingat kalau kamu ada, apalagi Ki Macan. Hiy, maaf, Ki Macan. Engkau sedang tidak berada di sekitar sini 'kan? Jujur Ki Macan, sudah cukup lama aku tidak berminat berbincang-bincang denganmu. Aku tidak tahu, Ki. Hilangkah semangatku untuk melanjutkan peperangan ini? Apalagi kalau mendengar Ismi Azis menyanyikan Cinta Kami, cinta antara aku dan dia. Beribu ampun, Ki... Sungguh aku tidak melihat akhir dari peperangan ini. Benarkah aku rela menyerahkan seluruh hidupku bagi peperangan ini? Maafkan aku, Ki. Aku sedang mencinta. Engkau mungkin telah berhasil melatih diri sehingga mampu Mencinta. Aku, dengan segala rasa malu, mengakui. Aku gagal, Ki... Maafkan aku [menunduk dalam-dalam, bersimpuh]